Media Dalam Belantara Politik

Oleh ; Amir Whata*

Mark, Direktur Center for International Media Assistance (CIMA) mengatakan tantangan pers di Indonesia dan Amerika tak jauh berbeda, yakni masuknya era digitalisasi, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media online serta terpuruknya industri media cetak. Di tengah fakta adanya pemilik media yang juga berperan sebagai politisi, ia berharap, bisnis media tetap berjalan rasional dan mengedepankan independensi.

Lebih dalam lagi, Mark mengungkapkan; sangat berbahaya kalau banyak orang mendirikan media bukan karena alasan ekonomi dan bisnis, tapi lebih karena kepentingan politik. Tentu saja, pernyataan Mark sekaligus menampar tentang kepemilikan Media yang beralih fungsi menjadi Media Politik yang telah banyak digandrungi pengusaha-pengusaha media di Indonesia. Maka, media bukan hanya menginformasikan kebenaran, tapi juga sekaligus menyampaikan kepetingan pemiliknya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai ada empat masalah dalam dunia pers Indonesia. Diantaranya adalah, Pertama ; Dominasi kepemilikan, media partisan, Kedua; media yang tak mendidik dengan menyajikan materi berbau pornografi, serta menjamurnya media abal-abal. Dominasi kepemilikan media menjadi persoalan lantaran materi media massa seragam sesuai dengan kepentingan dan kemauan kelompok media bersangkutan. Selain itu, kepemilikan media oleh pengurus partai politik menyebabkan media menjadi partisan. Akibatnya media arus utama terkesan berpihak terhadap kepentingan kelompok atau partai politik tertentu. Ruang redaksi dikontrol pemilik, media menjadi pendukung partai tertentu.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag.2): Makna Gelar Kiai

Materi pemberitaan yang tak bermutu tersebut hadir di setiap saat. Sementara jurnalis dan media abal-abal juga menyebabkan masalah pelanggaran kode etik. Tak jarang terjadi tindakan kriminalitas, jurnalis abal-abal melakukan pemerasan atau malpraktik di media. Kebebasan pers di Indonesia dalam satu dekade ini memang mengalami kebebasan yang tak bisa dikontrol lagi. Media arus utama yang cenderung memiliki segmen pasar yang luas di hati masyarakat malah sering memproduksi Hoax (berita palsu) yang parahnya juga mengutip dari media-media yang belum memiliki uji kelayakan publik. Minimnya pekerjaan riset dan investigasi di media yang menjadi salah satu penyebab media arus utama hanya mengandalkan berita saduran dari sumber yang tak jelas.

Kepemilikan media oleh partai politik menjadi penyebab utama ketidakberpihaknnya media. Semua pemilik media akan memanfaatkan medianya masing-masing, seperti masa Orde Baru yang partai politik punya media. Amerika Serikat yang terbagi atas Liberal dan Konservatif memiliki media, tetapi bukan dari partai politiknya. Rasanya tidak ada media yang netral, ibarat kata sudah kadaluarsa.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag.1) : Kelahiran Sang Semar

Suryo Pratomo, Direktur Pemberitaan Metro TV mengatakan ada 3 kelompok media, Media yang berbasis kepada pemilu tidak kepada masyarakat, maka media tersebut tidak bisa berkembang. Media yang diangkat dari idealisme sehingga bisa berkembang menjadi bisnis amat menjanjikan. Setiap media harus ada Rule of The Game agar independensi media bisa dipertahankan, maka jika tidak, konsekuensi dapat ditinggalkan para pemirsanya. Media bukan semaunya saja menyampaikan informasi, tetapi juga harus ada keberkaitan saling informasi kepada masyarakat.

Maka, kembali lagi. Kecenderungan mengejar pasar juga menjadi membeloknya pemberitaan. Rating jadi tekanan yang ditentukan dari kinerja, editorial terima kinerja rating secara real time. Pressure dari pemirsa dan dari market. Bila audiens tidak mencapai 17% atau hanya 10% saja, maka program acara itu dapat diganti dengan program acara lain atau ditarik dari film.

Rosiana Silalahi (Pemilik Rosi Inc.) mengatakan pemusatan kepemilikan media adalah ketika pemilik televisi media itu menguasai banyak media seperti surat kabar. Yang sekarang terlihat adalah MNC menguasai media dan tidak terkalahkan. TVONE dan Metro TV sebenarnya audiensnya kecil. Hal inilah yang menimbulkan kegelisahan, apakah ruang redaksi ikut terpengaruh? Ruang redaksi seperti televisi berita tidak ada apa-apanya dibandingkan media lain. Tidak ada satu pun entitas yang tidak bisa berdiri sendiri. Media harus bekerja dan berafiliasi dengan yang lain. Pengaturannya diatur sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak pada monopoli siaran yang konten siaran tentu diverifikasi siaran.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag. 4): Bandongan dan Sorogan

Kita semua harus mendorong kemajuan media. Tidak bisa 100% media bersih karena ada prefensi-prefensi politik. Independensi media berarti pemusatan kepemilikan. Independensi tidak memberikan sesuatu di luar fakta. Memutuskan melakukan jurnalistik atau tidak demi kepentingan apapun. Tugas menyampaikan berita adalah seluruh awak redaksi, presenter berita sebagai ‘wajah terdepan’ yang langsung berhadapan dengan publik pemirsa. Integritas versus Bisnis Kita punya idealisme sendiri yang mampu berinteraksi dengan orang lain. Tatkala masuk kotak integritas tentu ada kekuatan marketing. Marketing tidak berbohong dan tidak bisa terlalu jauh dari isinya. Sebagus-bagusnya marketing, kalau berbohong dalam menyampaikan informasi tidak bisa bertahan lama. Independensi harus sesuai dengan hati nurani.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Democracy Network (IDN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *