Who control the past control the future, Who control the present, control the past. (George Orwell)
Genderang Pesta demokrasi telah ditabuh, agenda 5 tahunan yang akan berlangsung pada 2019 mendatang telah dipanaskan, tahapan kampanye sedang berjalan sebagai ajang sosialisasi bagi para kandidat. Perhelatan 17 april 2019 mendatang sedikit berbeda dari biasanya, hal ini diakibatkan disahkannya UU terkait pemilihan umum secara serentak dimana pemilihan presiden dan legislatif dilakukan secara bersamaan meskipun tulisan ini tidak akan mebahas sekaitan dengan pro kontra dari model pemilihan serentak tersebut.
Momentum pemilihan Presiden dan Legislatif (DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) sering kita bincangkan sebagai tahun politik karena seharusnya menghadirkan euphoria bagi segenap warga Negara, hampir semua orang baik dalam diskusi warung kopi dunia nyata ataupun dimedia social sebagai ruang maya ramai mengomentari terkait tahun politik ini. Sebahagian dengan terang dan jelas mengemukakan pilihan politik dan menyatakan sikap politiknya. Mulai dari buruh, petani, pelajar, para tukang becak, pedagang kecil, seniman, artis, hingga para pemuka agama.
Ironisnya dialektika perbincangan tahun politik ditengah-tengah masyarakat masih belum subtansi dari pesta demokrasi itu sendiri, parahnya semua kalangan hampir seragam dimulai dari para elit politik sebagai kontestan, cendekiawan, intelektual, akademisi, aktivis, masyarakat awam kesemuanya terjebak pada narasi yang sama. Tentunya situasi tersebut tidak sehat dan jika terus berlangsung maka hanya akan melahirkan produk yang sakit.
Sesekali kita perlu membuka literature lama terkait apa itu demokrasi, kita berharap pesta demokrasi yang yang harusnya dirayakan penuh kegembiraan layaknya sebuah pesta tidak berujung tragedy karena ketidakmampuan kita serta kedunguan para elit politik dalam memahami proses politik yang sedang berjalan. Dan ini menjadi tanggung jawab semua elemen untuk menghadirkan proses demokrasi yang sehat dan berkualitas. Bahkan harusnya tidak hanya porsesnya, seperti yang dikampanyekan oleh penyelenggara untuk memaksimalkan partisipasi pemilih tetapi kita berharap hasil yang dilahirkan adalah para elit yang berkualitas pula.
Josiah Ober dalam bukunya Arti Asli Demokrasi mengajukan pertanyaan berangkat dari definisi demokrasi yang berarti “kekuasaan oleh rakyat”, Ober mempersoalkan terkait kekuasaan seperti apakah yang dimaksud apatah lagi dalam situasi politik modern seperti saat ini. Apakah demokrasi itu sekeder system pengambilan keputusan berdasarkan voting. Bahkan Kenneth Arrow memaknai jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik, makanya dibutuhkan definisi baru akibat pemaknaan yang kurang tepat tersebut.
Memahami Demokrasi sebagai “Kekuasaan oleh mayoritas” tidaklah cukup, kratos harusnya dimaknai dengan tiga aspek yang merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Analogi pada istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah public. Artinya perdebatan kita soal pesta demokrasi harusnya berimplikasi pada lahirnya kebaikan umum, kesetaraan, atau kapabilitas.
Problem lain yang kita rasakan dalam ajang 5 tahunan ini adalah munculnya tradisi politik baru yang sama sekali berbeda dari tradisi politik sebelumnya terkusus pada masa orde baru, yaitu politik citra atau image politics, model politik ini sangat menonjol bahkan menjadi dominan dalam menentukan kehidupan politik Indonesia. Sekalipun ini normal dalam aktivitas politik, namun yang menonjol dari politik citra didukung kemajuan teknologi informasi adalah lebih menampilkan sesuatu yang bersifat fenomenal dan permukaan sebagai yang utama ketimbang hal yang subtansial. Politik citra juga berdampak dimana ruang politik hanya menjadi milik para elit politik yang berakibat perjuangan politik tidak lagi berdasarkan ideology yang harusnya menjadi prinsip dan asa utama dalam menjalankan proses politik tersebut.
Situasi yang demikianlah memaksa kita untuk membangun narasi baru soal situasi perpolitikan kita menuju pesta demokrasi 5 tahunan. Semua komponen sudah saatnya mengubur model politik yang hanya menciptakan sensasi tapi miskin subtansi. Debat kita tidak boleh terpolarisasi oleh mainan elit politik baik yang digaungkan oleh kelompok oposisi maupun permainan statistic oleh penguasa. Apapun pilihan politik kita, semua wajib mengedepankan perdebatan yang subtansial sebagai proses pendidikan politik kepada masyarakat, sehingga perjalanan bernegara kita yang harus diakui masih mencari bentuk terbaiknya dapat terarah dengan baik.
Naskah pembukaan UUD 1945 sangat jelas apa tujuan kita bernegara yang melandasi diadakannya proses pemilihan umum, (…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social…). Poin tersebut harusnya menjadi pokok perdiskusian yang dihadirkan oleh para elit politik dalam mengarungi tahun politik ini.
Inti dari proses demokrasi yang kita lakukan adalah melahirkan kepemimpinan negera, tugas negara adalah memproduksi kebijakan public berasaskan falsafah negara yang telah disepakati bersama oleh founding fathers kita. Paradigama kebijakan public kita hari-hari ini telah bergeser dari dasar falsafah negara, pemangku kebijakan banyak yang keliru memahami apa itu kebijakan public dan untuk apa kebijakan public itu, sebagai contoh para elit banyak memproklamirkan program pembangunan yang bersifat fisik, penguasa mengkampanyekan soal keberhasilan pemerintah menjalankan fungsinya terkait pembangunan infrastruktur dan pembangunan yang nampak secara fisik lainnya.
Paradigma pembangunan negara atau pemerintah kemudian hadir dalam bentuk kebijakan public ini perlu kita diskusikan ulang, karena jika kita kembali pada tujuan bernegara maka pembangunan fisik bukanlah poin yang menjadi prinsip dasar, yang terpenting adalah pembangunan manusia Indonesia yang sejahtera, cerdas dan berkeadilan. Dengan demikian perdebatan menuju pemilihan umum adalah perdebatan gagasan yang mengarahkan pada tujuan bernegara sebagai hal yang subtansial.
Pada titik inilah demokrasi (Pemilihan Umum) sebagai system yang kita gunakan untuk melakukan proses sirkulasi elit (Eksekutif & Legislatif) punya keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dengan lahirnya produk kebijakan public. Logika demokrasi kita tidak hanya terbatas pada persoalan pemilu, partai politik, parlemen dan sekitarnya. Jurgen Hubermas meletakkan demokrasi, sebagai wujud sebenar-benarnya kedaulatan rakyat, mesti dibasiskan pada apa yang ia sebut sebagai public sphere. Ruang publik dibangun di atas tindakan-tindakan komunikatif, interaksi antar-warga, atau yang ia sebut sebagai diskursus. Demokrasi dijadikan ruang partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan secara aktif dengan demikian logika pengambilan kebijakan publik juga harus diubah dari logika teknokratik menjadi logika partisipatoris.
Kesimpulannya adalah bagaimana kita merekonstruksi paradigma kebijakan public, dimana partisipasi public sebagai variabel utama dalam demokrasi, maka proses penyusunan kebijakan publik harus pula berangkat secara partisifatif dengan kata lain semua proses kebijakan public yang dengan mekanisme memberdayakan masyarakat.
“Democracy cannot function or survive without a sufficient medium by which citizens remain informed and engaged in public policy debates.” (Nancy Snow)
[btn url=”https://www.suaradewan.com/2019-demokrasi-partisipatif-kebijakan-public-partisipatif/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]