Abah Kita (Bag.1) : Kelahiran Sang Semar

Apa yang kita ingat tiap tanggal 11 Maret? Hampir semua akan menjawab ‘Supersemar’. Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) yang menjadi legitimasi beralihnya tongkat pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Saya pun akan menjawab sama. Tapi bukan Supersemar yang merujuk pada surat kontroversial tahun 1966 itu. Melainkan pada sosok super nan kharismatik seperti Semar dalam pewayangan.

Karakter Semar dalam kisah pewayangan diyakini merupakan warisan dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ia mendakwahkan Islam di nusantara demikian halusnya melalui budaya, yang salah satunya melalui karakter Semar.

Semar dalam sebuah versi, sesungguhnya diambil dari kata ‘simaar’ yang berarti paku. Persisnya ‘simaarudunia’ atau paku dunia. Paku bertujuan sebagai pengokoh, mengokohkan nilai kebenaran.

Dikisahkan, dalam upaya membangun kahyangan, Semar pernah bermaksud meminjam tiga pusaka Kerajaan Amarta. Jamus Kalimasada, Tumbak Kalawelang, dan Payung Tunggulnaga.

Tetapi niat baik itu dicurigai dan dihalang-halangi para dewa di Suralaya, hingga akhirnya Suralaya pun guncang karena amuk sang Semar.

* * *

Tepat 76 tahun yang lalu, 11 Maret 1943, tokoh yang mengingatkan pada lakon Semar lahir di Desa Kresek. Kabupaten Tangerang, Banten.

Baca Juga:  Grasak-Grusuk Politik Agama 2019

Ia sosok sederhana, bersahaja, bijaksana, dan jenaka. Karakter yang terbentuk dari kultur tempat ia lahir dan tumbuh, di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).

Banyak gagasan dan gerakannya –sebagaimana akan dibahas pada tulisan selanjutnya– yang kemudian mengantarkannya menjadi Rais Aam NU sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dua posisi prestisius yang menunjukkan ketinggian ilmu, dan tidak ada keraguan pada keulamaannya.

Sampai akhirnya, saat seseorang memakinya di sebuah persidangan, jutaan ummat berbulan-bulan tumpah ke jalan mengawal fatwanya. Negara guncang, layaknya Suralaya oleh Semar.

Tapi seperti juga halnya Semar memaafkan yang para dewa yang akhirnya mengaku salah, ia pun memaafkan mereka yang menyadari kesalahannya. Tidak ada dendam pada dirinya.

* * *

Kesamaan mereka bukan hanya pada kebesaran keduanya. Tetapi pada nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Pusaka Kerajaan Amarta sesungguhnya hanyalah simbol yang dibawa Kanjeng Sunan dalam mendakwahkan Islam di jalur budaya nusantara.

Jamus Kalimasada tidak lain adalah “Dua Kalimat Syahadat”, yang merupakan kunci keislaman. Tumbak Kalawelang adalah simbol hati dan pikiran yang jernih. Dan yang tidak boleh terlupakan, Payung Tunggulnaga adalah simbol pengayoman pada seluruh rakyat jelata.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag.2): Makna Gelar Kiai

Pesan dalam lakon ‘Semar Mbangun Kahyangan’ adalah, untuk membangun sebuah negara jangan melupakan nilai luhur agama, tapi tetap dalam koridor akhlak mulia, dan melindungi rakyat kecil. Ma’ruf (kebaikan) yang juga selalu ditebar oleh sosok berdarah Sunda itu.

Ya, orang itu adalah KH. Ma’ruf Amin. Sosok kharismatik yang selalu menyempatkan waktu mendengar segala curhat dan pertanyaan remaja yang kadang lucu dan ngga penting-penting banget saat kami berkunjung.

Tapi dengan kedalaman ilmu dan akhlak agamanya ia tetap dengan sabar memberi nasehat, layaknya Abah (ayah) pada anak-anak yang sedang lucu-lucunya. Abah Ma’ruf Amin.

[btn url=”https://www.suaradewan.com/abah-kita-bag-1-kelahiran-sang-semar/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *