Membedah Regulasi PI 10% Blok Migas Sebagai Upaya Peningkatan Ketahanan Energi dan Kemakmuran Masyarakat Ibukota

Oleh : Iqbal Tawakal, S.T*

Jakarta sebagai ibukota dan episentrum kemajuan Indonesia kini memasuki babak baru seusai terpilihnya gubernur dan wakil gubernur baru. Dengan rancangan anggaran tahun 2018 yang mencapai 74 triliun tentunya distribusi dan alokasi dana harus disalurkan secara efektif melalui program-program yang tepat sasaran dan sifatnya sustainable.

Selain program-program prioritas seperti pada sektor kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan lainnya, pemerintah daerah dalam hal ini pemprov DKI dinilai perlu mencanangkan terobosan untuk membuat program yang berpotensi dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain. Pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai upaya mewujudkan asas desentralisasi.

Menurut Saragih (2003), peningkatan PAD sebenarnya merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi daerah yang pertumbuhan ekonominya positif sehingga mempunyai kemungkinan mendapatkan kenaikan PAD. Dari perspektif ini seharusnya pemprov DKI lebih berkosentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dari pada sekedar mengeluarkan produk perundangan terkait dengan pajak atau rertribusi.

DKI Jakarta memiliki potendo untuk menstimulus peningkatan PAD berupa penerimaan dana bagi hasil (DBH) dari sektor migas. Saat ini tercatat 2 wilayah kerja (WK) migas yang beroperasi di wilayah perairan Jakarta yaitu blok South East Sumatera (SES) yang dikelola oleh kontraktor kerja sama (KKKS) CNOOC dan blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh kontraktor kerja sama (KKKS) Pertamina Hulu Energi.

Selama semester 1 tahun 2017, pemprov DKI menerima dana bagi hasil (DBH) dari kumulatif lifting minyak sebesar 1.634.266,56 barel dan lifting gas sebesar 5.680.477,32 MMBTU yang diperoleh dari produksi kedua blok tersebut. Kucuran DBH migas tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk menyumbang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan membangun infrastruktur ataupun proyek mercusuar yang identik dengan simbol kemajuan dan kemakmuran daerah penghasil. Contoh sukses dari keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola DBH migas dapat dilihat di Bojonegoro. Pemerintah daerah Bojonegoro berhasil memanfaatkan aset migasnya untuk menciptakan efek berantai bagi perekonomian dan masyarakat di daerahnya melalui pengoperasian Blok Cepu.

Pertumbuhan ekonomi daerah kabupaten tersebut tahun lalu tergolong tinggi yaitu sebesar 19%. Sementara dalam APBD 2017 tercatat perolehan DBH migas pemerintah daerah Bojonegoro sebesar Rp700 miliar, yang mana untuk periode triwulan II saja sudah terealisasi DBH sebesar Rp225 miliar.

Berkaca dari success story pemerintah daerah Bojonegoro yang berhasil mengoptimalkan potensi kekayaan sumber daya alamnya, maka suatu program penguatan badan usaha milik daerah (BUMD) yang diplot untuk memiliki hak kelola migas menjadi prospek bisnis yang menarik untuk digagas. Semangat pemerintah daerah lewat BUMD terkait pengelolaan migas sudah tertuang dalam peraturan menteri ESDM nomor 37 tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.

Dalam Permen ini, para kontraktor migas diwajibkan untuk melepas 10% Participating Interest alias hak kelola blok migas kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pemerintah daerah didorong untuk berpartisipasi aktif dalam kebijakan PI 10% ini karena merupakan hak dari daerah atas kepemilikan sumber daya minyak dan gas bumi di wilayahnya masing-masing agar daerah ikut memiliki dan ikut menikmati kekayaan migas di wilayahnya. Dengan ikut menjadi pemilik dan pemegang hak kelola, pemerintah daerah diharapkan dapat memudahkan perizinan serta tidak menerbitkan peraturan-peraturan daerah yang menghambat kegiatan operasi dan produksi di wilayah kerja migas.

Baca Juga:  Pilkada Bukan Bencana Demokrasi

Prinsip dari kebijakan PI ini adalah kontraktor kerja sama (KKKS) menawarkan porsi PI 10% pengelolaan migas kepada daerah dalam skema bisnis antar badan usaha (business to business). Oleh karena itu pemerintah daerah harus terlebih dahulu menyiapkan BUMD yang nantinya akan mengelola PI tersebut, tanpa campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah yang boleh menerima PI wajib memenuhi beberapa kriteria. Pertama, BUMD bisa perusahaan daerah atau perseroan terbatas yang 99 persen sahamnya dimiliki pemda yang bersangkutan dan sisa kepemilikan sahamnya terafiliasi seluruhnya dengan pemda serta tidak terdapat unsur swasta dalam kepemilikan saham. Kedua, status BUMD disahkan melalui peraturan daerah. Ketiga, BUMD atau perseroan terbatas daerah tidak melakukan kegiatan usaha selain pengelolaan PI blok migas.

Pada bulan Juli lalu, Pemprov DKI Jakarta telah menjalin kerja sama dengan Pemprov Jabar terkait pengambilan dan pembagian Porsi PI 10% pada Wilayah Kerja Offshore North West Java (ONWJ). Dalam perjanjian kerja sama tersebut, Pemprov DKI Jakarta akan mendapat jatah sebesar 20,29% dari 10% hak kelola sedangkan bagian yang diterima Pemprov Jabar sebesar 69%. Sementara untuk BUMD yang mengelola PI milik Pemprov DKI adalah PT Jakarta Propertindo.

Pemprov DKI Jakarta sebenarnya berkesempatan untuk mengakuisisi PI dari blok migas lainnya. Berdasarkan data kementerian ESDM saat ini tercatat ada delapan kontrak blok migas yang akan berakhir pada 2017 dan 2018. Delapan kontrak ini adalah Blok Tuban, Blok Ogan Komering, Blok Sanga-Sanga, Blok South East Sumatera (SES), Blok Tengah dan Blok Kalimantan. Ada juga Blok B dan Blok NSO di Aceh yang dikelola oleh anak usaha. Blok migas yang habis masa kontraknya kemudian akan dilelang oleh kementrian ESDM untuk menentukan siapa operator/KKKS yang akan mengelola blok-blok tersebut selanjutnya.

Perhatian ditujukan khususnya kepada Blok South East Sumatera (SES) yang saat ini dikelola oleh CNOOC yang mana kontraknya akan berakhir pada tahun 2018 dan wilayah kerjanya mencakup dua daerah penghasil yaitu DKI Jakarta dan Lampung. Senada dengan persyaratan penawaran PI yang hanya berlaku wajib untuk kontrak blok migas baru maka pemprov DKI Jakarta diharapkan lebih responsif dalam menyiapkan segala hal yang bersifat mandatory dari proses administrasi maupun operasional akuisisi PI.

Selanjutnya, untuk menetapkan proporsi penawaran PI dapat merujuk pada pasal 4 huruf c pada permen ESDM no.37 tahun 2016, yang mana untuk kondisi lapangan yang berada di daratan dan/ atau perairan lepas pantai yang berada di wilayah administrasi lebih dari satu provinsi maka pelaksanaan penawaran PI 10% dilaksanakan dengan ketentuan yang didasarkan pada kesepakatan antara gubernur bersangkutan yang dikoordinasikan oleh gubernur yang wilayahnya melingkupi sebagian besar lapangan yang akan dikembangkan. Proses konsensi tersebut harus sepenuhnya berlandaskan kepada payung konstitusi yang berlaku dan juga mengedepankan nilai-nilai good will dan mutual respect antara sesama pemerintah daerah penghasil migas.

Baca Juga:  Meramu Sosok Pemimpin Pilihan Rakyat Riau

Hubungan kemitraan bisnis yang terjalin antar pemerintah daerah semestinya tidak hanya mementingkan soal pembagian dividen dan sebatas asas profitability saja, melainkan adanya sinergisitas dalam semangat pengembangan otonomi daerah yang tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat. Kedepannya pemerintah daerah bersama BUMD diharapkan semakin mandiri dalam menggerakkan perekonomiannya sendiri serta mempunyai kekuasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi lokalnya secara maksimal sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, bukan hanya terkait dengan pembiayaan tetapi juga terkait dengan kemampuan daerah.

Pemprov DKI Jakarta beserta dengan segenap stake holder dibantu dengan tenaga konsultan dapat membentuk suatu badan/lembaga khusus yang diproyeksikan bergerak dalam ranah pengembangan hulu migas dan berfungsi untuk mempersiapkan teknis dan mekanisme dalam mengelola PI sehingga kemungkinan timbulnya conflict of interest antara dua daerah penghasil dapat diantisipasi. Pemprov Kalimantan Timur contohnya membentuk tim satuan tugas pengembangan hulu migas yang beranggotakan dari unsur pemda, DPRD, dan pakar/praktisi migas yang mana secara independen dan profesional telah sukses menyelesaikan proses pembagian porsi PI blok Mahakam antara pemprov Kaltim dengan pemkab Kutai Kartanegara.

Berdasarkan hasil dari kajian data konsultan dan satgas hulu migas Kaltim, porsi pembagian Participating Interest (PI) 10% Blok Mahakam adalah 66,5% untuk Pemprov Kaltim dan 33,5% untuk Pemkab Kutai Kartanegara.

Kemudian karena setiap BUMD hanya dapat diberikan pengelolaan PI untuk satu wilayah kerja saja, maka PT Jakarta Propertindo yang telah menerima PI dari blok ONWJ tidak dapat diserahkan wewenang untuk mengelola PI dari blok migas lain. Artinya pemprov DKI Jakarta harus membentuk perusahaan baru untuk menerima PI di suatu wilayah kerja. BUMD juga bisa menawarkan jatah PI yang didapat kepada anak usahanya yang dimiliki 100% oleh BUMD tersebut. Dikarenakan PI tidak bisa diperjualbelikan/dialihkan/dijaminkan ke pihak lain maka jika BUMD tidak sanggup atau tidak berminat atas PI yang ditawarkan, kontraktor wajib menawarkan jatah daerah ini kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sehingga apabila dilanggar maka Menteri ESDM akan memberikan sanksi berupa teguran tertulis hingga pembekuan PI. Sisi lainnya adalah pihak kontraktor migas berhak mendapatkan sosialisasi terkait kebijakan PI 10% terlebih dahulu sehingga tidak ada kecemasan bahwa kebijakan ini beresiko akan merugikan kontraktor. Bagi pihak kontraktor migas, mungkin ada beban awal yang timbul karena harus melepas dan menalangi 10% hak kelola ke BUMD. Tapi kontraktor akan diuntungkan juga secara jangka panjang dikarenakan lewat PI pemda akan cenderung memberi kemudahan perizinan, bukan mempersulit dengan perda-perda yang tidak memberikan added value. Bahkan kalau bisa, pemda sendiri yang mengurus izin-izin di daerahnya.

Jika pemda membuat perda-perda yang mempersulit atau berbelit-belit tentunya mereka sendiri yang akan rugi karena dapat menghambat kegiatan operasi sehingga berdampak kepada hilangnya pendapatan dari migas dan memperlambat investment rate bagi pemda itu sendiri. Sebaliknya apabila iklim kerja sama yang efektif antara pemda dengan kontraktor dapat tercipta maka proses pembagian dividen tentunya akan menjadi lebih cepat.

Baca Juga:  Restorasi Birokrasi Menuju Indonesia Tanpa Korupsi

Secara teknis, besar kewajiban PI 10% dihitung secara proporsional dari biaya-biaya yang dikeluarkan kontraktor untuk blok migas tersebut. Meliputi biaya operasi selama masa eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan rencana kerja dan anggaran. Pembayaran atas kewajiban PI daerah ini wajib ditanggung terlebih dahulu oleh pihak kontraktor. Pengembalian dana ini bisa diambil dari bagian hasil produksi yang didapat BUMD sesuai kontrak kerja sama, tanpa dikenakan bunga. Besaran pengembalian biaya dilakukan setiap tahunnya menurut kelaziman bisnis yang ada.

Meski begitu, kontraktor juga wajib menjamin adanya penerimaan bagi hasil produksi migas dalam jumlah tertentu untuk BUMD. Jangka waktu pengembalian dimulai pada saat produksi sampai dengan terpenuhinya kewajiban BUMD. Selain dana talangan kontraktor, alternatif pendanaan yang kemudian dapat digunakan untuk membiayai PI BUMD adalah melalui suntikan Penyertaan Modal Daerah (PMD) oleh pemerintah daerah penghasil.

Seperti yang diketahui pada 2016 yang lalu pemda DKI Jakarta telah memberikan PMD kepada sembilan badan usaha milik daerah (BUMD) sebesar Rp 5,54 triliun yang mana untuk PT Jakarta Propertindo sebagai BUMD pengelola PI blok ONWJ dikucurkan PMD sebesar Rp 1 triliun. Melalui dukungan dana PMD bukan tidak mungkin nantinya dalam pelaksanaan operasional migas Pemda/BUMD dapat berpartisipasi aktif dalam bentuk investasi aset melalui pengajuan CAPEX (Capital Expenditure). Output dari CAPEX dapat berwujud aset/fasilitas utilisasi yang menunjang aktivitas operasi migas seperti pembangunan dermaga, shore base, camp pekerja, pembangkit listrik, dan lain-lain. Aset-aset tersebut kedepannya akan tetap fungsional bagi kegiatan industri lain di sekitar wilayah penghasil migas nantinya walaupun pasca berakhirnya kontrak blok migas.

Mengutip peribahasa kontemporer Syrus (449) yaitu Occasio aegre offertur, facile amittitur yang bermakna kesempatan yang tepat jarang datang dan gampang terlepas sehingga kita mudah kehilangan kesempatan yang tepat itu, maka kebijakan PI 10% blok migas ini terbilang strategis untuk kemudian dimaknai sebagai kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk memperkaya daerah serta meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat lewat kekayaan alamnya sendiri. Kesempatan tersebut lumrahnya akan hilang jika tidak disikapi dengan persiapan dan eksekusi yang matang. Segala tantangan yang mungkin akan menghambat implementasi PI 10% harus diidentifikasi secara komprehensif melalui pola pendekatan project management yang tepat.

Dapatkah pemda menerapkan good governance dalam mengeluarkan perizinan?Apakah BUMD dapat membiayai kegiatan operasional migas sebagai salah satu pemegang hak kelola?Apakah kontraktor mendapatkan jaminan ekonomis dari skema kebijakan ini?Seberapa besar beban kontraktor untuk menalangi porsi PI? serta beberapa isu lain yang akan muncul perlu dikaji dan dirumuskan solusi penyelesaiannya yang terbaik.

Harapan besar kebijakan PI 10% terletak pada implikasinya dalam peningkatan PAD yang otomatis akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kenaikan PAD juga dapat menghidupkan dan mengoptimalkan aktivitas pada sektor-sektor yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, seperti sektor industri dan perdagangan, sektor jasa, dan sektor-sektor lainnya. (FH)

Iqbal Tawakal, S.T,

*Penulis adalah Direktur Utama Indonesian Community Energy Research (ICER)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed