Oleh : Maharani
Sebagai negara yang menganut sistem Demokrasi. Indonesia cukup dilirik di berbagai negara-negara di dunia terutama negara maju seperti USA dan China, dengan pertumbuhan penduduk yang cukup banyak yang menurut CIA Factbook Tahun 2016 indonesia menduduki urutan ke empat dengan jumlah penduduk 258.316.051 jiwa, luas wilayah 1.904.569 km, dan rasio 3,5 % dari jumlah penduduk di dunia. Demokrasi tentu tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi meskipun secara harfiahnya ia berbeda subtansi namun saling terkait sebagai bukti bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan politik untuk mengarahkan ekonomi suatu negara. Namun lagi-lagi kebijakan fiskal yang mampu menentukan bagaimana pertumbuhan ekonomi kedepannya.
Menurut Jan-Erik Lane &Svante Ersson dalam bukunya “Ekonomi politik Komporatif” mengatakan bahwa salah satu faktor-faktor ekonomis yang mempengaruhi kepolitikannya yaitu : “ hipotesis Rezim (regime hypotesis) yang berpendapat bahwa kestabilan institusi-institusi dalam demokrasi disuatu negara dipengaruhi atau dikondisikan oleh tingkat kelimpahannya. Rezim demokrasi hanya akan bertahan di negara-negara kaya, sehingga GDP per kapita menentukan kelanggenan demokrasi dalam hal demokratisasi dan pertumbuhan tidak terlepas dari pembangunan sosio ekonomi, dan pembangunan politik, dalam konsep ini Indonesia termasuk kaya dalam hal Sumber daya Alam namun Ironisnya tingkat pendidikan, kesehatan, nilai tukar masih cukup memprihatinkan apalagi ketika kita melirik kesenjangan ekonomi termasuk kemiskinan sangat mengkhawatirkan.
Pada tahun 2016, misalnya pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5.5 persen dengan proporsi penduduk miskin sebanyak 17.7 persen atau sebanyak 37.17 juta penduduk dari total penduduk Indonesia. Data ini jika benar memang jauh lebih baik dibandingkan pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensi tahun 1997/1998. Pada tahun ini jumlah penduduk miskin mencapai angka 33 persen pada akhir tahun 1998 ( Hardjono et. al., 2010). Sejak tahun 2002, proporsi penduduk miskin terus menunjukkn penurunan dari 18.2 persen menjadi 15.4 persen pada tahun 2008.
Namun sejak tahun 2008 setelah terjadi krisis ke empat (krisis keuangan global), kemampuan kuantitatif untuk menurunkan jumlah penduduk miskin nyaris tidak banyak perbedaanya pertahun. Persentase tingkat penurunan kemiskinan sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 hanya mampun menurunkan proporsi kemiskinan hanya sebesar atau kurang dari 1 persen. Bahkan pada tahun 2015, julah penduduk miskin absolut justru bertambah sebesar 860 ribu orang, dari 11.22 pesen menjadi 11.25 persen (BPS, 2015).
Fakta kuantitatif rendahnya kemampuan menurunkan persentase penduduk miskin tersebut barangkali akan semakin parah jika kita melihat kondisi kualitatifnya. Hal ini karena kemiskinan bukan sekedar persoalan angka statistik belaka, tetapi terkait dengan kualitas kehidupan manusia. Barangkali apa yang dikatakna Bank Dunia (1993) dan Bruno (1994) bahwa “If GDP Grows at 5 percent, the poverty gap will decline, on average, by 10 percent a year” tampaknya juga tidak terjadi pada tahun-tahun fiscal pasca krisis keuangan global.
Padahal, anggaran pengentasan kemiskinan harus meningkat. Pada tahun 2011, misalny, anggaran kemiskinan yaitu sebesar Rp. 96,1 triliun diperuntukkan antara lain untuk penyaluran beras untuk masyarakat miskin (Raskin), pemberian beasiswa pada masyarakat miskin, kredit usaha rakyat (KUR) dan pelaksanaan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Kemudian, anggaran ini membengkak lagi menjadi Rp. 109,2 triliun pada tahun 2012, Rp 124.0 triliun pada tahun 2013, Rp. 137,7 triliun pada tahun 2014 dan menjadi Rp. 137,6 triliun pada tahun 2015 (Bappenas, 2015). Ini mengindikasikan bahwa peningkatan anggaran pengentasan kemiskinan bukan satu-satunya cara dalam menghapus kemiskinan. Jika tidak hendak untuk mengatakan ada yang salah dalam upaya kita mengentaskan kemiskinan.
Menurut Thee Kian Wie Kemiskinan masih menghantui Indonesia. Thee Kian Wie seperti di kutip koleganya Tom McCawley (2014) menyatakan : “Indonesia has a lot of problems, he often said, but the biggest is mass poverty “. The solution, he argued, was a lot of foreign investment, new factories and then tweaking of policy to ensure just outcomes. Maka dari itu solusi yang paling berpengaruh selain invetasi asing, industri adalah perubahan kebijakan, tentu regulasi ini tidak terlepas dari aktor-aktor politik para regulator dalam menentukan perubahan kebijakan tersebut. Sehingga dampak dari kebijakan itu salah satunya adalah sejauh mana perubahan ekonomi baik dalam kuantitatif maupun kualitatif.
Korupsi bukan hal baru lagi di Indonesia, bahkan pada masa orde lama antara tahun 1951-1956 sudah mulai terjadi mulai diangkat koran lokal, korupsi bukan hanya karena pelanggaran hukum, namun juga sekedar suatu kebiasaan. Bahkan tindakan korupsi Proses penyebaran korupsi tersebut disebut dengan continous imitation (peniruan korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya. Meskipun sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa disekitarnya.
Korupsi menurut Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah: Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Meskipun ada lembaga Independen yang memberantas korupsi sebut saja adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Campur tangan pemerintah tersebut adalah mengawasi berjalannya segala aktifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sehingga pemerintah mampu mengawasi kinerja KPK atau sebaliknya KPK dijadikan alat politik. Dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi. Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar.
Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya. Sehingga dampak dari korupsi adalah perputaran uang tidak berjalan dipasaran karena hanya sebagian golongan (oligark) yang tergolong kaya sehingga ini menjadi peluang untuk memperluas kesenjangan ekonomi.
Kesenjangan ekonomi tidak terlepas dari perputaran uang yang tidak berjalan atau bisa dikatakan pengendapan uang dari para aktor oligark bahkan ada para pelaku koruptor yang menjadi investor diluar negeri, sehingga perputaran ekonomi dalam negeri dan nilai mata uang semakin terjepit ditengah persaingan mata uang asing yang berputar di luar negeri, sehingga akan menjadi peningkatan kesenjangan ekonomi khususnya kelas menengah kebawah Bahkan studi Bank Dunia baru-baru ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menguntungkan warga terkaya 20 persen, tetapi 80 persen populasi tertinggal di belakang. Diperkirakan sekitar 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 77 persen kekayaan nasional. Bahkan, satu persen terkaya di Indonesia menguasai separuh lebih atau tepatnya 50.3 persen dari kekayaan di negeri ini (Kompas, 11 Desember 2015).
Penuli adalah: (Political Science Faculty, Political Economy Concetration, National University of Indonesia)