Catatan Dr. Iswandi Syahputra: Ahok; Masalah atau Fenomena Politik Pilkada DKI?

JAKARTA, SUARADEWAN.com – Berikut catatan kritis menarik yang redaksi suaradewan.com peroleh di group WA, terkait fenomena politik Pilkada DKI Jakarta.

Bagi pendukungnya, Ahok dianggap sebagai pemenang sejati Pilkada DKI sesungguhnya. Mengapa? Karena, pertama, Ahok mampu meraih suara terbesar. Kedua, Ahok ‘dikeroyok’ tapi tetap mendapat suara terbesar.

Pendapat ini benar, dan sejak awal saya mengagumi keberanian dan ketegaran Ahok terhadap suatu keyakinan (politik) yang dianggapnya benar. Tapi agar objektif, poin pertama dan kedua juga perlu dikritisi sebagai berikut:

Pertama, Benarkah Ahok meraih suara terbesar? Benar, bila dibandingkan dengan 2 Pasangan Calon lain (Agus dan Anies). Tapi salah, bila dibandingkan dengan seluruh suara. Ahok hanya mendapat 40℅ (+/-) dari total akumulasi 100℅ suara.

Kedua, Benarkah Ahok hebat walau ‘dikeroyok’ tapi tetap mendapat suara terbesar?. Benar, bila hanya melihat peraihan suaranya saat Pilkada. Tapi perlu dijernihkan, bahwa Ahok bukan ‘dikeroyok’. Ahok cuma ‘merasa dikeroyok’ karena sikapnya dianggap melawan arus utama pemahaman umat muslim. Artinya, aslinya ini dua kasus terpisah tapi bisa saling mempengaruhi.

Baca Juga:  Catatan PB HMI untuk Indonesia Hadapi MEA

Apa yang membuat Ahok menang dalam Pilkada putaran pertama? Menurut saya, Ahok politisi berkarakter kuat. Karakter Ahok yang kuat telah membuat dia mampu membangun simpati dan militansi pendukungnya.

Inipun tidak sepenuhnya benar, sebab pada beberapa hal karakter itu justru dinilai buruk. Bagaimana menjelaskannya? Ini bisa disebut sebagai anomali. Tapi itu sulit dan panjang penjelasannya.

Saya lebih tertarik menjelaskannya dengan pendekatan genetika politik domestik. Sejak zaman pra kemerdekaan, gen sosial politik Indonesia itu terpolarisasi pada 2 kelompok besar, Agamais dan Nasionalis. Presentasenya berimbang. Hanya saja, kelompok agamais lebih mudah dipecah, hingga kelompok nasionalis selalu menang dan lebih diperhitungkan. Ahok juga saya fikir menimbang soal ini. Basis pendukung fanatiknya adalah gen Nasionalis.

Bagaimana prospek Ahok pada Pilkada DKI putaran kedua? Ahok berpeluang menang atau kalah, proporsinya 50:50. Ahok berpeluang menang karena dengan cerdas telah ‘memilih’ Anis sebagai lawannya di putaran kedua.

Mengapa Anis yang dipilih? Ini strategi memisahkan ‘minyak dan air’ agar jelas garis genetika nasionalis dan agamis. Bagaimana Ahok menyingkirkan Agus? Munculnya AA pada saat injury time, dan serangan pada SBY bisa menjelaskan kaitan hal tersebut.

Baca Juga:  Sosiologi Hukum

Tapi Ahok juga berpeluang kalah bila suara Agus solid melimpah bulat ke Anis. Apakah itu mungkin? Belum tentu juga, sebab tipikal priyayi SBY sebagai pemangku suara Agus yang selalu memilih bermain netral (ini sikap yang tidak bijak) rasanya agak sulit suara Agus bisa penuh melimpah ke Anis.

Jikapun melimpah penuh, dengan merujuk pada genetik komposisi dasar kelompok sosial politik dari nasionalis-agamis, jumlah nasionalis masih lebih besar sedikit.

Kedekatan Ahok dengan kekuasaan dapat pula mempengaruhi energinya memenangkan Pilkada. Ada pula beberapa anasir lain yang tidak dapat disampaikan. Sehingga dengan demikian, dapat saja Ahok akan memenangkan Pilkada DKI putaran kedua dengan selisih suara tidak lebih dari 5℅.

Pilkada DKI ini memang memberi banyak ujian bagi kita. Siapapun yang menang dalam Pilkada DKI saya hanya berharap, yang menang tidak arogan, yang kalah tidak merasa rendah. Semuanya harus kembali ke garis depan NKRI. Akhiri dendam politik, hentikan sebar kebencian.

Penulis adalah Dosen UIN Sunan Kalijaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *