Pribumi: Antara Columbus, Indian, dan Aborigin

Oleh : Prof DR Abdul Hadi WM*

Mana yang benar? Pribumi atau aborigin?” itu adalah pertanyaan yang sering saya tanyakan koleganya saya Ben Joseph yang asal Kanada.

Saya benar-benar menghargai pertanyaan dan motif di balik pertanyaan – untuk menghormati masyarakat pribumi dengan menggunakan terminologi yang benar.

Bangsa Aborigin mengubaah nama untuk ‘Indigenousa kolektif’ untuk penduduk asli Kanada dan telah menjadi tantangan sejak Christopers Columbus tiba di tanah itu pada tahun 1492 M. Saat itu ia peercaya telah mendarat di india. Maka ia pun memberkan nama kepada populasi yang ada dengan  sebutan sebagai ” Indian.” Meskipun terang-terangan tidak benar, namun Columbus dan orang Eropa tak peduli.

Baca juga:

Pada masa kemudian, penggunaan kata-kata india di Kanada menurun karena asal koneksi dengan ke kebijakan kolonial seperti undang-Undang mengenai ‘India’. Kemudian ada Departemen India (rintisan ke pribumi dan urusan warga Kanada di utara). Juga ada agen India, sekolah perumahan india, serta berbagai hal lainnya yang mengatur soal penanganan warga pribumi Kanada itu.

Baca Juga:  Mengapa Kata “Pribumi” Menjadi Begitu Sensitif?

Meski begitu, sampai sejarang neberapa komunitas terus menggunakan sebutan India dalam nama suku mereka . Terbentuknya Osoyoos Band india adalah sebuah contohnya. Beberapa individu pun masih mengacu pada idenitas diri mereka sebagai orang india, tetapi dalam hal kata benda kolektif, itu kini sudah semakin jarang digunakan.

Istilah ”native” juga merupakan istilah umum tetapi dianggap uncivil dan jarang digunakan dalam percakapan yang saling menghormati.

Orang Aborigin pindah ke popularitas sebagai benda kolektif yang benar untuk negara pertama, inuit dan plain dan diadopsisecara luas oleh pemerintah dan banyak kelompok nasional. Perbedaan ini dibuat hukum pada tahun 1982 ketika undang-undang datang menjadi. Bagian 35 (2) dari undang-undang, “Penduduk Aborigin Kanada” termasuk orang india, inuit dan plain bangsa Kanada.

*Guru Besar Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina Jakarta.

(tulisan ini telah tayang di republika.co.id per 23 Oktober 2017)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *