oleh : Moddie Wicaksono
“We are united – Christians, Muslims, we are one”
Kalimat tersebut diutarakan Fredrick Hazo, musisi Palestina berusia 59 tahun, setelah mengisi kebaktian Minggu di Gereja Katolik Assyrian. Ia tampak kecewa dengan keputusan Trump yang melukai perasaan sebagian besar warga Palestina. Ia menilai keputusan tersebut berdampak luas hingga menyebabkan demonstrasi, baik di Palestina bahkan di seluruh dunia.
Ramallah, salah satu kota di Palestina, adalah pusat di mana demonstrasi digelar. Sedikitnya 300 orang berkumpul untuk menyuarakan pendapat berupa ketidaksukaan pada keputusan Trump. Mereka berdiri, mengepalkan tangan ke udara hingga menangis haru. Memboikot keputusan Trump adalah suatu keniscayaan.
“We need other countries to stand with us, to say no. If we stand for ourselves, just alone, this is not going to help.” Pernyataan tersebut lantang diucapkan oleh Fatimah Tayeh, sang jurnalis saat diminta berdemonstrasi di Ramallah. Ia benar. Bahkan mungkin jikalau dunia bersatu untuk mengutuk Trump belum tentu Trump akan membatalkan keputusan tersebut.
Hal ini bisa terlihat ketika Trump akan mendelegasikan Mike Pence, sang wakil presiden AS, untuk melakukan perjalanan ke luar negeri menuju Israel dan Mesir selama 5 hari mulai pekan depan. Reaksi negatif bermunculan. Paus Tawadros II, pemimpin terbesar komunitas Kristen di dunia Arab sekaligus kepala Gereja Koptik Mesir, menolak kehadiran siapa pun petinggi AS untuk menginjakkan kaki di tanah Arab.
Tidak hanya itu, sebagai bentuk solidaritas dan kekecewaan terhadap keputusan Trump, sebagian lampu pohon Natal yang terletak di luar Gereja Betlehem, tempat Yesus lahir, tidak akan dinyalakan. Sungguh rencana tersebut mendapat apresiasi tinggi dari seluruh warga Palestina. Ini membuktikan bahwa sebenarnya para pemeluk agama, baik Kristen maupun Islam, berkelindan di Palestina. Tak ada gesekan, apalagi distorsi, antarsesama pemeluk agama.
Bak gayung bersambut, para pemimpin Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) berkumpul di Turki untuk membahas peristiwa enam Desember. Melalui pergulatan pendapat, hampir seluruh pemimpin mengecam dan mengutuk apa yang dilakukan Trump. Mereka yang berjumlah 57 orang sepakat bahwa yang dilakukan Trump bukanlah menautkan persaudaraan namun memantik perselisihan.
Dan dalam hal ini, kita harus mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo dalam menyuarakan pendapatnya. Dari enam poin, ada satu poin yang “bernada menyindir”. Poin tersebut adalah ada baiknya para negara yang menjalin hubungan dengan Israel untuk meninjau kembali hubungan mereka. Saya pikir, baik Arab Saudi maupun Mesir seharusnya tersentak dengan pernyataan Jokowi.
Perlu diketahui, Arab Saudi dan Mesir “hanya” mendelegasikan menterinya untuk menghadiri salah satu konferensi Muslim terbesar di dunia. Kita pun paham bahwa ada kedekatan bilateral antara Amerika Serikat dan Arab Saudi serta Amerika Serikat dan Mesir.
Bukti kedekatan tersebut, antara lain, sesaat Trump mengeluarkan keputusan kontroversial tentang status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, ia menyuruh Arab saudi untuk membuka blokade terhadap Yaman. Arab Saudi mengalami dilemma security. Jika dibuka, ada kemungkinan Houthi akan kembali menguasai Yaman. Namun jika blokade tidak dibuka, Arab Saudi tentu tidak akan membayangkan apabila AS menghentikan pertolongannya terhadap mereka. Apalagi Arab Saudi sedang membangun visi 2030.
Memang serba salah. Pemerintahan Arab Saudi dan Mesir, yang dianggap AS sebagai penentang radikalisme dunia, sepertinya bersikap ‘soft’ dalam menanggapi peristiwa Yerusalem. Sekali lagi yang saya maksud adalah pemerintahannya. Karena, jika mengacu sikap para organisasi maupun komunitas di luar pemerintahan, kedua negara tersebut mengutuk perbuatan Trump secara nyata.
Dan yang harus diperhatikan bahwa apa yang terjadi di Palestina bukanlah masalah konflik agama melainkan penjajahan. Isu keadilan lebih diprioritaskan daripada kedaulatan agama. Bagi mereka (baca: rakyat Palestina), gerakan Zionis adalah pangkal permasalahan hingga mengakibatkan konflik tak berujung.
Lalu jika dunia telah bersatu untuk mengutuk Trump, apa lagi yang bisa dilakukan dunia untuk membatalkan keputusan Trump? Ada yang menarik setelah 3 hari keputusan Trump dilansir. Lembaga Survei dan Riset untuk Palestina merilis hasil survei yang dilakukan terhadap 1270 orang dewasa.
45% dari mereka setuju bahwa ada baiknya seluruh negara memutuskan hubungan bilateral dengan Amerika Serikat. Ditambah alangkah lebih baiknya dunia melakukan adu kekuatan militer dengan AS. Bandingkan dengan 27% dari mereka menginginkan jalur negosiasi untuk menyelesaikan konflik pemindahan Yerusalem.
Mengacu pada pandangan realis yang dituliskan Hans Morgenthau dalam bukunya, Politics Among Nations, bahwa hard power bisa jadi jalan negosiasi paling signifikan untuk menuntaskan sebuah konflik. Tidak perlu berlama-lama untuk berunding di meja jika kemudian hanya menghasilkan keputusan yang abu-abu.
Di sini saya sepakat apabila konflik memang harus melalui jalan militer. Konflik Palestina bukanlah adegan dari sebuah film Hollywood yang mencitrakan Amerika sebagai juru runding yang ulung. Trump selalu menganggap dirinya sebagai juru perdamaian. Atau mungkin berharap seperti Messiah.
Tapi dunia sudah telanjur gelisah, gerah, dan resah. Tidak ada lagi jalur negosiasi yang tepat. Tidak mungkin juga permasalahan ini dibawa ke ranah PBB yang notabene AS memiliki hak veto. Meninjau kembali hubungan dengan AS adalah jalur negosiasi ideal. Memutuskan hubungan bilateral dengan AS adalah jaur negosiasi krusial.
Namun, mengajak dunia untuk bersatu padu melawan AS secara militer adalah jalur brutal. Tapi, jika cara terakhir adalah yang paling tepat untuk memukul balik keputusan Trump, sudahkah dunia bersiap menuju Perang Dunia III? Jika retorika dan dialektika hanya berpusat pada kata-kata, maka angkat senjata adalah alat negosiasi yang paling nyata. Bersiaplah! (aw/ge)
(sumber : https://geotimes.co.id)