Trio Putin-Erdogan-Rouhani Permalukan Arab

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) telah diselenggarakan di Ankara, Turki, pada Rabu lalu (04/04). Agenda besar konferensi membahas masa depan Suriah. Yang menarik, tak seorang pun dari pihak Suriah — baik Presiden Bashar Assad dan rezimnya maupun kelompok-kelompok oposisi — yang terlibat dalam konferensi.

Juga para pemimpin Arab. Tak ada satu pun dari mereka yang menghadiri KTT itu. Justru yang menjadi aktor utama KTT adalah Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Iran Ayatullah Hassan Rouhani.

Ketiga negara itu bukan Arab. Turki dan Iran memang bagian dari Timur Tengah tapi bukan Arab. Sedangkan Rusia berada di ujung dunia, ribuan kilometer dari Suriah. Sedangkan Suriah sendiri merupakan anggota Liga Arab — beranggotakan 22 negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa.

Baca juga: Tiga Negara Ini Bukan Sekutu tapi Bersatu Demi Suriah

Seorang pengamat Timur Tengah menyebut KTT trio presiden bukan Arab yang membahas salah satu negara Arab jelas menggambarkan kondisi Suriah yang acakadut.  Juga kondisi para pemimpin dunia Arab itu sendiri. Seolah trio pemimpin bukan Arab itu ingin mempermalukan para pemimpin Arab.

‘’Lihatlah, wahai para pemimpin Arab!  Boro-boro kalian menyelesaikan masalah Suriah, persoalan Palestina saja yang sudah berlangsung selama puluhan tahun tidak bisa kalian selesaikan.’’

Pengamat tadi dari Saudi, bernama Masyary al-Thaidy. Menurutnya, melihat foto atau video yang memperlihatkan trio Erdogan-Putin-Rouhani tersenyum – saat konferensi pers usai KTT — justru menunjukkan kondisi dunia Arab yang suram.‘’Hari ini kami mengumumkan secara resmi berakhirnya perang di Suriah,’’ ujar  Rouhani.

‘’Kami sepakat bekerja sama menyelesaikan krisis Suriah,’’ kata Putin.

‘’ISIS dan semua kelompok teroris serta yang mendukung mereka tidak dapat berkontribusi pada pembentukan perdamaian abadi di Suriah,’’ Erdogan menjelaskan.

Baca Juga:  Dunia Melawan Penjajahan di Yerusalem

Kata ‘teroris’ dari Erdogan itu merujuk pada kelompok-kelompok Kurdi yang selama ini berjuang menuntut kemerdekaan dari Turki. Mereka menggunakan wilayah perbatasan dua negara — Turki-Suriah — sebagai basis perjuangan. Amerika Serikat (AS) selama ini dianggap mendukung perjuangan Kurdi. Itulah sebabnya AS tidak dilibatkan dalam KTT tripartit itu, meskipun mereka ikut memerangi sebuah kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS).

Ketiga negara — Turki, Rusia, dan Iran — sebenarnya mempunyai banyak perbedaan. Iran adalah Syiah, Turki merupakan negara Suni, sedangkan Rusia negara komunis yang kini jadi sekuler. Rusia dan Iran sejak awal mendukung rezim Bashar Assad.

Sementara itu, Turki mendukung kelompok-kelompok oposisi sejak muncul konflik di Suriah tujuh tahun lalu. Hanya satu yang menyamakan ketiga negara itu, masing-masing mempunyai kepentingan di Suriah.

Dukungan Iran kepada rezim Presiden Assad sebagai upaya untuk membuka jalur Syiah: Iran-Irak-Suriah-Lebanon (Hizbullah). Presiden Assad adalah Syiah, sedangkan mayoritas warga Suriah adalah Suni.

Di pihak lain, Putin — yang masih dalam eforia kemenangan atas terpilihnya kembali sebagai Presiden Rusia — berambisi untuk menebar pengaruhnya di Timur Tengah melalui Suriah. Pengaruh yang selama ini didominasi oleh AS. Ia sangat membutuhkan dukungan Erdogan untuk memberikan ‘perlindungan’ yang diperlukan melawan tuduhan bahwa intervensi Rusia di Suriah adalah perang terhadap umat Islam.

Apalagi serangan pasukan Suriah yang didukung penuh militer Rusia — baik udara, darat, maupun laut — telah menewaskan puluhan ribu warga.

‘Perlindungan’ itu diperlukan lantaran Putin tidak mau mengulang pengalaman pahit dulu ketika Uni Sovyet mengintervesi Afghanistan. Intervensi militer Uni Sovyet saat itu dianggap sebagai perang melawan umat Islam. Karena itu, bukan suatu kebetulan ketika penasihat Kremlin baru-baru ini menegaskan kepada para tokoh Muslim di seluruh Federasi Rusia bahwa keberadaan militer Rusia di Suriah mendapat dukungan dari pemimpin Muslim Suni Presiden Erdogan.

Baca Juga:  Siapa Lebih "Receh" Di 2019?

Sebaliknya, Erdogan juga membutuhkan Putin agar serangan militer Turki terhadap kantong-kantong Kurdi di wilayah Suriah tidak diganggu-gugat oleh rezim Assad. Dan, itulah yang terjadi. Pasukan Rusia dan Suriah benar-benar menutup mata terhadap berbagai serangan militer Turki ke wilayah-wilayah Kurdi.

Bahkan Erdogan sepertinya diberi keleluasaan untuk menguasai wilayah-wilayah Kurdi yang sebenarnya menjadi bagian dari kedaulatan Suriah. Dukungan Putin kepada Erdogan juga telah menghentikan berbagai kecaman keras dari pihak Iran atas sepak terjang militer Turki di wilayah Suriah.

Sebagai politisi berpengalaman, Erdogan tampaknya paham betul bahwa ia harus mengambil peran penting di tengah adu kekuatan antara negara-negara besar. Dalam hal ‘permainan pengaruh’ di Suriah, ia merasa akan lebih baik buat Turki bila memihak kepada Rusia dalam berhadapan dengan kekuatan besar lainnya yang diwakili oleh AS. Apalagi AS selama ini mendukung perjuangan Kurdi.

Lalu apakah peran atau pengaruh AS di Suriah benar-benar habis dengan KTT Tripartit ini? Apalagi Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan akan segera menarik semua pasukannya dari Suriah?

Baca juga: Tiga Negara Ini Bukan Sekutu tapi Bersatu Demi Suriah

AS — bersama negara-negara lain — selama ini merupakan kekuatan utama dalam perang melawan ISIS. Ia juga penyokong utama keberadaan kelompok-kelompok Kurdi. Sekitar 2 ribu pasukan AS kini masih berada di Suriah Utara sebagai bagian dari misi melawan sisa ISIS, yang sebelumnya menguasai daerah tersebut.

Wilayah ini merupakan basis kelompok-kelompok Kurdi. Kini, dengan rencana Trump menarik pasukan AS dari Suriah, warga Kurdi pun khawatir. Mereka kini tanpa dukungan.

Baca Juga:  Atas Nama NKRI & Pancasila

Amerika Serikat selama ini pun merupakan sekutu utama negara-negara Arab, khususnya negara-negara Teluk. Bahkan puluhan tahun AS telah menjadi ‘penjaga’ keberadaan negara-negara Teluk, terutama untuk melawan pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah.

Karena itu KTT di Ankara dengan tiga aktor utama Erdogan, Putin, dan Rouhani sulit dikatakan sebagai pengulangan Konferensi Yalta dalam tingkat yang lebih kecil, regional Suriah.  Konferensi Yalta adalah KTT yang dihadiri oleh tiga tokoh Sekutu — Winston Churchill (Inggris), Franklin D. Roosevelt (AS), dan Joseph Stalin (Uni Sovyet) — untuk mengakhiri Perang Dunia II. Konferensi ini juga sekaligus untuk membicarakan pembagian pampasan perang (baca: pengaruh) di antara negara-negara pemenang perang terhadap mereka yang kalah.

Suriah tentu bukan Jerman, Jepang, dan Italia sebagai pihak yang kalah dalam PD II, meskipun Presiden Bashar Assad kini hanyalah boneka dari Presiden Putin. Konflik di Suriah banyak yang terlibat. Di dalam negeri ada kelompok-kelompok oposisi, ada Kurdi, dan ada rezim Bashar Assad sendiri.

Di luar itu ada kekuatan-kekuatan regional dan internasional yang juga terlibat. Ada negara-negara Arab yang tidak menginginkan rezim Assad, ada Turki, Iran, Rusia, AS, negara-negara Eropa, dan seterusnya.

Namun, KTT di Ankara dengan aktor utama Erdogan, Putin, dan Rouhani  untuk membicarakan masa depan Suriah jelas menggambarkan ketidak-berdayaan para pemimpin Arab. Ketidak-berdayaan yang disebabkan perbedaan sikap dan perseteruan di antara mereka sendiri. Sedangkan masa depan Suriah akan tetap menjadi misteri. Perebutan pengaruh akan terus berlangsung. Korbannya adalah rakyat Suriah.

(Pertama kali dimuat di republika.id edisi 9/4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *