Abah Kita (Bag. 4): Bandongan dan Sorogan

Ini tentang Shonhaji yang berbeda. Ia hidup sekitar 1 abad lebih dulu dari murid Sunan Ampel yang kebetulan bernama sama. Nama lengkapnya Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash Shonhaji. Syekh Shonhaji.

Hari itu Syekh Shonhaji mulai bimbang. Hari yang selama ini dinanti justru membuatnya ragu. Padahal hari itu ia akhirnya bisa menyelesaikan salah satu kitab, yang menurutnya akan membantu banyak orang yang ingin mempelajari ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab).

Persoalannya bukan pada isi kitabnya, tetapi pada isi hatinya. Ia mulai meragukan apakah benar tujuan ia menulis kitab itu karena mengharap ridha Allah, atau berharap lain.

Ia lalu memutuskan untuk membuang kebimbangan dengan cara membuang kitab itu. Menuju pantai, ia melempar kitab itu dan berserah, “Ya Allah. Jika kitab ini murni karena-Mu. Maka kembalikan ia padaku”.

Sekembalinya ke rumah, Syekh yang juga dikenal sebagai Ibnu Ajurrum ini kaget. Kitab itu sudah kembali ke meja kerjanya. Tidak basah sedikit pun.

Kitab itu kini populer -khususnya di kalangan pesantren- menjadi bacaan wajib dan bahkan jadi hafalan para santri. Ia populer dikenal sebagai Kitab Jurumiyah.

* * *

Salah satu kelebihan metode pengajaran pesantren adalah pada penguasaan teks kitab-kitab. Para Kiai tidak hanya mengajarkan santri tentang kajian Islam tematik, tetapi pemahaman teks baik bacaan maupun maknanya.

Baca Juga:  Grasak-Grusuk Politik Agama 2019

Ada dua metode populer di pesantren seperti sempat disinggung sebelumnya. Yakni bandongan dan sorogan.

Pertama, metode bandongan. Disebut ‘bandongan’ karena orang datang “berbondong-bondong” ke tempat pengajian.

Bandongan biasa juga disebut wetonan, diambil dari kata ‘weton’ karena digelar hanya pada waktu-waktu tertentu.

Tetapi karena dengan cara ini Kiai tidak bisa memastikan tingkat pemahaman santri per individu, maka di pesantren juga populer digunakan metode kedua.

Metode kedua adalah sorogan. Sorogan berasal dari kata ‘sorog’ yang artinya “menyodorkan”. Dalam metode “sorogan” santri satu persatu menghadap dan membacakan kitab di hadapan Kiai.

Di samping menekankan pada pengajaran individual (individual learning), metode ini juga sifatnya belajar tuntas (master learning) dan belajar berkelanjutan (continuous progress).

* * *

Abah Ma’ruf mengenang beberapa Kiai favoritnya di Tebuireng juga menggunakan metode-metode tersebut.

Salah satu Kiai favorit Abah yang menggunakan bandongan adalah Kiai Syamsuri Badawi. Di antara kitab-kitab yang ia ajarkan adalah Jam’ul Jawami’ dan Hadits Muslim.

Di setiap bulan Ramadhan, Kiai Syamsuri menamatkan pelajaran Hadits Muslim dalam 21 hari. Pengajian malam dimulai selepas tarawih sampai sahur. Dan pengajian siang dimulai pagi sampai dzuhur, dan dilanjut lagi sampai ashar.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag.3): Amanah Bagi Santri

Kiai favorit yang Abah Ma’ruf ingat dengan metode sorogannya adalah Kiai Idris Kamali. Ia mengajarkan Qur’an dan Hadits, terutama Al-Baghawi, Al-KhazinIbnu Katsir, kitab Al-Itqan fi Ulumul al-Qur’an, dan Kitab Bukhari.

Kiai Idris Kamali adalah murid langsung, yang juga kemudian menjadi menantu Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Selain kedua Kiai kharismatik itu, Kiai favorit Abah Ma’ruf lainnya adalah Kiai Tahmid, seorang ahli ushul fiqh. Cara Kiai Tahmid yang sangat argumentatif dalam mengajarkan kitab Iqna’ sangat mempengaruhi Abah Ma’ruf.

Gaya bicara dan berargumen Kiai Tahmid inilah yang membentuk karakter Abah dalam seni berkomunikasi dan berdebat.

Seni yang sangat akrab bagi kalangan santri. Apalagi untuk seorang Kiai yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

[btn url=”https://www.suaradewan.com/abah-kita-bag-4-bandongan-dan-sorogan/” text_color=”#000000″ bg_color=”#ffffff” icon=”” icon_position=”start” size=”14″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *