Abah Kita (Bag.2): Makna Gelar Kiai

Pasukan Majapahit yang menyerbu Giri Kedaton mendadak kocar-kacir. Seketika pena yang digunakan Sunan Giri berubah menjadi sebilah keris berputar-putar menyambar utusan Prabu Brawijaya. Membuat sesama mereka ribut sendiri, dan sebagian lain melarikan diri.

Kelak, keris peninggalan Sunan Giri ini lalu dikenal dengan nama ‘Kiai Kalam Munyeng’. Kalam berarti pena, dan munyeng artinya berputar. Lalu dari mana gelar Kiai-nya?

Bukankah Kiai adalah gelar penghormatan pada orang yang dituakan, atau pada orang yang diakui kedalaman ilmu agamanya. Pendeknya, bukankah gelar Kiai itu diperuntukkan untuk manusia saja?

* * *

Istilah Kiai mulanya memang diperuntukkan bagi benda-benda keramat –khususnya senjata pusaka– milik penguasa di Tanah Jawa. Gelar yang dipercaya berasal dari kata ‘iki wae’ (ini saja) ini kemudian berkembang bukan hanya pada pusaka pilihan, tetapi juga pada manusia pilihan. Terutama mereka yang memiliki kedalaman ilmu.

Tapi khusus untuk keris Kiai Kalam Munyeng, kesamaannya sebenarnya bukan hanya pada statusnya sebagai yang terpilih, tapi juga pada maknanya. Yakni ketika melihat kisah Kalam Munyeng dalam tafsir metafornya.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag.1) : Kelahiran Sang Semar

Sebagai metafor, pena yang merupakan wujud asli keris Kalam Munyeng adalah simbol pengetahuan. Sunan Giri mengalahkan prajurit Majapahit sesungguhnya karena kedalaman ilmunya. Ia beradu argumen tentang siapa sesungguhnya penguasa Majapahit yang sah, hingga akhirnya prajurit itu ribut sendiri.

Pena sendiri sebagai simbol pengetahuan, misalnya bisa dilihat pada lambang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di mana arti lambang berbentuk pena di logo HMI bermakna haus akan ilmu pengetahuan.

* * *

Sebutan Kiai pada manusia pilihan –seperti pada sebutan Kiai Haji (KH) Ma’ruf Amin misalnya– adalah karena kedalaman ilmunya.

Gelar Kiai pada Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini tidak muncul begitu saja, seperti orang yang hanya karena sering berkumpul lalu mengatasnamakan agama. Melainkan karena KH. Ma’ruf Amin (Abah Ma’ruf) memiliki latar belakang historis panjang terkait gelar tersebut.

Sejak dari lahir Abah Ma’ruf memang memiliki trah kiai. Ayahnya, KH. Mohammad Amin (Kiai Amin) adalah seorang Kiai yang sering mengajar dari kampung ke kampung, dan membuka pesantren di Kresek, Tangerang. Kedalaman ilmu Kiai Amin di antaranya karena pernah belajar ke Makkah. Di sana ia seangkatan dengan KH. Anwar Musaddad, mantan Wakil Rais ‘Aam PBNU.

Baca Juga:  Ancaman Konflik Di Tengah Pesta

Bahkan dari jalur ibu pun Abah Ma’ruf memiliki keturunan Kiai. Ibunya, Hj. Maimunah adalah putri dari KH. Muhammad Ramli (Kiai Ramli). Baik Kiai Amin maupun Abah Ma’ruf banyak berguru pada Kiai Ramli karena kedalaman ilmunya. Kiai Ramli pun pernah belajar ke Makkah, dan seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim).

Benar, Mbah Hasyim yang dimaksud adalah tokoh kharismatik pendiri Nahdlatul Ulama (NU), yang juga adalah Rais ‘Aam PBNU pertama.

Rupanya baik dari jalur ayah maupun ibu, masing-masing memiliki sahabat seangkatan yang menjabat setingkat pimpinan dan wakil Rais ‘Aam. Tidak heran jika takdir kemudian mengantarnya menduduki jabatan prestisius NU tersebut.

* * *

Trah Kiai tidak segera membuat Abah Ma’ruf berani menggelari dirinya ulama. Melainkan karena ia juga ditempa oleh pendidikan yang sarat dengan ilmu agama.

Sejak kecil, meski bersekolah SD ia juga tetap mengaji di Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kresek. Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Tetapi selain itu, ia juga berguru di banyak pesantren lainnya, khususnya di wilayah Banten.

Baca Juga:  Media Dalam Belantara Politik

Pendidikan inilah yang membentuk kedalaman ilmu dan ketinggian akhlak Abah Ma’ruf. Ajaran ilmu dan akhlak tidak membuatnya petantang-petenteng menyebut diri ulama, lalu dengan mudah memaki orang yang dianggapnya berbeda.

Ia paham betul, bahwa bukan hanya amar ma’ruf (perintah pada kebaikan) yang perlu dilakukan dengan cara ma’ruf (baik). Tetapi juga nahi munkar (larangan pada keburukan) pun perlu dilakukan dengan cara yang ma’ruf.

Bukan dengan cara yang ternyata sebenarnya tidak kalah munkar.

[btn url=”https://www.suaradewan.com/abah-kita-bag-2-makna-gelar-kiai/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *