oleh: Herzaky Mahendra Putra
BERBAGAI hasil survei jelang Pemilu 2019 dalam dua bulan terakhir masih menempatkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan tingkat elektabilitas tertinggi.
Hanya saja, elektabilitas kedua tokoh nasional tersebut bisa dikatakan cenderung tidak mengalami perubahan secara signifikan. Bahkan, bisa dikatakan hampir stagnan.
Mengingat pemilihan presiden tahun 2019-2024 bakal berlangsung kurang dari setahun lagi, situasi ini harus benar-benar mendapat perhatian tim Jokowi dan Prabowo.
Perlu ada langkah-langkah terobosan yang diambil, sehingga Jokowi bisa unggul jauh atas Prabowo atau Prabowo bisa meningkatkan elektabilitasnya secara signifikan.
Di luar kompetisi Jokowi-Prabowo, ada satu fenomena baru yang bisa mengubah konstelasi peta koalisi untuk Pemilihan Presiden 2019. Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) semakin menguat sebagai calon wakil presien, baik untuk Jokowi maupun Prabowo.
Tak kurang dari lima survei terakhir mengamini sosok yang akrab dipanggil AHY ini sebagai salah satu cawapres paling potensial untuk Jokowi maupun Prabowo.
Bahkan, di survei terbaru Indikator, AHY dianggap sebagai cawapres paling pas untuk Jokowi dengan dukungan 16,3 persen responden. Adapun untuk cawapres Prabowo, AHY berada setelah Anies Baswedan.
Situasi elektabilitas Jokowi dan Prabowo yang tidak mengalami perubahan secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir, dan semakin menguatnya AHY sebagai salah satu cawapres potensial untuk Jokowi dan Prabowo, patut untuk dicermati.
Tiga penyebab
Jokowi selaku petahana memiliki segala sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan elektabilitasnya. Setiap program pemerintah merupakan sarana kampanye tidak langsung bagi kinerja Jokowi, dan ini bakal berpengaruh terhadap elektabilitasnya.
Saat ini, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi di berbagai survei memang cukup tinggi. Hanya, yang menjadi pertanyaan, mengapa elektabilitasnya tidak setinggi tingkat kepuasan masyarakat.
Kemungkinan ada tiga penyebabnya. Pertama, program pemerintah berjalan dengan baik, namun tidak menyentuh hal-hal mendasar di masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Kenaikan tarif listrik dan harga sembako, misalnya, cukup mengganggu sebagian masyarakat menengah ke bawah, meskipun salah satu program utama Jokowi, yaitu infrastruktur hasilnya cukup terlihat di beberapa wilayah.
Kedua, komunikasi politik tim Jokowi ke masyarakat tidak berjalan dengan baik. Pernyataan atau tindakan Jokowi yang viral justru bukan hal-hal yang berkaitan dengan kinerja, bukan program pemerintah yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak, melainkan hal-hal yang kurang relevan dengan masyarakat. Contohnya pernyataan tentang kalajengking dan penggunaan motor bebek oleh Jokowi di Papua.
Dengan kondisi itu, politik simbol yang menjadi salah satu andalan Jokowi di dua tahun awal pemerintahannya dan selalu ditunggu-tunggu masyarakat menjadi kurang efektif dalam setahun terakhir ini. Segmen kaum intelektual dan muda sangatlah kritis dalam hal ini.
Ketiga, kepuasan masyarakat tinggi bisa jadi karena sifat dasar sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung permisif dan kurang berani menyampaikan kritik atau ketidakpuasan.
Sebagian dari mereka kemungkinan kurang puas, namun tetap menyatakan puas karena melihat Jokowi sudah berusaha. Hanya, sebagian masyarakat ada yang merasa perlunya perubahan kepemimpinan di tingkat nasional, sehingga elektabilitas Jokowi tidak sebanding dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerjanya.
Perbaikan ketiga hal ini diprediksi bakal membuat perjalanan Jokowi menuju Pilpres 2019 lebih mulus.
Minim penyikapan
Di sisi lain, Prabowo selaku lawan tertangguh Jokowi saat ini tidak mendapatkan dampak positif apa pun dari elektabilitas Jokowi yang tidak mengalami perubahan signifikan. Dengan kata lain, peralihan dukungan pemilih Jokowi bukan ke kubu Prabowo.
Selama ini, tim Prabowo menyampaikan pembenaran bahwa dengan belum melakukan apa-apa saja, elektabilitas Prabowo sudah setinggi ini. Pertanyaannya, sampai sejauh apa tindakan yang bisa dilakukan Prabowo dan timnya untuk mengerek elektabilitas yang tertinggal cukup signifikan?
Munculnya Prabowo di muka publik selaku juru kampanye beberapa calon kepala daerah akhir-akhir ini memang cukup membantu mengingatkan publik mengenai sosok Prabowo.
Hanya saja, Prabowo sangat jarang mengeluarkan pernyataan terkait situasi nasional terkini. Padahal, jika menilik kondisi masyarakat saat ini, Prabowo seharusnya perlu tampil di momen-momen dimana masyarakat merasa pemerintah saat ini kurang berpihak kepada mereka.
Ada situasi-situasi nasional yang memerlukan penyikapan Prabowo selaku antitesis, ataupun minimal, alternatif dari kepemimpinan nasional saat ini.
Dengan melakukan penyikapan terhadap situasi nasional, masyarakat yang merasa kurang mendapatkan perhatian pemerintah bakal menganggap Prabowo merupakan bagian dari solusi atas kesulitan mereka.
Pernyataan yang akan dikeluarkan oleh Prabowo pun sebaiknya berfokus pada usulan-usulan solusi atas kekurangan kinerja pemerintah. Prabowo sebisa mungkin menghindari mengeluarkan pernyataan kontroversial yang rawan dipelintir.
Tentunya kita masih ingat dengan pernyataan Prabowo mengenai potensi Indonesia bubar pada tahun 2030, bukan? Padahal, tujuan komunikasi politik seperti yang disampaikan Steven Chaffee dalam Rice (1981) adalah untuk memobilisasi dukungan pada salah satu kandidat. Dan, yang dilakukan Prabowo dengan ucapan terakhirnya itu malah membuat calon pemilihnya bisa berbalik arah.
AHY, harapan baru?
Menguatnya AHY dalam berbagai survei kemungkinan besar karena masyarakat butuh sosok baru, yang bisa memberikan angin segar bagi perpolitikan nasional. Bukan sosok yang itu-itu saja.
Masyarakat perlu sosok yang bisa menerobos kebuntuan komunikasi dan kejenuhan situasi politik nasional terkini. Masyarakat sepertinya jenuh dengan dikotomi pendukung dari kedua capres terkuat saat ini (Jokowi dan Prabowo), dikotomi lovers atau haters pemerintah.
Kalau merasa pendukung pemerintah, apa pun kebijakannya selalu didukung, meskipun kebijakan itu belum tentu berdampak baik bagi masyarakat. Di sisi lain, warga bukan pendukung pemerintah selalu menyerang kebijakan pemerintah.
Padahal, seharusnya setiap kebijakan pemerintah ditelaah dengan kritis, dan jika memang baik, apa pun posisi politiknya, seharusnya mendukung kebijakan pemerintah. Begitu juga sebaliknya.
Ruang-ruang diskusi publik, baik di jagat maya maupun di dunia nyata, pun sepertinya hanya menjadi ajang bagi kedua pihak ini, tanpa menyisakan tempat untuk yang lain.
Dengan sosok AHY yang relatif baru di dunia politik dan masih bersih, masyarakat merasa memiliki harapan baru. Apalagi bagi swing voters dan pemilih pemula, yang didominasi kaum milenial, mereka merasa AHY merupakan alternatif baru.
Mereka senang melihat sosok seperti mereka (kaum milenial) bisa tampil di pentas politik nasional. Bukan sosok yang dimirip-miripkan dengan kaum milenial.
Untuk pendukung petahana yang saat ini kurang puas dengan kinerja pemerintah, namun tidak berminat beralih ke Prabowo, merasa Jokowi perlu dilengkapi dengan sosok yang bisa menjadi aspirasi mereka. Dan saat ini, bagi kaum milenial, salah satu pilihan terbaik mereka adalah AHY.
Hal ini didukung hasil survei litbang Kompas bulan lalu yang menunjukkan bahwa AHY merupakan cawapres Jokowi dari kalangan politisi atau ketua umum partai yang paling didukung pendukung Jokowi (39,9 persen). Posisi AHY di atas Surya Paloh (36,7 persen) dan Puan Maharani (31,6 persen).
Di sisi lain, mereka yang ingin memilih Prabowo, namun merasa generation gaps-nya lumayan jauh, merasa bahwa AHY merupakan salah satu figur yang bisa mendekatkan Prabowo dengan mereka.
Dengan kata lain, menggaet AHY bisa jadi merupakan salah satu terobosan bagi Jokowi atau Prabowo dalam mempermulus jalannya menuju kontestasi Pemilu 2019.
Koalisi atau kompetisi?
Pertanyaannya, apakah Jokowi ataukah Prabowo yang bakal mengejar AHY? Atau, malah akan ada poros baru yang menggandeng AHY?
Politik memang dinamis dan pendaftaran capres-cawapres baru bakal ditutup 10 Agustus 2018. Situasi menjelang pendaftaran bakal ditentukan oleh beberapa hal.
Yang pertama terkait relasi Jokowi dan PDI-P. Bagaimanapun, Jokowi adalah kader PDI-P dan, bagi PDI-P, sangat penting bila pemerintahan setelah Jokowi tetap dipegang oleh kader PDI-P juga.
Peluang terbesar untuk melanjutkan pemerintahan pada 2024-2029, bila Jokowi kembali terpilih sebagai presiden pada 2019, bakal didapat oleh cawapres Jokowi tahun depan. Sehingga, momen Pilpres 2019 ini penting bagi PDI-P untuk mengusung cawapres dari kader PDI-P juga.
Pertanyaannya adalah, apakah Jokowi sangat yakin bisa memenangi Pilpres 2019, siapapun cawapresnya? Bagaimana jika cawapres yang diajukan PDI-P diprediksi malah menggerus elektabilitasnya?
Bisakah Jokowi meyakinkan PDI-P bahwa lebih penting memenangi pertarungan di 2019 dulu, siapa pun cawapresnya, dan memikirkan 2024 setelah Jokowi kembali terpilih daripada memikirkan 2024 saat ini tetapi malah menuai kegagalan pada Pemilu 2019?
Kedua, relasi Jokowi dan parpol pendukungnya selain PDI-P. Bagaimana Jokowi bisa meyakinkan parpol pendukungnya agar tetap satu perahu dengannya jika dia tidak memilih cawapres dari parpol tersebut? Akankah koalisi ini rontok di tengah jalan?
PKB dan PPP selama ini sangat getol menawarkan ketua umumnya sebagai cawapres Jokowi. Kedua parpol ini merepresentasikan segmen pemilih Muslim dari ormas Islam terbesar di Indonesia, Nadhlatul Ulama.
Segmen pemilih Muslim ini sangat penting untuk didekati oleh Jokowi, mengingat berbagai isu yang menerpa Jokowi berkisar ketidakdekatannya dengan komunitas Muslim. Apakah Jokowi bakal memilih salah satunya?
Belum lagi jika harus mengelola kerumitan baru yang ditimbulkan oleh Golkar. Golkar saat ini sudah mulai melontarkan wacana mengenai Airlangga Hartarto, ketua umumnya, untuk disandingkan dengan Jokowi.
Airlangga memang dikenal luas di dunia bisnis karena rekam jejaknya di sana. Saat ini ia juga menjabat sebagai salah satu menteri Jokowi.
Mengingat saat ini wapres Jokowi adalah tokoh senior Golkar, Jusuf Kalla, tentunya wajar jika Golkar kembali menginginkan jatah kursi yang sama di 2019.
Hal ketiga menyangkut peranan yang dipilih Prabowo. Gerindra memang telah memberikan mandat kepada Prabowo untuk menjadi capres 2019.
PKS selaku mitra setia Gerindra sejak empat tahun terakhir ini memang menyatakan bakal berkoalisi dengan Gerindra. Hanya saja, siapa capres-cawapresnya masih sangat dinamis. Capres memang diserahkan kepada usulan Gerindra, namun PKS meminta cawapres dari internal PKS.
Bagaimanapun, masa depan koalisi Gerindra-PKS bakal ditentukan peranan yang dipilih Prabowo, apakah memilih kembali melaju sebagai capres ataukah memberikan jalan untuk capres lain untuk memberikan surprise effect kepada Jokowi. Sehingga, perhitungan dan persiapan yang dilakukan kubu Jokowi mesti direkalkulasi karena menghadapi kandidat baru.
Laiknya bermain catur, pengorbanan perwira-perwira berat untuk mendapatkan posisi lebih unggul atas lawan, sehingga membuat lawan terdesak dan kehabisan langkah, meskipun unggul perwira, merupakan terobosan yang diperlukan untuk mendapatkan kemenangan di akhir permainan.
Keempat, keikhlasan PKS. Untuk memperkuat koalisi Gerindra-PKS, keberadaan Partai Demokrat memberikan suntikan darah segar yang bakal mengubah konstelasi. Hanya saja, jika Demokrat bergabung, apakah PKS ikhlas untuk memberikan posisi cawapres kepada perwakilan Demokrat?
Hal itu mengingat PKS sebagai mitra setia Gerindra sejak 2014 sehingga tentu merasa lebih berhak menempatkan kadernya di posisi cawapres.
Adapun Demokrat pun wajar meminta posisi cawapres karena memiiki kursi di parlemen lebih banyak daripada PKS dan memiliki sosok vote getter yang sedang naik daun seperti AHY.
Faktor kelima adalah semakin meningkatnya eskalasi konflik dan dikotomi antarpendukung dua capres terkuat saat ini, yaitu Jokowi dan Prabowo, menjelang penutupan pendaftaran capres/cawapres.
Situasi ini bisa mengakibatkan munculnya keresahan di kalangan silent majority maupun tokoh-tokoh politik nasional. Situasi ini juga bakal memicu kesadaran perlunya terobosan, dan di antaranya membentuk poros baru, agar bangsa ini tidak terbelah dua karena politik semata sehingga bisa fokus memikirkan masyarakat.
Hanya saja, jika momentum ini muncul, ada satu faktor penting lagi yang diperlukan agar pembentukan poros baru bisa terwujud, yaitu sosok tokoh yang bisa diterima oleh berbagai pihak yang tergabung dalam koalisi.
Kemenangan Pakatan Harapan atas Barisan Nasional di Malaysia baru-baru ini bisa menjadi pelajaran bagi pendukung poros ketiga.
Bersatunya empat partai dalam Pakatan Harapan, salah satunya karena faktor ketokohan Mahathir Mohamad yang disepakati sebagai calon PM oleh keempat partai tersebut.
Mahathir bukan ketua umum salah satu partai sehingga partai-partai lain nyaman dengan pilihan pada Mahathir. Selain itu, prestasi Mahathir selama menjabat, mengundang respek dari partai-partai lain.
Untuk itu, poros ketiga ini memerlukan tokoh kaliber nasional yang tidak terlalu terasosiasi dengan salah satu partai sebagai perekat, baik sebagai capres maupun cawapres. Prestasinya selama ini, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan, mengundang respek dari partai-partai lain maupun bagi tokoh kunci dan konstituen partai-partai tersebut.
Beberapa tokoh bisa dipertimbangkan, seperti Gatot Nurmantyo, Chairul Tanjung, bahkan Anies Baswedan maupun Tuanku Guru Bajang yang sedang menjabat sebagai gubernur.
Tinggal didiskusikan kembali oleh para pemimpin partai, sosok mana yang lebih bisa mereka terima sebagai jalan tengah, dan mana yang lebih bisa diterima oleh para pemilih.
Poros baru ini bagaimanapun bakal menggandeng AHY sebagai cawapres, atau bahkan capres. Ini mengingat Partai Demokrat tempat AHY bernaung bakal menjadi partai terbesar dalam koalisi baru ini.
AHY sendiri merupakan magnet baru bagi segmen pemilih milenial, ceruk pemilih terbesar di 2019. Ini mengingat sosok AHY yang relatif baru di politik dan bersih, terlepas dari pertikaian dan dikotomi pendukung pemerintah-antipemerintah saat ini, dan sangat pas dengan niatan awal poros baru ini dibentuk.
Lalu, apakah Jokowi, Prabowo, dan AHY bakal berkoalisi atau berkompetisi di 2019? Kita tunggu.
*Direktur Manilka Research and Consulting
(artikel ini dimuat pertama kali oleh Kompas.com, edisi 11/5/2018)