Quo Vadis 20 Tahun Reformasi

Oleh: Shiny Ane

Bulan Mei diidentikkan dengan peringatan reformasi, tonggak perubahan yang meruntuhkan kekuasaan Soeharto. Gerakan massa waktu itu ibarat air bah yang tak terbendung.

Sejarah saat itu melahirkan kebebasan, melahirkan euforia. Seluruh rakyat Indonesia bersorak soai menyambut hari yang baru, dengan semangat baru, harapan baru, dan cita-cita baru. Tetapi … benarkah?

Sekarang, bahkan setelah hampir dua dekade kita masih melihat berbagai gelagap sikap menghadapi realitas baru di era baru ini. Seolah apa yang telah dilahirkan oleh sejarah bangsa ini pada dua puluh tahun kebelakang begitu prematur. Banyak pengamat mengatakan bahwa reformasi dianggap gagal.

Bangsa ini pernah dibuat kaget dengan sebuah rilis penelitian dari Indo Barometer yang memublikasikan hasil survei nasional sepanjang 25 April-4 Mei, yang menyatakan 40,9 persen responden mempersepsikan Orde Baru lebih baik dari Orde Lama dan reformasi. Hanya 22,8 persen yang memilih era Reformasi sebagai yang terbaik.

Tentu, hasil survei itu menjadi polemik. Mereka yang melihat dari cara pandang skeptis akan memunculkan pertanyaan: benarkah hasil survei itu merefleksikan pandangan umum masyarakat Indonesia?

Baca Juga:  Restorasi Birokrasi Menuju Indonesia Tanpa Korupsi

Tetapi persoalannya bukan di situ, melainkan pada hal yang lebih substansial, yakni menguatnya gejala kekecewaan masyarakat terhadap kaum elite, baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita dari berbagai diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi yang bertajuk Quo Vadis Reformasi…

Hal lain yang membuat reformasi kita nampak berjalan di tempat adalah politisasi hukum. Proses penegakan hukum menjadi lamban, bahkan terkadang keluar jalur dan masuk di ranah politik.

Misalnya, rakyat mungkin sudah bosan melihat berbagai kasus hukum yang menguap tanpa alasan jelas. Tindakan korupsi yang dilakukan sejumlah politikus dan pejabat sangat kental dengan ciri permainan politik ketimbang penegakan hukum. Beragam kasus hukum didorong ke permukaan untuk menjadi pembuka sejumlah negosiasi dengan kekuatan lain.

Korupsi menjadi momok lain bagi jalannya agenda reformasi. Saat ini ada kecenderungan parpol tergerus habis oleh pusaran korupsi para elite yang ada di dalamnya. Budaya korupsi ini kian melembaga karena parpol harus bertarung di pemilu dan pilkada yang sangat mahal.

Baca Juga:  Pilkada Bukan Bencana Demokrasi

Ongkos demokrasi elektoral sangat tinggi akibat politik yang tak berbasis kinerja, melainkan hanya berupa transaksi menjelang pemilu. Konsekuensinya, politikus dan parpol harus bergerilya, bahkan kerap menjadi “drakula” untuk megisap banyak sumber finansial, agar bisa bertahan di medan pertempuran yang panjang dan melelahkan dan masih banyak maslah lainnya.

Lantas bagaimana kemudian kita akan melihat Indonesia kedepan dalam momentum 20 tahun reformasi esok?

Oleh karenanya, dalam rangka memperingati 20 tahun reformasi ini, kami selaku kelompok generasi muda yang masih mempunyai cita-cita panjang ke depan untuk mengawal bangsa ini, mengundang bapak/ibu sekalian untuk membincangkan kembali agenda reformasi melalui sebuah penerbitan antologi esai sosial-politik bersama.

Sehingga, kita saat ini dapat melihat dengan jelas dan terang sebenarnya, masalahnya dengan data-data yang lebih tajam, dan bagaimana kita mesti menyikapi 20 tahun reformasi ini. “Quo Vadis 20 Tahun Reformasi: Dari mana mau ke mana?” (aw)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *