Jalan Para Pecinta, Setapak Rumi

oleh : Rahmat Mustari

Dalam konstruksi ciptaan, manusia sudah mencapai kedudukan yang tinggi sekali. Namun, dalam kehidupannya sendiri, setiap individu harus bergerak ke atas dan manusia harus menjalani disiplin ketat dalam jalan spiritual agar semua bakat dan daya spiritual bawaan Tuhan dapat berkembang.

Untuk mengembangkan bakat dan daya spiritual tersebut, menjadi keharusan bagi setiap individu menunaikan kewajiban-kewajiban ritual maupun amal-amal sunnah. Pertama, pengakuan akan keimanan (syahadat), yaitu mengakui “bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah”, mengarahkan segenap pikiran, cinta, dan jiwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menyatakan keimanan “Muhammad adalah utusan Allah”. Selanjutnya, kewajiban menunaikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan ramadhan, dan berhaji jika mampu.

Pada tahap ini, pencinta menempuh jalan syari’ah, yang lebar; aturan dan hukum yang harus diikuti setiap orang.

Pada tahap selanjutnya, pencinta menyusuri jalan sempit nan berliku-liku, thariqah. Di awal jalan, pencinta dianjurkan agar segera bertobat. Tobat adalah keharusan berpaling dari dunia beserta kesenangan-kesenangannya ke nilai-nilai spiritual. Tobat seperti ini diperlukan sekali, Sebab jika bata pertama letaknya sudah tidak betul, menaranya akan miring dan rubuh.

penulis : Rahmat Mustari

Meskipun Maulana tidak membicarakan tahapan-tahapan dalam tasawuf secara teoritis, khususnya tawakkul (tawakal kepada Allah) dan ridha. Tawakkul yang diajarkan Maulana tidak seperti kepasrahan mutlak seperti zahid-zahid awal. Seperti sabda Nabi Saw. yang menasihati seorang Badui yang bertanya kepada Nabi mengenai tawakkul ; Ikatlah dahulu untamu, barul kemudian pasrahlah kepada Allah!”. Rumi meyakini, meskipun Allah telah merencanakan dan mengatur segalanya, manusia juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan apa pun yang dapat dilakukannya untuk menghindari kemalangan dan sekaligus bertanggung jawab untuk tidak menyesatkan orang lain.

Baca Juga:  Pilkada Bukan Bencana Demokrasi

Sabar dan rasa bersyukur. Dalam pandangan Maulana, sabar merupakan “kunci kebahagiaan”. Sebab, Allahlah yang menyelamatkan orang yang sabar, persis seperti Dia menyelamatkan Yusuf dari dalam sumur dan penjara, dan Yunus dari perut ikan. Bukankah bunga-bunga pada musim semi itu penerjemahan-penerjemahan “kesabaran” yang mereka praktekan pada musim dingin dan untuk inilah kini mereka mendapatkan ganjarannya?  Elaborasi kisah-kisah para Nabi dalam Al-Qur’an dan perubahan musim banyak mewarnai karya Maulana.

Maulana menuturkan sebuah kisah yang menggelikan, yaitu tentang seorang laki-laki yang ingin membuat raja bergambar singa pada punggungnya, tetapi karena tak tahan terhadap pedihnya jarum untuk membuat tatto, ia memutuskan supaya singanya tidak berekor, kemudian tidak berkaki, dan kemudian tidak berkepala, dan akhirnya tidak berbadan.

Kesabaran, membuat diri Maulana bergejolak. Bahkan ia mengatakan:

“Tidak, itu salah! Karena kalau saja masih tersisa

sedikit kesabaran pada diriku,

berarti aku tak percaya pada cinta-Nya! (Diwan 2908)

Karena itu Maulana lebih tertarik pada sikap tahu berterima kasih. Tentang sabar dan tahu berterima kasih, sang penyair mengungkapkan:

Baca Juga:  Islam di Amerika dan Paradoks

Kesabaranku selalu bilang: “Aku membawa kabar gembira tentang persatuan dari-Nya”

Namun, rasa bersyukur selalu bilang: “Akulah pemilik kekayaan mahaluas dari-Nya!” (D 2142).

Maulana tahu sekali bahwa rasa bersyukur merupakan sesuatu “yang menyangga karunia”, sebab jika seseorang merasa bahwa pemberiannya diterima dengan penuh rasa terima kasih, dia akan memberi lagi dengan rasa kasih sayang.

Melalui berbagai tahapan, manusia menapak di jalan tasawuf sehingga membuat manusia mengerti bahwa dirinya berada “di antar jari-jemari Tuhan”. Di antara berbagai tahapan atau maqam tersebut adalah takut dan harap. Keduanya ini digambarkan sebagai “dua sayap yang membawa jiwa manusia kepada Tuhan. Hati selalu mengharapkan Rahmat Tuhan dan sekaligus khawatir kalau-kalau sesuatu akan menjatuhkan ke dalam jurang kemurkaaan.

Maulana tahu bahwa, Pelaut selalu berdiri di atas kekhawatiran dan harapan (D 395). Tetapi sekali kapal hancur dan tenggelam, dia akan menyatu dengan Lautan Ilahi. Seperti rasa bersyukur kepada Tuhan, Maulana membela harapan karena berharap itu berarti berpikir baik tentang Tuhan, sedangkan Tuhan,  menurut para sufi dan juga Rumi, mencintai orang-orang yang “berpikir baik tentang-Nya” dan akan memperlakukan mereka seperti yang mereka harapkan dari-Nya.

Baca Juga:  Politik di Negeri Demokrasi "Katanya!"

Namun, ada satu maqam dalam tasawuf yang lebih berarti bagi Maulana dibanding yang lain, yaitu faqr (kefaqiran). Ini bukan kefaqiran peminta-minta pada umumnya, tetapi keadaan di mana orang tahu bahwa makhluk itu sepenuhnya miskin di hadapan Sang Pencipta yang “Kaya, sedang kamu miskin”, seperti disebutkan Al-Qur’an (QS Fathr, 35: 15). Faqr adalah kualitas yang dibanggakan Nabi Muhammad ketika beliau bersabda, “Kefaqiranku adalah kebanggaanku”, dan ini artinya menyerahkan diri sepenuhnya ke tangan Tuhan. Dalam pengertian ini, hampir sama dengan fana’ (ketiadaan), faqr adalah suatu keadaan yang membuat orang kehilangan segalanya dalam kekayaan tak terbatas Tuhan.

*Tulisan ini di sadur dari buku Akulah Angin Engkaulah Api, karya Annemarie Schimmel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *