Melawan Politik Primordial

Oleh: Amir Wata

“Konflik politik disebabkan ikatan primordialisme yang mengalami percampur-adukkan antara kesetiaan politik dan kesetiaan primordial, solidaritas kelompok sangat mempengaruhi konflik politik dapat berkembang. Sumber solidaritas kelompok adalah ikatan-ikatan primordial yang menjadi perekat kelompok primordial bersangkutan dan ikatan primordial inilah yang melahirkan sentimen primordial dan kesetiaan primordial (Clifford Geertz)”.

Hampir tak bisa dibedakan, antara pilihan primordial atau professional. Kedua-duanya tentu memiliki subtansi yang mirip tetapi beda akan definisi dan tataran aplikasinya. Primordialisme menjadikan suatu faham melalui pendekatan budaya dan subkultur yang sangat mengikat, akan tetapi buruknya istilah ini terkadang dikarenakan faktor  ideologi etnografis yang berlebihan.

Sementara profesionalisme menuntut kita pada cara kerja yang terapi, terstruktur, tata kelola yang baik, dan tentu-nya kecerdasan Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Manusia yang mumpuni.

Merujuk dari judul yang dimaksud diatas, tentu ada dua variabel yang  menjadi kajian kita dalam menyimak bangsa ini. Pertama adalah teori mengenai primordialisme dan yang kedua adalah teori tentang profesionalisme, pertanyaan dasar yang muncul adalah seberapa efektifkah teori mengenai primordial dan seberapa pentingkah profesionalisme dalam tataran politik, organisasi dan kelompok-kelompok sosial.

Baca Juga:  Angket DPR Terhadap KPK merupakan bentuk Evaluasi

Apalagi jika rumusan masalahnya adalah “Ketika konspirasi politik dijadikan sebagai isu Geopolitik bercirikan Isu SARA”. Kita bahkan akan jauh dari makna primordial dan professional yang sesungguhnya.

Jika apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz; tentang primordial adalah sebagai sumber solidaritas kelompok yang menghasilkan kelompok-kelompok sosial, maka definisi primordial harus menjadi teori yang baku untuk digunakan. Sebab, dengan primordial menjadikan segala sesuatu dalam kelompok-kelompok masyarakat terasa lebih berbaur satu dengan yang lainnya.

Tapi yang perlu dikaji ulang, primordial bukan berarti tidak professional, bahkan untuk mengklasifikasi sifat ke-kauman ini kita juga harus selektif dan bijak.

Tidak bisa dipungkiri, rumitnya persoalan di negeri ini dikarenakan oleh faktor primordial yang terlalu tensi yang mengikat dan berlebihan. Tak jauh-jauh kita menyimak tentang geopolitik yang terjadi, bagaimana kultus budaya sudah menjadi sebuah ikatan yang paling berpengaruh dan menjadi wacana menuju ajang konsilidasi pada pilihan politik.

Tanpa melihat factor-faktor tertentu ternyata primordialisme ini menjadi sarana mencari simpatik publik. Bahkan dalam hal tertentu, terkadang selalu menghubungkan status, etnis, agama dan suku terhadap pilihan politiknya. Apapun itu, yang jelasnya isu primordial seperti serangan balik pada kepemimpinan yang dianggap sebagai kontradiktif.

Baca Juga:  Jokowi, Prabowo, dan AHY, Koalisi atau Kompetisi di 2019?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *