Pilkada Bukan Bencana Demokrasi

Oleh: Mulawarman Hannase

Beberapa saat lagi, masyarakat indonesia akan melaksanakan hajat demokrasi, Pilkada serentak termasuk di DKI Jakarta. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menganalisa dinamika Pilkada dengan menggunakan teori ‘perspektif’. Kata ‘perspektif’ dalam filsafat modern berarti sudut pandang yang bersumber dari pengalaman visual, empirik dan nonempirik yang mempengaruhi cara berfikir dan perilaku. Arti sederhananya, ‘perspektif’ adalah ‘sudut pandang’. Dengan demikian, perilaku dan pilihan-pilihan hidup yang ditempuh oleh manusia sangat dipengaruhi oleh ‘perspektif’nya. Semua orang pasti mempunyai pengalaman yang berbeda-beda sehingga pilihan-pilihan hidupnya pun akan beranega ragam.

Katherine Miller dalam bukunya Communication Theories: Perspectives, Process and Contexts melihat betapa besar pengaruh ‘perspektif’ dalam perilaku dan pola interaksi seseorang. Oleh karena itu, dengan memahami sudut pandang yang digunakan orang lain, maka semakin mudah kita memahami dan menerima sikap dan perilakunya. Mari kita coba menjelaskan kontestasi politik di DKI Jakarta saat ini dengan menggunakan teori ‘perspektif’.

Di sini, penulis tidak akan menganalisa bagaimana ‘perspektif’ para politisi dan partai-partai politiknya dalam kontestasi demokrasi. Sudah pasti, mereka pasti memihak dan justeru bisa mengambil keuntungan dari kegaduhan yang terjadi. Yang perlu dijelaskan di sini adalah bagaimana seharusnya civil society menyikapi sebuah kontestasi politik sehingga mereka tidak menjadi korban kegaduhan.

Primordialisme dan Leadership
Sebagaimana kita saksikan, telah terjadi gesekan yang sangat tajam dalam proses Pilkada DKI Jakarta kali ini. Caci-maki, olok-olok, ujaran kebencian setiap hari menghiasi halaman-halaman media sosial yang kita akses. Intimidasi, intervensi dan gerakan saling melaporkan ke pihak yang berwajib menjadi pemberitaan yang setiap hari kita konsumsi. Tentu suasana ini sangat mengganggu dan mongoyak-oyak kondisi kebatinan kita. Fenomena di atas terjadi karena manusia di Jakarta bahkan di Indonesia saat ini secara keseluruhan sangat keras dalam menggunakan dan mempertahankan persepektifnya, khususnya dalam menyikapi proses demokrasi yang sedang berjalan di ibu kota.

Baca Juga:  Banyak Alasan Untuk Mengatakan Prabowo Akan Kalah di Pilpres 2019

Pertama-tama, yang paling problematik dalam kontestasi politik yang kita rasakan di ibu kota saat ini adalah masalah religio-centrism (sudut pandang agama). Ini sebenarnya juga termasuk dalam isu primordialisme. Bagi sebagian besar penganut agama, preferensi dalam memilih figur pemimpin adalah berdasarkan doktrin agamanya. Bukan hanya bagi pemeluk agama tertentu saja, tetapi bagi semua pemeluk agama. Ketika seseorang atau kelompok mempunyai pilihan figur seiman, mereka cenderung memilih berdasarkan asas kesamaan iman tersebut. Apakah ini salah dan bertentangan dengan demokrasi? Tentunya tidak. Dalam konsep demokrasi, setiap orang bebas memilih jalan atau sebuah keputusan selama tidak bertentangan dengan konstitusi. Apalagi, kalau pilihannya itu dikaitkan dengan doktrin ketaatan terhadap agamanya. Ini sama sekali tidak melanggar konstitusi. Sudut pandang agama dalam hal ini tentunya sah-sah saja.

Yang menjadi dilematis dalam isu yang kita bahas ini bahwa seorang yang tampil dalam kontestasi politik tersebut berasal dari kelompok agama minoritas. Pada titik inilah isu agama sangat kuat mewarnai konstestasi itu. Muncullah kemudian sentimen agama antara mayoritas dan minoritas. Belum lagi isu-isu yang berkaitan dengan etika, sopan santun dan tatakrama bagi figur calon pemimpin. Intinya, agama merupakan salah satu perspektif bagi seseorang dalam menentukan pilihan dan dukungan dalam sebuah kontenstasi politik.

PIlkada Serentak 2017
Pilkada Serentak 2017

Selanjutnya, isu personal branding juga mempunyai peran penting dalam sebuah kontestasi demokrasi. Seperi dijelaskan sebelumnya, ada kelompok yang selalu menonjolkan isu agama tapi banyak juga yang tidak. Mereka itulah yang hanya membatasi sudut pandangnya pada aspek-aspek yang berkaitan kualitas leadership. Yang menjadi penilaian baginya adalah sejauh mana figur yang berkompetisi, mumpuni dalam hal kepemimpinan. Bagaimana track record yang dimiliki, apakah ia jujur, bersih, berpihak ke rakyat kecil, anti korupsi dan kriteria-kriteria lainnya, itulah yang menjadi referensinya dalam memilih.

Baca Juga:  Quo Vadis 20 Tahun Reformasi

Apakah mereka bukan orang-orang beragama? Jelas, mereka adalah orang beragama karena Indonesia tidak mengakui eksistensi orang yang tidak bertuhan (ateis). Hanya saja, mereka lebih suka melihat dari sudut pandang kualitas kepemimpinan sang figur daripada  latar belakang agamanya.

Selain itu, isu etnisitas (kesukuan) juga kerap menjadi faktor penting dalam meraih kesuksesan dalam sebuah kontestasi politik. Dalam sebuah proses sebelum memasuki kontestasi politik, isu etnisitas merupakan komponen yang perlu dipertimbangkan dan dirumuskan secara matang. Komponen Jawa, luar Jawa, Betawi, Sunda dan lainnya kerap menjadi pertimbangan dalam mengusung pemimpin nasional. Bahkan, hal ini terjadi juga dalam demokrasi di DKI Jakarta. Kenapa ini penting, karena sistem demokrasi terbuka menganut pendekatan kuantitatif. Siapa yang mempunyai pendukung dan pemilih yang paling banyak niscaya ia akan memenangkan kontestasi. Dengan demikian, menggunakan sudut pandang etnisitas dalam kontestasi politik adalah hal yang lumrah dan bukanlah sesuatu yang aneh.

Ada pula kelompok masyarakat yang terlalu sederhana dalam menyikapi kontestasi politik. Sebagai contoh, ada tiga orang ibu-ibu di wilayah padat penduduk, di sebuah gang sempit ditanya tentang calon gubernur DKI Jakarta. Ibu pertama mengatakan, “saya memilih nomor 1 karena orangnya muda dan ganteng”. Ibu kedua menjawab, “Saya memilih nomor 2 karena kulitnya putih dan bersih”. Ibu ketiga juga menjawab, “Saya pilih nomor 3 karena hidungnya mancung mirip orang Arab”.

Baca Juga:  Jalan Para Pecinta, Setapak Rumi

Dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta yang menjadi sorotan nasional bahkan internasional sekarang ini, apakah salah ketika memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur berdasarkan preferensi agama, leadership, etnisitas dan isu primordialisme lainnya? Tentunya tidak salah selama tidak melakukan pemaksaan terhadap orang lain. Jadi sesungguhnya, isu SARA (suku, agama dan ras) tidak bisa terpisahkan dalam setiap kontestasi politik terbuka. Hanya saja, isu SARA tidak boleh nenjadi bahan kampanye dan menjadi alat pemaksaan bagi orang atau kelompok lain. Pemakasaan inilah yang sesungguhnya melanggar konstitusi.

Bagaimana Seharusnya?

Semestinya tidak perlu terjadi gesekan keras di tengah masyarakat kita ketika memahami teori ‘perspektif’ ini. Namun pada kenyataanya, hanya sedikit orang yang bisa menggunakan pandangan yang komprehensif dalam memilih. Kalaupun dia berusaha mengguanakan perspektif yang luas, ujung-ujungnya akan mengerucut pada salah satu ‘perspektif’ seperti yang dijelaskan di atas. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk tidak menghargai pilihan orang lain, karena sudut pandanglah yang menggiring orang untuk memilih, sedangkan sudut pandang tersebut ke-berbedaan-nya  bersifat niscaya.

Sebagai pemilih yang baik, perspektifnya harus luas sehingga tidak picik memandang perpedaan dan tidak terlalu sederhana menilai calon pemimpin. Sedangkan bagi seoarang calon pemimpin yang ingin masuk dalam kontestasi politik, hendaknya terlebih dahulu membangun kualitas dirinya. Ketika pemimpin itu agamanya bagus, leadershipnya kuat, track record-nya jujur dan bersih, etika dan komunikasinya santun maka dilihat dari segala ‘perspektif’ manapun dia nampak menarik.

Ketika mayoritas pemilih ‘perspektif’nya luas dan calon pemimpinnya menarik dalam semua ‘perspektif’, maka kontestasi politik itu menjadi sangat menyenangkan dan benar-benar menjadi pesta demokrasi, bukan bencana demokrasi.

Penulis:
Dosen Filsafat dan Agama Program Pascasarjana PTIQ Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *