Oleh: Franz Magnis Suseno, Rohaniwan; Mantan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Istilah ”golput”, singkatan dari golongan putih, menurut Wikipedia, diciptakan tahun 1971 oleh Imam Waluyo bagi mereka yang tak mau memilih. Dipakai istilah ”putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta pemilu kalau tak menyetujui pembatasan pembentukan partai-partai oleh pemerintah Orde Baru.
Jadi, golput artinya sama dengan menolak untuk memberikan suara. Setiap kali ada pemilu, kemungkinan golput, diperdebatkan. Memang, UU pemilu kita, seperti halnya di mayoritas demokrasi di dunia, tak mewajibkan warga negara harus memilih. Masalahnya: bagaimana penolakan warga negara untuk ikut pemilu harus dinilai?
Yang sulit disangkal: hasil pemilu legislatif dan pilpres pada 17 April nanti akan krusialbagi masa depan bangsa dan negara. Itu hal serius. Karena itu pertimbangan-pertimbangan berikut juga serius. Jangan harap pendapat berikut akan diajukan secara santun, adem-ayem, baik-baik. Tidak! Saya mau menulis dengan jelas.
Tentu ada beberapa situasi di mana Anda berhak, barangkali bahkan wajib untuk tak ikut memilih. Misalnya, biaya untuk ikut memilih terlalu mahal karena tempat pemungutan suara (TPS) terlalu jauh dari tempat tinggal Anda, pekerjaan Anda tak dapat diinterupsi, atau Anda harus merawat seseorang yang tak dapat ditinggalkan.
Untuk alasan seperti itu, yang akan saya tulis tak berlaku bagi Anda. Ada alasan-alasan sah untuk tak ikut memilih. Namun, kalau tak ada alasan yang betul-betul sah dan obyektif seperti, jelas Anda wajib memilih.
Bukan wajib secara hukum, melainkan wajib secara moral. Kalau Anda, meskipun sebenarnya dapat, tetapi Anda memilih untuk tak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga kemungkinan: Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak.
Misalnya Anda menganggap kedua capres sama-sama tak memuaskan. Oke!Namun, itu tak berarti kedua capres adalah sama—dan dua capres sekarang jelas tak sama. Dalam pandangan Anda, dari dua calon ini pasti ada yang kurang baik dan ada yang lebih lagi kurang baik.
Pastikan agar jangan calon yang Anda anggap lebih kurang baik yang terpilih. Artinya, meski juga tak memuaskan, pilihlah yang lebih baik di antara keduanya. Jangan mendukung yang lebih tidak baik dibanding calon satunya dengan cara abstain! Dalam suatu pemilu, kita tak memilih yang terbaik, melainkan berusaha memastikan yang terburuk jangan terpilih.
Mencegah yang buruk berkuasa
Tak ikut memilih karena tak ada calon yang betul-betul sesuai dengan cita-cita Anda adalah, maaf, tanda kebodohan. Antara yang kurang memuaskan dan yang sama sekali tak memuaskan masih ada perbedaan besar. Yang betul-betul buruk adalah: ada yang bersikap ”peduli amat” dengan siapa yang dipilih. Dia tak bersedia ”membuang waktu” dengan repot-repot memilih. Yang dia pikirkan adalah kariernya sendiri. Nasib negara dia tak peduli.
Itu sikap benalu atau parasit. Dia hidup atas usaha bersama masyarakat, tetapi tak mau menyumbang sesuatu. Kita dengan susah payah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia, tetapi Anda ”tak peduli politik”. Betul-betul tak sedap! Sikap itu juga bukan tanda kepintaran. Bisa saja hasil pemilihan punya dampak pada karier Anda.
Ada juga yang tak mau memilih karena kecewa. Misalnya, capres A yang begitu diidam-idamankan ternyata juga punya kelemahan, bukan seratus persen ksatria putih bersinar seperti dibayangkan karena ia ternyata juga mengambil sikap politik yang sangat mengecewakan. Atau, Anda barangkali begitu mengharapkan capres B akan membawa Indonesia ke pantai-pantai baru, tetapi ia ternyata mengambil sikap kompromistis, tak konsekuen seperti Anda harapkan. Maka, karena kecewa, Anda tidak memilih, baik capres A maupun B.
Anda menggerutu dan golput. Seakan dengan tak ikut memilih, Anda mau menghukum si capres karena ia mengecewakan Anda. Itu pilihan buruk. Bukan hanya karena alasan di atas. Mengambil sikap atas dasar rasa kecewa adalah tanda mental yang lemah. Orang yang mentalnya baik tak akan mengizinkan rasa kecewa memengaruhi keputusannya.
Kalau Anda menolak Prabowo, pilih Jokowi!, meski Anda kecewa dengan Jokowi. Kalau Anda tak mau Jokowi jadi presiden lagi lima tahun ke depan, pilih Prabowo, meski ia jauh dari harapan Anda! Dua tokoh itulah yang kini tersedia bagi Indonesia. Kenyataan ini harus diterima. Sekali lagi, kita tak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa. Dalam suatu demokrasi kita wajib memberi bagian kita.
[btn url=”https://www.suaradewan.com/golongan-putih-oleh-franz-magnis-suseno/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]