Restorasi Birokrasi Menuju Indonesia Tanpa Korupsi

Oleh : Andriyatno (Akademisi)

Menyingkap permasalahan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya di Kementrian Perhubungan (Kemenhub) terkait masalah Pungutan Liar (pungli) yang dilakukan oleh staf Kemenhub terkait pungli perizinan buku pelaut, perizinan kapal, dan perizinan rumput laut.

Ini menandakan bahwa birokrasi kita sudah hancur dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas kedudukannya, yang ingin sebuah jabatan dengan jalan mudah tanpa dibarengi dengan kerja yang baik dan jujur. Misalnya, betapa banyak PNS disegala struktural dan birokrasi pemerintahan, yang masuk melalui cara suap menyuap. Hasilnya ketika ia bekerja, mental seperti inilah yang didapat (pungli), sebagai suatu bagian apa yang disebut “balas dendam”, yakni ketika mereka masuk birokrasi pemerintahan dengan mengeluarkan materi yang sangat banyak, maka setelah masuk dalam birokrasi pemerintahan tersebut, mereka berusaha agar modal pengeluaran diawal tersebut, sebisa mungkin harus kembali dengan segala macam cara.

Beredarnya pungutan liar (pungli), sudah masuk dari segala macam struktural birokrasi pemerintahan, sampai ditingkatan paling bawah. Inilah yang patut dibenahi dari birokrasi kita. Terjadinya pungli biasanya terjadi : 1. Kebutuhan akan materi 2. Proses Simbiosis Mutualisme, baik bagi yang menyuap maupun yang menerima suap. Terlebih bagi penyuap, yakni agar urusannya mudah dan tidak dipersulit.

Perkembangan zaman dari filosofis menuju ke zaman dan alam materialistik, dengan ditandai renainsance, modernisasi, dan globalisasi, pada akhirnya membawa manusia bergantung kepada “materi”, karena kebutuhan hidup yang semakin tinggi dengan pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran, maka manusia pada akhirnya bergantung kepada “materi” tertuju pada “materi”, yang dapat menjawab segala macam kebutuhannya tersebut, sehingga kehidupannya mengalami mengada-ngada (being), angan-angan panjang, dan bersandar kepada sesuatu dari itu semua (i’timad), sehingga ia menghalalkan segala sesuatu (machiavelistis), dan tidak percaya kepada anugerah (fadlal) Tuhan, lalu pada akhirnya tidak percaya akan dosa dan alam sesudah kematian (akhirat).

Baca Juga:  Pilkada Yang Berkualitas Melahirkan Pemimpin Yang Berkualitas

Seharusnya mereka menyadari bahwa Tuhan Maha Hadir (omnipresent), dan apapun yang dilakukan dan diperbuat oleh manusia baik atau buruk, sekecil apapun, Tuhan akan mengetahui dan memperhitungkannya (Qs. Al-Zalzalah:7-8).

Dan inilah apa yang dikatakan Rasul SAW dahulu, bahwa ummatku diakhir zaman akan terkena dua penyakit yang tidak ada obatnya, yakni cinta dunia secara berlebihan (hubbud dunia) dan takut mati. Untuk itu seharusnya manusia bertaqwa hingga mencapai titel “kesadaran ketuhanan” (God-Consciousness). Terlebih Paul Tillich melalui karyanya yang berjudul “The Courage To Be” mengatakan “Dengan keberanian hidup bersandarkan kesadaran ketuhanan, maka manusia akan terbebaskan dari berbagai macam kecemasan eksistensial diri, yang sering menghantui kehidupan manusia”.

Selain itu, apa yang dilakukan staf Kemenhub, atas apa yang mereka perbuat (pungli), yakni merupakan akibat cinta dunia yang terlalu berlebihan (hubbud dunia), karena ketakutan tidak bisa hidup tanpa materi yang banyak, lalu terpengaruh oleh nafsu, dan akhirnya melakukan perbuatan seperti itu. Dan dengan melakukan perbuatan seperti itu sama saja mereka tidak takut mati, dan tidak takut atas hari pembalasan diakhirat nanti. Seharusnya mereka melakukan pekerjaan, seperti apa yang dikatakan oleh Robert Kiyosaki “Bekerjalah untuk belajar, janganlah bekerja untuk uang” (Rich Dad, Poor Dad:1998). Serta meminjam istilah Sejarawan Kuntowijaya mengenai apa yang disebut sebagai “Liberasi”, yakni “missi pembebasan manusia dari kungkungan sistem pengetahuan materialistik”

Dan seharusnya manusia bukan bagaimana berfikir panjang untuk menimbun dan memperbanyak harta kekayaan. Terlebih Islam mengajarkan agar menafkahkan sebagian harta kekayaan untuk dijalan-Nya (Qs. Al-Baqarah:267), melarang untuk bersombong dan berbuat kerusakan dimuka bumi (Qs. Al-Qashash:83), serta dilarang untuk berlebih lebihan dimuka bumi ini (Qs. Al-Isra:26).

Lalu faktor selanjutnya adalah, adanya proses “Simbiosis Mutualisme”, baik bagi penyuap dan penerima suap. Sehingga memunculkan istilah “Who Gets What” (siapa mendapat apa). Bagi si penerima suap, penjelasannya seperti apa yang dipaparkan diatas, yakni adanya keinginan untuk memperkaya diri akibat tuntunan modernisasi dan globalisasi. Dan bagi penyuap inilah yang menjadi permasalahan di Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia mau yang serba praktis dan instan terkait berhubungan dengan administrasi birokrasi pemerintahan, baik membayar pajak, dan administrasi yang lainnya, karena menurut mereka hal dan cara administrasi tersebut menguras tenaga dan melalui proses yang sangat panjang. Sehingga mereka lebih baik membayar orang untuk mengurusi administrasi tersebut, atau menyuap para pekerja birokrasi pemerintahan tersebut, agar mudah dan cepat terselesaikan.

Baca Juga:  "Mendadak Caleg !”

Kalau seperti itu yang terjadi adalah kemunduran bagi Indonesia, baik bagi birokrasi pemerintahan dan masyarakat Indonesia mengalami degradasi moral dan akhlak. Seharusnya birokrasi memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa embel-embel apapun, dan masyarakat seharusnya dapat belajar cerdas, mampu mempelajari, dan mencari info terkait permasalah administrasi disegala birokrasi pemerintahan.

Maka perlu adanya “Restorasi Birokrasi” di segala lini dan pelayanan birokrasi berupa :

  1. Ketegasan seorang pemimpin dalam birokrasi. Yakni seorang pemimpin birokrasi tersebut, harus mempunyai ketegasan bagi bawahannya dan dipilih pemimpin birokrasi tersebut yang mampu bekerja secara profesional dan mengerti dalam bidangnya.
  2. Pemberdayaan penegakkan hukum (law enforcement). Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan seluruh masyarakat Indonesia semua sama dimata hukum. Namun seperti yang nampak dipermukaan, bahwa hukum di Indonesia “Tajam Kebawah, Tumpul Keatas”, sehingga bagi mereka yang bermodal, hukum dapat dipermainkan, Untuk itulah “Gerry Spence mengkritik ujaran yang berbunyi “Equal Justice Underaw” Lalu menambahkan menjadi “Equal Justice Under Law, To All Who Can Afford It” ?. Maka hukuman bagi pelaku korupsi maupun suap harus mengikat, dan dilakukan setimpal tanpa adanya tarik menarik akibat kepentingan dan modal.
  3. Dalam pelayanan birokrasi, maka perlu adanya sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat terkait administrasi birokrasi, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran dan ketidak mengertian ditengah-tengah masyarakat. Dan birokrasi pemerintahan harus mengupayakan bagaimana suatu proses administrasi birokrasi, harus dibuat semudah dan sepraktis mungkin, karena masyarakat Indonesia mayoritas banyak yang berpendidikan rendah, dan tidak mampu mengerti maupun mengakses segala macam bentuk-bentuk proses administrasi dalam birokrasi pemerintahan.
Baca Juga:  Melawan Politik Primordial

Dan yang menarik dari proses penangkapan tersebut adalah bagaimana keputusan langsung dicetuskan oleh Presiden RI Bapak Jokowi, yang langsung meninjau proses Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kemenhub beberapa waktu lalu, yang mana beliau akan membuat Operasi Pemberantasan Pungli (OPP). Operasi Pemberantasan Pungli (OPP), adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah RI sebagai respon oleh maraknya pungli di tataran birokrasi pemerintahan.

Operasi Pemberantasan Pungli (OPP) ini serasa tidak akan berjalan dengan efektif, jika tidak dibarengi oleh penegakan hukum yang mampu menembus dari segala macam ketidak adilan hukum. Serta tim Operasi Pemberantasan Pungli (OPP), nantinya harus diisi oleh orang-orang profesional yang kompeten di bidangnya serta independent, karena banyak kejadian bahwa penegak hukum banyak yang membela para tersangka pelanggaran hukum.

Untuk itulah “Restorasi Birokrasi” pada saat ini sangatlah diperlukan bangsa Indonesia, agar Indonesia kedepannya bisa terlepas dari cengkraman Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (KKN), yang dapat menghambat segala macam bentuk keadilan dinegara tercinta ini, sehingga imbas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) tersebut, terjadinya pengkelasan dalam rana status sosial (stratifikasi sosial), lalu berujung pada ketidakadilan terhadap masyarakat kecil dan perbuatan sewenang-wenang terhadap masyarakat kecil, sehingga masyarakat madani (civil society) sulit diterapkan di Indonesia ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *