2019; Quo Vadis Pemberantasan Korupsi?

“Aku dapat menyimpulkan bahwa etika dan kesopanan semakin melorot. Orang-orang kota, pada umumnya, banyak melakukan kefasikan, kajahatan, dusta atau omong kosong dan berusaha mencari kehidupan dengan cara apa saja. Akibatnya, orang-oranng hanya brpikir dan memfokuskan energinya untuk melakukan kecurangan dan tipu daya hukum” (Ibnu Khaldun)

“Mereka yang melawan korupsi harus bersih dan tidak punya track record sebagai pelaku korupsi” (Vladimir Putin)

Sejak keruntuhan orde baru 20 tahun silam di 1998, bangsa Indonesia memasuki tahapan baru, era reformasi demikian kita sebut, situasi dimana keran demokrasi terbuka lebar. Namun, ada penyakit bangsa yang masih tetap kronis, sekalipun virus tersebut menyebar dan menggorogoti negeri ini dimasa orde baru, sampai hari ini tetap terwariskan. Yah, praktik-praktik korupsi tetap marak, suap tetap merajalela, kongkalikong antara eksekutif, legislative, dan yudikatif tetap berlangsung, yang lebih menyakitkan elit Negara dengan kelompok pemodal bermaksiat dan terus memperkosa kekayaan bangsa dan menyengsarakan masyarakat umum.

Produk reformasi melahirkan KPK ternyata belum bisa berbuat banyak, dalam beberapa diskursus bahkan KPK sebagai lembaga anti rasuah dianggap melanggengkan praktik korupsi di negeri ini, bahkan modus operandi tindak pidana korupsi juga mengalami diversifikasi yang makin beraneka ragam. Jika dulu korupsi dianggap tindakan yang dilakukan dibawah meja, hari ini perilaku korupsi sudah diatas meja, tidak sampai disitu, meja sekalipun juga dikorupsi. Sepertinya jenis hukuman yang diberlakukan selama ini pada pelaku pencurian uang rakyat tersebut belum menemukan efek jerah, mungkin sudah waktunya menggunakan hukuman jenis untuk menghentikan korupsi di negeri ini.

Situasi demikian tentu terus memancing kita sebagai anak bangsa untuk berpikir ulang dalam kerangka strategi pemberantasan korupsi, hal ini penting, mengingat hasil riset Daniel Kaufmann, menunjukkan bahwa korupsi memiliki kecendrungan untuk terjadi pada Negara-negara dimana birokrasi berada pada posisi tawar yang lebih rendah daripada sector swasta, riset tersebut mengkonfirmasi penyataan bahwa korupsi hari ini tidak saja melulu soal perilaku aparat pemeritah.

Baca Juga:  Pilpres 2019, Diamnya Muhammadiyah: Teringat AR Fachruddin

Transparency International memberikan defenisi bahwa korupsi adalah “the misuse of entrusted power for private benefit” dimana defenisi tersebut terkesan bahwa korupsi hanya wilayah dan potensial dilalukan oleh aparatur Negara, hasil riset diatas memiliki tafsiran yang lebih luas, Indonesia yang masih dalam proses transisi termasuk dalam menata system birokrasi, tentunya sistuasi itu membuat banyaknya perselingkuhan yang dilakukan oleh aparatur Negara dengan kelompok swasta terutama pemilik modal, proses kongkalikong ini sangat banya terjadi dalam proses penyusunan dan penentuan peraturan-peraturan serta kebijakan public.

Korupsi yang masuk kategori kejahatan luar biasa mempunyai dampak yang sangat besar bagi berjalannya porses pembangunan bangsa Indonesia, hal lain, penyebab begitu sulitnya menghilangkan atau setidaknya mengurangi tindakan koruptif bagi aparatus Negara pernah disampaikan oleh Benedict Anderson yang melakukan analisis terhadap novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, disimpulkan bahwa pribumi Indonesia yang gemar akan kekuasaan, jabatan kekuasaan dianggap segalanya, “harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh rusak, tapi jabatan harus selamat”. Lewat jabatan itulah penghidupan yang rakus dan tamak itu bisa didapatkan.

Momentum pemilu 2019 tentu tidak boleh dilewatkan begitu saja, momen ini harus menjadi perhatian serius bagi seluruh komponen bangsa, untuk melibatkan agenda pemberantasan korupsi sebagai diskursus yang wajib, pemilihan presiden, wakil presiden dan anggota legislative, poin penting dan strategis dalam menentukan pilihan politik adalah sejauh mana keseriusan dan konsep yang ditawarkan para kandidat dalam melakukan pemberantasan korupsi. Para kandidat, wajib membangun diskursus tersebut dalam ruang public, karena agenda pemberantasan korupsi sudah tidak ada tawar menawar, Negara mengalami kronis akut diberbagai sector akibat perilaku koruptif yang begitu massif.

Baca Juga:  Denny Siregar; Apa Itu Bela Islam?

Pendekatan yang dapat dilakukan, salah satunya adalah melihat track record para kandidat, dimana tahapannya adalah lahir dari proses kaderisasi partai politik yang menjadi kendaraan bagi opera kandidat bertarung dipemilu. Munculnya figure-figur yang hanya berkemampuan logistic tinggi serta moda popular akan tetapi tidak pernah melalui proses kaderisasi akan berakibat lahirnya pejabat politik dengan cara instan, sehingga tidak memiliki keterikatan ideolgis dan flatfom partai yang bermuara pada perjuangan kepentingan masyarakat.

Terpilihnya para pejabat politik yang pro pemberantasan korupsi akan berimplikasi pada kerja-kerja KPK, sebagai lembaga yang sangat kuat dan popular dimasyarakat, KPK sudah sewajibnya bekerja secara professional, netral dan indpenden. Bahkan, KPK baiknya belajar bagaimana sejarah pemberantasan korupsi yang pernah di lakukan di negeri Cina. Ketika zaman Dinasti Qin, Kaisar Qin Shihuang mengesahkan UU dimana salah satu bunyi UU tersebut adalah “siapa pun yang menerima suap, atau menilap uang Negara satu koin perunggu saja, wajahnya akan ditato dan diwajibkan menjalani hukuman kerja paksa” penerapan hokum seperti ini tentu akan memberikan efek jerah yang lebih kepada pelaku dan calon koruptor.

Masih banyak model-model pemberantasan korupsi yang bisa diadopsi oleh Indonesia, banyak Negara yang berhasil keluar dari cengkraman kejahatan yang mematikan HAM jutaan warga Negara, Cina dan Hongkong diantranya. Ironisnya, berbanding terbalik Indonesia negeri yang kaya raya namun penduduknya miskin ini, masyarakat dininabobokkan untuk percaya bahwa para koruptor harus dimanusiakan juga, padahal kita sepakat bahwa koruptor adalah pelanggar HAM yang sangat kejam karena merampas hak hak ratusan juta masyarakat lainnya.

Baca Juga:  Trio Putin-Erdogan-Rouhani Permalukan Arab

Kehadiran kelompok civiel society juga sangat dibutuhkan, masyarakat tentu menjadi bagian penting dalam proses pemberantasan korupsi, partisipati aktif dalam mengawal jalannya fungsi Negara oleh aparatus Negara, kekuatan Negara, Pasar dan civiel Society tentunya harus berimbang, tidak boleh ada yang lebih mendominsai diantara ketiganya. Ini penting untuk terjadinya control yang baik termasuk mengawasi setiap situasi yang berpotensi terjadi perilaku koruptif didalamnya.

Dalam konteks dan perspektif seperti ini, tampaknya masih sangat panjang jalan Indonesia menuju Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotimse. Untuk menghilangkan bobrok dan penyakit korupsi yang melanda negeri ini, kita harus saling membantu secara sinergis. Jika tidak, maka tidak ada harapan perbaikan negeri ini. Tentu kita tidak menginginkan itu, maka matikanlah setiap potensi korupsi yang bisa mengancam masa depan bangsa kita dimulai dengan diri kita masing-masing.

“Korupsi bukanlah tanda bahwa Negara kuat dan serakah. Korupsi adalah sebuah privatisasi, tapi yang selingkuh. Kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.” (Goenawan Mohamad)

“Memerangi korupsi itu bukan hanya lewat pemerintahan yang bersih, ini perthanan diri, ini aksi patriotism, ini aksi kepahlawanan.” (Joe Biden)

“Saya telah mengajak orang-orang yang telah meyakini ide saya bahwa korupsi adalah akar kemiskinan, jadi mengakhiri sikap dan tindakan koruptif berarti mengakhiri terjadinya kemiskinan”. (Benigno Aquini III).

[btn url=”https://www.suaradewan.com/2019-quo-vadis-pemberantasan-korupsi/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *