Politik ‘Syantik’ Prabowo Vs Jokowi

Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika

M. Night Shyamalan boleh dibilang sebagai salah satu sutradara yang paling andal dalam menggarap film berplot twist. Plot twist adalah perubahan mendadak alur cerita.

Beberapa karya sineas asal India itu seperti Unbreakable, the Sixth Sense, the Village, the Visit, atau Split menghadirkan ending cerita yang cukup mencengangkan penonton. Plot twist dalam film Shyamalan akhirnya membuat penonton terkaget-kaget karena perubahan ceritanya begitu tak terduga.

Tak hanya Shyamalan yang bisa membuat penonton terkaget-kaget dengan plot twist-nya. Berbicara situasi politik Indonesia dalam 24 jam terakhir, kita juga disuguhkan perubahan kisah nan dramatis.

Pada detik-detik terakhir jelang pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), kejutan besar terjadi. Tajuknya adalah tentang tarik ulur pendamping Jokowi. Hingga 15 menit sebelum pengumuman, semua orang tahu bahwa pendamping Jokowi adalah Mahfud MD.

Mahfud bahkan sudah berbicara penetapan cawapres di televisi. Sehingga tak sedikit pun yang ragu bahwa jalan ceritanya akan bermuara pada kisah Jokowi-Mahfud mendaftar ke KPU keesokan harinya.

Pendaftaran Bakal Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2019, JOKO WIDODO & MA’RUF AMIN, Jumat (10/8/2018)

Namun kisah yang sudah ditebak oleh hampir seluruh pemirsa itu keliru. Skenario berubah dalam hitungan detik. Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin pada lima menit terakhir sebelum pengumuman.

Duarrrrr…. Bagai petir di siang bolong. Semua kaget akan twist yang terjadi di kubu Jokowi.

Twist yang tercipta belum berhenti sampai di situ. Kubu Jokowi yang awalnya lebih kental dengan jargon keberagamaan, kini mendadak lekat dengan simbol-simbol Islam.

Baca Juga:  Banyak Alasan Untuk Mengatakan Prabowo Akan Kalah di Pilpres 2019

Lakunya isu agama itu terjadi usai gerakan protes jutaan massa di Jakarta pada 2 Desember 2016 (Gerakan 212). Usaha untuk menyematkan Gerakan 212 dengan sebutan makar, antikeberagaman, anti NKRI, gagal total.

Jadi lepas kesuksesan 212 menang di DKI, twist mulai terjadi. Lepas Ahok divonis penjara, Gerakan 212 perlahan mulai dapat tempat di istana. Salah satunya dengan menunjuk alumni gerakan 212 Ali Mochtar Ngabalin sebagai juru bicara.

Pengacara yang mengawal alumni Gerakan 212, Kapitra Ampera pun merapat ke PDI Perjuangan (PDIP). Di samping itu ada momen-momen menarik seperti pertemuan beberapa wakil Gerakan 212 dengan Jokowi atau dihentikannya kasus tokoh 212.

Namun, puncak dari usaha merangkul Gerakan 212 adalah ditunjuknya Ma’ruf Amin, yang tak lain merupakan salah satu simbol spiritual gerakan. Rentetan fenomena itu secara tak langsung membalik lakon secara dramatis. Dari politik berlakon politik anti simbol agama, kini menggunakannya sebagai senjata.

Plot twist yang terjadi ini membuat peta politik semakin sulit ditebak. Tapi di sisi lain, terjadi perubahan karakter tokoh yang sangat tajam. Yang tadinya begitu sekuler, kini mendadak agamis. Sebaliknya, yang Islamis pun mendadak pluralis.

Pendaftaran Bakal Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2019, PRABOWO SUBIANTO & SANDIAGA SALAHUDDIN UNO, Jumat (10/8/2018)

Kisah twist tak hanya terjadi di kubu Jokowi. Di toko sebelah, alias kubu Prabowo, plot twist berlakon ‘jenderal kardus’ mengemuka di detik akhir. Demokrat yang kecewa lantas melempar label ‘jenderal kardus’ pada Prabowo.

Baca Juga:  2019; Quo Vadis Pemberantasan Korupsi?

Tapi beberapa jam berselang, Demokrat pun ikut gerbong Prabowo. Yang awalnya saling ‘lempar kardus’, kini mendadak mesra, makan satu piring bersama.

Label ‘cebong’ dan ‘kampret’ pun bisa jadi akan ikut pula terseret arus twist. Karena semua ‘kampret’ bisa jadi cebong pada waktunya. ‘Cebong’ pun bisa jadi ‘kampret’ pada akhirnya.

Sebab kalau dari cebong menjadi katak itu terlalu mainstream. Cebong jadi kampret itu baru twist yang hebat. Jadi bagi kedua pendukung di level penonton, lebih baik duduk ‘syantik’ dan nikmati segala dinamika politik.

Saya pribadi meyakini, twist yang terjadi belum akan berhenti hingga pada ending di KPU. Dipastikan masih ada skuel-sekuel dari cerita berplot twist pada perpolitikan Indonesia.

Ini bisa jadi lebih seru dari sekuel film berplot twist karya Shyamalan,Unbreakable dan Split. Konon trilogi dari film Unbreakable dan Splitberjudul Glass akan tayang di tahun 2019 atau bersamaan dengan pilpres.

Sebelum menunggu kejutan plot twist di film Glass dan pilpres 2019, ada baiknya mencermati ulang kisah di film Unbreakable. Singkat cerita ini adalah kisah tentang seorang penderita kelainan genetis sejak lahir bernama Elijah Prince (Samuel L Jackson).

Akibat kelainan genetis itu, tulang Elijah gampang retak sehingga dia pun dijuluki Mr Glass. Sejak kecil, Elijah gemar membaca komik yang mengandung kisah tentang pahlawan (super hero) dan penjahat (super villian).

Baca Juga:  HMI dan Islamisasi Gerakan, Refleksi 73 Tahun HMI

Mr Glass, sosok manusia rapuh, kemudian bertemu dengan sosok manusia tangguh berama David Dunn (Bruce Willis). Berkebalikan dengan Glass, Dunn adalah sosok yang tak pernah merasakan sakit. Bahkan saat kereta yang dtumpanginya kecelakaan, semua penumpangnya mati kecuali Dunn.

Si rapuh dan si tangguh akhirnya berkawan. Elijah yang gemar membaca kisah komik punya teori bahwa Dunn adalah super hero yang mesti menolong sesama. Keyakinan itu didasari kenyataan bahwa kawannya itu selamat dari kecelakaan maut kereta.

Meski awalnya mengabaikan perkataan Elijah, Dunn perlahan mulai sadar bawa dirinya pahlawan. Selain fisiknya yang tangguh, Dunn juga punya kemampuan untuk mengetahui kejahatan seseorang bila menyentuh tubuh seseorang itu.

Saat bersalaman dengan Elijah di akhir cerita, kejutan besar tercipta. Saat bersentuhan itu, Dunn jadi diberi ‘penglihatan’ tentang sosok si rapuh kawannya itu. Elijah ternyata sosok yang membuat rekayasa atas kecelakaan kereta yang menimpa Dunn dan menyebabkan ratusan orang tewas. Si rapuh itu nyatanya adalah penjahat utamanya.

Di akhir kisah, Elijah yang ternyata adalah sang super villian berkata, “Apakah Anda tahu apa hal yang paling menakutkan? Adalah tidak tahu tempat Anda di dunia ini.”

Perkataan Mr Glass ini sama dengan ketakutan sebagian politisi. Bagi mereka, ketakutan adalah tak tahu tempatnya usai 2019 nanti. Selamat tinggal ideologi…

(artikel pertama kali dimuat oleh republika.co.id, edisi 11/8)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *