Oleh: M. Iqbal Tarafannur
25 Januari kemarin, film Dilan yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq resmi tayang di bioskop seluruh Indonesia. Film ini sudah barang tentu menjadi sebuah penantian yang agung bagi setiap orang yang pernah membaca karya-karya ataupun hanya sekadar kutipan dari Pidi Baiq. Bagaimana tidak, karya fiksi Pidi Baiq yang — ramai terpampang di etalase-etalase toko buku ternama — penuh dengan kata-kata cinta yang indah yang akan membikin orang-orang— khususnya kaum muda — yang sedang dikuasai oleh gelora asmara atau sedang dirundung patah hati, mendadak merasa tercerahkan selepas membacanya.
Saya menonton film ini bukan karena saya adalah pembaca setia karya-karya Pidi Baiq. Saya penasaran apakah film ini bisa mengubah pikiran saya terhadap penulis-penulis kisah fiksi menye-menye, yang saya anggap telah merusak dan meracuni otak generasi hari ini dengan seluruh ihwal tetek bengek kisah percintaan bocah ingusan yang banal sekaligus binal.
Film yang mengambil latar di Bandung pada tahun 1990 ini menceritakan kisah cinta remaja dimasa putih abu-abu antara Dilan yang diperankan oleh Iqbal Ramadhan dan kekasihnya Milea yang diperankan oleh Vanesha Prescilla, seorang gadis cantik yang baru pindah dari Jakarta ke Bandung. Pada pembuka film, kaum hawa akan terpesona melihat senyum manis Dilan saat menghampiri Milea, gadis yang menjadi target operasi rasa sukanya. Dilan membuka dialog pertama dalam film dengan mengatakan “aku meramal, suatu saat kamu pasti naik motorku.” Sontak saya mendengar ada suara-suara perempuan di bioskop yang bilang ‘so sweet’, ‘asiikk,’ ‘ya ampun,’ ‘romantis banget,’ dll., dsb.
Milea, digambarkan seorang gadis cantik yang baru pindah sekolah dari Jakarta, merupakan anak tentara. Sedangkan Dilan seorang anak tampan yang nakal namun puitis dan terlibat dalam geng motor ternama di Bandung. Tak tanggung-tanggung, bocah ingusan ini, menduduki jabatan sebagai panglima tempur dalam geng motor tersebut. Oh ya, ditambah lagi, dia juga anak dari seorang serdadu. Jangan lupa, bahwa film ini berlatar tahun 1990, di mana Sang Jenderal masih gagah berkuasa. Latar belakang keluarga Dilan yang militeristik mungkin menjadikannya besar kepala dan ditakuti. Hal ini terlihat ketika di dua adegan Dilan dipanggil oleh kepala sekolahnya karena memukul guru dan temannya.
Mungkin faktor latar belakang keluarganya itu yang menjadi pertimbangan kelompoknya menjadikan Dilan sebagai panglima tempur, agar bisa leluasa dalam aksi-aksi mereka. Hehe. Sebab saya berpikir, bahkan setolol-tololnya kelompok geng motor, tak akan menjadikan seorang bocah SMA untuk menduduki jabatan penting, seberapa besar pun nyali si bocah.
Berbeda dengan percintaan anak SMA pada umumnya, Dilan begitu pandai dalam merangkai puisi. Lain Rangga dalam AADC yang hanyut dalam sajak-sajak Chairil, Dilan bisa menjadi seorang pembuat puisi andal sembari menjadi bagian dari geng motor tanpa harus menjadi seorang kutu buku yang membusuk di pojok kamar. Bayangkan saja kata-kata ini: “Jangan rindu, itu berat. Kamu tak akan kuat. Biar aku saja,” diucapkan oleh seorang anak SMA. Mendengar ucapan itu keluar dari mulut DIlan, seisi bioskop kembali riuh dengan puja-puji, sementara saya tersiksa dengan rasa geli.
Hal ini juga yang membedakan antara Dilan dan Beni — kekasih Milea — yang berada di Jakarta yang terjerumus dalam budaya plagiat pada puisi-puisi Gibran. Kisah cinta Milea dan Beni mulai terancam saat Dilan hadir dalam kehidupan Milea dan berujung di Jakarta saat konflik terjadi dan Beni menyebut Milea sebagai “pelacur”.
Saat adegan konflik tersebut, saya terkenang—begitu juga Milea yang menangis dalam perjalanan pulang ke Bandung — dengan kata-kata Dilan sebelumnya pada Milea yang mengatakan, “Jangan kasih tahu aku ada yang menyakitimu, nanti orang itu akan hilang.”: Kata-kata yang bagi saya kelewat mengerikan dalam konteks di mana orde baru sedang berkuasa. Menggunakan kata ‘mati’ saja sudah begitu horor untuk bocah seumurannya, apalagi hilang!? Ingatan saya langsung mengarah pada orang-orang yang ‘sengaja dihilangkan’ akibat melawan Harto. Persoalan yang membuat semuanya makin mengerikan adalah karena Dilan anak dari seorang serdadu. Terlebih lagi, bahkan sebelum kenal dekat, Dilan telah mengetahui semuanya tentang Milea. Hal ini yang membuat ulasan film Dilan di Tirto.id, memberikan judul tulisan yang amat jenaka dan menyentil: “Dilan 1990, Adalah Film Horor.”
Rasa yang sama juga saya alami ketika Milea pulang dan mendapati ayahnya sedang duduk di teras rumah sembari mengelap senapan laras panjangnya. “Sedang apa, Yah?” Tanya Milea, selepas mengucapkan salam dan menciumi tangan ayahnya. “Buat nembak tikus-tikus di jalanan”, jawab ayahnya. Serentak saya mengingat mereka yang menjadi korban Operasi Kalong pada tahun ‘65, di mana orang-orang disiksa dan binasa, tak lebih berharga dari seekor tikus di selokan.
Lewat penggambaran percintaan Dilan dan Milea saya menyadari bahwa tak ada jurang perbedaan yang mencolok antara generasi di tahun 90an, dan saat ini, selain komunikasinya lewat telepon dan surat. Bahkan menurut salah satu pembaca setia Pidi Baiq dalam kutipan Twitternya, mengatakan bahwa novel Dilan harus menjadi panduan hidup anak SMA saat ini, yang dikutip oleh Pidi Baiq dalam sampul belakang novel Dilan. Begini tulisnya:
”Keren. Buku ini harus menjadi panduan hidup anak SMA sekarang. Menteri Pendidikan juga harus baca,” kata pengguna Twitter @faisEl_farizi.
Bayangkan! Harus menjadi panduan hidup anak SMA dan harus dibaca oleh Menteri Pendidikan! Mungkin hal ini harus dipertimbangkan oleh Menteri Pendidikan sekarang, untuk menjadikan DIlan sebagai kurikulum baru yang wajib dipelajari dalam mata pelajaran SMA. Dan untuk yang terhormat Ki Hajar Dewantara, semoga saja kau tak baper karena kalah pamor dengan Pidi Baiq. Sia-sia sudah kau mendirikan Taman Siswa. Saya rasa, persoalan ini mungkin juga jadi pertimbangan agar Paulo Freire dan Eko Prasetyo berhenti menulis tentang persoalan pendidikan. Sebab, kalian tak ada apa-apanya.
Hati saya begitu tersentuh, ketika di adegan menjelang berakhirnya film, Dilan dan Milea akhirnya mengikrarkan cinta agung mereka lewat proklamasi. Bukan karena mereka begitu romantis dan antimainstream, tapi karena kata ‘proklamasi’ yang mereka gunakan. Sebab, bagi saya, kata-kata itu yang membuat Bung Karno, dkk, harus merasakan sunyinya pembuangan, pengapnya penjara, dan ngerinya peluru yang membuntuti mereka. Terserah jika bagi sebagian orang saya dianggap terlalu berlebihan. Namun, percayalah Dilan, proklamasi itu berat. Kamu tak akan kuat. Biar Bung Karno saja.
Selain perbedaan di atas, kisah ini tak ada bedanya dengan kisah percintaan anak SMA pada umumnya yang diangkat dalam film: murahan dan menjijikan. Generasi muda, lagi-lagi menjadi sasaran komoditas lewat sastra dan film. Lewat hal ini, kaum muda diajak dalam labirin percintaan yang menggelora, seolah-olah dunia ini hanya berisi tentang kisah asmara antara dua pasangan anak manusia.
Tapi, saya berterima kasih sebesar-besarnya kepada seorang Pidi Baiq. Sebab karena karyanya, saya senantiasa merawat kebencian saya pada sastra murahan yang hanya berbicara tentang persoalan asmara yang membabi-buta.
Sumber : http://narazine.co