China-Amerika Serikat: Kawan Atau Lawan?

Oleh : Andi Muhammad Arief Malleleang

Konstelasi politik dunia internasional dewasa ini semakin menarik untuk diperbincangkan, bagaimana tidak, dengan semakin beragamnya aktor dalam hubungan internasional menjadikan pola yang berlaku juga menjadi lebih dinamis.

Munculnya aktor-aktor baru dalam berbagai sektor khususnya ekonomi dan politik membangkitkan kembali nuansa kompetisi bagi bangsa-bangsa besar seperti Amerika Serikat (AS), dan juga Cina atau bangsa-bangsa besar lainnya.

Sepeti yang kita ketahui bahwasanya Amerika dan sekutunya merupakan penantang terakhir yang bertahan dari ganasnya Perang Dunia II, dan panasnya perang Dingin. Tak ayal, hal tersebut membuat Amerika kemudian menjadi negara adidaya, dan menjadi pusat bagi peradaban dunia modern.

Namun kini situasinya telah berubah, kekuatan-kekuatan penyeimbang bagi dominasi Amerika tidak pernah benar-benar mati. Dominasi yang ditunjukkan oleh Amerika perlahan mulai dapat terbantahkan oleh munculnya negara-negara besar seperti Rusia, Cina, dan juga Iran yang muncul sebagai negara penantang baru yang tidak boleh dipandang sebelah mata.

Hal ini dapat dilihat dari bangkitnya mereka baik di sektor keamanan, ataupun sektor perekonomian. Seperti Cina misalnya, kebangkitan Cina di sektor perekonomian perlahan mampu merubah peta pasar dunia yang tadinya dikuasai oleh Amerika dan juga negara-negara sekutunya. Tentunya kebangkitan ini merupakan ancaman yang tidak main-main bagi mulusnya kuasa Amerika dan sekutunya untuk mengatur peta perdagangan dunia yang mereka mainkan selama beberapa dekade terakhir.

Baca juga: Teman dan Musuh Amerika di Bawah Kepemimpinan Donald Trump

Dengan kebangkitan Cina yang semakin tahun semakin meningkat ini, AS merasa Cina sudah mulai mendominasi kekuasaanya di dunia, terutama pada bidang ekonomi. Banyak kebijakan-kebijakan yang dinilai sangat kontoversial dan memiliki resiko besar dalam pelaksanaannya tapi justru membuahkan hasil baik, bahkan memberikan keuntungan bagi Cina sendiri.

Baca Juga:  Catatan Dr. Iswandi Syahputra: Ahok; Masalah atau Fenomena Politik Pilkada DKI?

Contohnya kebijakan Cina berupa devaluasi Yuan, People’s Bank of Cina(PBOC) memotong nilai mata uangnya pada tahun 2015 silam. Tidak tanggung-tanggung, Bank Sentral Negeri Panda tersebut melakukan devaluasi mata uangnya hampir menyentuh angka 2% yang dimana rekor sepanjang sejarah ekonomi Cina. Hal ini sangat memberikan dampak besar terhadap nilai dari mata uang dan juga kegiatan ekspor-impor dunia.

Aktivitas ekspor yang sebelumnya didominasi oleh Uni Eropa dan Amerika sangat terkena dampak dari kebijakan ekstrim yang diambil oleh Cina. Pasalnya, penurunan aktifitas ekspor Cina yang terjadi beberapa tahun terakhir sebelum tahun 2015, telah membuat produk-produk Cina tidak dapat bersaing di pasaran internasional apabila dibandingkan dengan produk-produk Amerika dan sekutunya.

Sehingga devaluasi yuan merupakan kebijakan untuk menanggapi penurunan ekspor Cina terhadap pasar internasional agar dapat mengimbangi aktifitas ekspor yang dimainkan oleh AS dan sekutunya. Setelah kebijakan ini disepakati, banyak sekali perusahaan-perusahaan raksasa dunia diambilalih dan dikuasai oleh Cina.

Di satu sisi perusahaan milik AS justru mengalami penurunan yang cukup signifikan karena disebabkan oleh daya saing pasar produk Amerika sudah tidak dapat lagi menarik perhatian kebanyakan konsumen dunia.

Produk Cina dinilai memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan produk AS dan sekutunya, ditambah dengan jenis produk yang ditawarkan memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda bahkan menyamai produk-produk Amerika yang harganya lebih mahal.

Selain devaluasi yuan yang efeknya sangat mempengaruhi kekuasaan Cina di dunia, beberapa negara super power dunia juga cukup dikagetkan dengan kebijakan Cina berupa penyediaan visa khusus bagi keturunan etnis Cina di seluruh dunia untuk menetap atau berkunjung ke Cina.

Baca Juga:  Pengaruh Pasar Global Terhadap Hasil Komoditi Lokal dan Tindakan Represif Negara

Visa tersebut sangat memungkinkan mereka tinggal selama lima tahun, atau melakukan kunjungan ke daratan Cina berkali-kali dalam satu kurun waktu. Kebijakan ini adalah cara Cina untuk menarik kembali keturunan-keturunan etnis Cina yang termasuk kedalam kategori Foreign High-end Talent (Talenta Top Asing).

Adapun yang digolongkan kedalam kategori Talenta Top Asing adalah seperti para pengusaha perusahaan raksasa dunia, pemain dan pelatih asing di klub-klub olah raga Cina, para mahasiswa post-doktoral dari universitas top dunia, serta warga asing yang memiliki pendapatan enam kali lipat dari pendapatan rata-rata warga Cina. Tentunya hal ini akan meningkatkan jumlah warga asing berkeahlian khusus untuk tinggal dan bekerja di Cina.

Pasalnya Cina memberanikan diri untuk memberikan keringanan yang cukup menggiurkan bagi seluruh warga diasporanya untuk kembali memberikan kontribusi terhadap perkembangan Cina.

Hal ini akan membuat Amerika semakin tertekan dengan adanya kebijakan tersebut, sebab seluruh pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh tiap warga diaspora tentunya akan menjadi sumber informasi serta motor penggerak perkembangan Cina.

Tidak hanya dua kebijakan diatas, One Belt One Road (OBOR) juga menjadi salah satu kebijakan yang diinisiasi oleh Cina untuk menciptakan situasi ekonomi dimana Cina sebagai negara penguasa ekonomi dunia.

Bagaiamana tidak, Cina telah menggencarkan investasi besar-besaran secara meluas untuk mendukung pembangunan infrastruktur ke 55 negara seluruh dunia, termasuk Indonesia. Beberapa pakar politik dan ekonomi dunia beranggapan tindakan ini sangat berisiko bagi masa depan Cina, tetapi hal itu lagi-lagi dipatahkan dengan adanya respon baik dari negara yang mendapatkan keuntungan bagi kemajuan ekonomi mereka di masa mendatang.

Baca Juga:  Dunia Melawan Penjajahan di Yerusalem

Dan bagi Cina sendiri, respon baik serta dukungan dari berbagai negara tentunya akan memberikan keuntungan besar untuk Cina, yaitu berupa dukungan politik dan ekonomi yang kemudian menjadikan Cina sebagai negara yang disegani di dunia.

Dominasi Cina yang menggurita di sektor ekonomi dunia tentu dapat menjadi ancaman baru bagi Amerika Serikat, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika sebagai bentuk pembendungan pengaruh Cina yang semakin kuat.

Kebijakan tersebut berupa perubahan arah politik Amerika yang sebelumnya memiliki fokus terhadap keamanan dan ideologisasi negara menjadi perdagangan dan investasi ke negara berkembang maupun maju. Selain itu adanya slogan ‘America First’ oleh Amerika sebagai bentuk penguatan identitasnya sebagai negara super power yang masih memiliki pengaruh dan kekuasaan terhadap dunia internasional.

Pada kenyataannya, setiap negara akan terus berupaya untuk menunjukkan identitasnya sebagai negara super power. Hal inilah yang terjadi pada Amerika dan Cina saat ini. Setiap kebijakan yang dibuat akan selalu menjadi kekuatan bagi perkembangan negara tersebut.

Cina yang saat ini ingin mendapatkan dominasi dari dunia internasional menerapkan beberapa kebijakan guna mencapai tujuannya. Bagi Amerika, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Cina merupakan sebuah ancaman untuk berlomba-lomba menjadi negara adikuasa. (geotimes.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *