Abah Kita (Bag.3): Amanah Bagi Santri

Jamaah yang membangun Masjid Ampel mulai rusuh. Mereka meragukan kredibilitas Mbah Sonhaji, santri yang ditunjuk Sunan Ampel untuk memimpin pembangunan masjid tersebut.

Pasalnya, mereka tidak yakin ketepatan arah kiblat yang sudah ditentukan Mbah Sonhaji. Padahal, ia sudah menjelaskan bahwa keputusannya itu sudah melalui penghitungan yang matang. Tetapi jamaah terus saja memojokkannya.

Demi menjaga amanah dan nama baik sang guru, sebagai santri yang sudah seharusnya menjadi na-ibul ‘ulama (wakil ulama), Mbah Sonhaji terpaksa melakukan sesuatu yang tidak lazim.

Ia terpaksa melubangi tembok yang dia yakini sebagai arah kiblat, dan mempersilahkan mereka semua melihat ke dalamnya. Semua tercengang. Tidak percaya pada apa yang sedang mereka lihat.

Yang tampak di balik tembok bolong itu adalah Ka’bah Baitullah yang berada di Kota Makkah. Rumah Allah yang menjadi kiblat masjid di seluruh dunia.

Sejak itu, mereka pun tidak lagi meragukan kemampuan santri Sunan Ampel ini. Melainkan jadi sangat menghormati Mbah Sonhaji, dengan memberinya gelar sebagai Mbah Bolong.

* * *

Ada banyak versi tentang asal kata santri. Tapi salah satu yang menarik adalah penjelasan mantan Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama (NU) alm. KH. Sahal Mahfudh, karena menafsirkan tiap huruf di dalamnya.

Baca Juga:  Media Dalam Belantara Politik

Menurutnya kata ‘santri’ berasal dari Bahasa Arab ”santaro” yang bentuk jamaknya ”sanatir”. Ia tersusun dari empat huruf -sin, nun, ta’, dan ra’- yang masing-masing memiliki makna antara lain:

1. Sin bermakna “satrul aurati” (menutup aurat). Sebagai santri selayaknya memiliki kebiasaan berpakaian yang menutupi aurat. Artinya malu ketika setiap perilakunya bertentangan dengan syari’at dan norma yang ada.

2. Nun bermakna “na-ibul ulama” (wakil dari ulama). Santri harus menunjukkan sikap mulia untuk menjaga nama baik gurunya. Termasuk menunaikan amanah sang guru dengan baik, sebagaimana Mbah Sonhaji.

3. Ta’ bermakna “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Artinya santri harus konsisten mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi tentu semua dilakukan dengan cara ma’ruf (baik), bukan dengan cara yang juga munkar (buruk).

4. Ra’ bermakna “raisul ummah” (pemimpin umat). Artinya santri harus mampu menjadi pemimpin yang bisa memberikan perubahan yang positif.

* * *

Memperhatikan amanah di atas, jelas menjadi santri tidak mudah. Termasuk juga proses pendidikan yang harus dilalui.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag.2): Makna Gelar Kiai

Abah Ma’ruf masih mengingat jelas, bagaimana saat ia nyantri di Tebu Ireng dan beberapa pondok lainnya, di mana ia harus menguasai beragam cabang ilmu agama.

Abah Ma’ruf sebenarnya sudah masuk Pesantren Tebu Ireng saat kelas enam Ibtidaiyyah (sekolah dasar). Ia mengenang bagaimana dia yang sekecil itu kemana-mana harus memanggul kitab Iqna’ yang tebal.

Kitab yang lengkapnya berjudul Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’. ini adalah kitab klasik fiqh bermazhab Syafi’i. Di Mesir sendiri kitab ini baru dipelajari di madrasah menengah atas, tapi di Tebu Ireng kitab tersebut sudah harus Ma’ruf kecil kuasai di tingkat dasar Ibtidaiyyah.

Masih untung jika kebetulan metode yang dipilih Kiai adalah bandongan. Dengan metode ini, Kiai akan membacakan, menerjemahkan, sekaligus menjelaskan maksud dari kitab yang dibacakan. Santri tinggal menyimak apa yang disampaikan Kiai.

Tapi jika metode yang dipilih Kiai adalah sorogan, seluruh santri baru tentu akan panik. Sebab metode ini mengharuskan mereka untuk membaca kitab gundul langsung di depan Kiai. Kiai akan mengoreksi ketepatan pembacaan dan pemahaman santri pada teks kitab.

Baca Juga:  Abah Kita (Bag. 4): Bandongan dan Sorogan

Sementara bagi Abah Ma’ruf sendiri, tantangan terus berlanjut ketika ia pulang. Ma’ruf kecil yang ketika itu pulang pergi Jombang-Banten, pulang tidak untuk langsung beristirahat. Tetapi juga harus menghadapi sang Kakek, Kiai Ramli, yang menguji kesungguhan cucunya menuntut ilmu pesantren.

Sekali lagi, menjadi santri memang tidak mudah. Ia status terhormat yang melalui proses panjang. Bukan sebutan yang bisa diberi begitu saja, hanya karena kepentingan agar diterima sekelompok ummat.

Karena itu, ketika ada seorang Presiden sangat menghormati santri dengan -sejak tahun 2015- menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai ‘Hari Santri Nasional’, sangat tidak masuk akal jika orang terus menyebutnya sebagai anti-Islam.

[btn url=”https://www.suaradewan.com/abah-kita-bag-3-amanah-bagi-santri/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *