Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy
Hasil survei lembaga survei yang dilakukan jelang Putaran II Pilkada Jakarta semua memenangkan Anies, kecuali Charta Politica. Bahkan SMRC yang notabene “Ahoker” pun “terpaksa” memenangkan Anies meski hanya selisih 1 persen. Sepertinya rekayasa hasil survey pun sulit untuk dilakukan guna memenangkan Ahok.
Merujuk pada hasil-hasil survey tersebut, saya menduga bahwa sebagian besar elite politik pendukung Ahok saat ini sedang mengalami kepanikan abis, mulai lesuh darah. Dan biasanya, ciri orang yang dalam keadaan panik, biasanya cenderung akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan diri.
Nah, kalau yang terkena kepanikan itu elit politik yang tengah berkuasa, maka harus diwaspadai secara serius. Bila Paijo, Paino, dan Panjul yang panik, paling banter yang bakal dilakukan adalah dengan membakar ban bekas, menghadang laju kendaraan di jalan tol atau merobohkan pagar DPR. Tapi ingat, kalau yang mengalami kepanikan dan apalagi kalah dalam pertarungan politik yang sudah sedemikian rupa direkayasa, maka bukan hanya ban yang dibakar, jalan tol diblokir, atau pagar DPR dirobohkan, tapi bisa lebih sadis lagi, ratusan nyawa pun bisa melayang dengan begitu gampang. Logika ini saya pakai sekadar meniru logika yang dipakai para pembela video kampanye Ahok yang rasis, yang melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa “ïbu dan anak yang terjebak dalam kerusuhan, tulisan ganyang Cina itu juga pernah terjadi, fakta.”
Soal kepanikan elit politik yang kalah kemudian berlaku sadis juga pernah terjadi di negeri ini. Tentu sebagian besar memori publik masih ingat ketika rezim Orde Baru kalah secara politik berhadapan dengan Ibu Megawati, muncul Tragedi Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996). Berapa puluh nyawa melayang. Mereka yang jadi korban adalah pendukung dan simpatisan Ibu Megawati dan para pegiat demokrasi yang sebelumnya cukup lama berorasi di depan Kantor DPP PDI Jl. Doponegoro. Saya sempat dua hari berada di Kantor PDI dan sesekali ikut orasi hanya dua hari sebelum tragedi itu terjadi. Puluhan orang berambut cepak berkaos merah (sepertinya saat itu diskenariokan sebagai pendukung Suryadi) menyerbu Kantor PDI. Semoga Ibu Megawati yang waktu itu masih jadi elit politik pinggiran ingat dengan Tragedi Kudatuli. Sekadar mengingatkan, kalau-kalau Ibu Mega lupa akan peristiwa yang berhasil melambungkan namanya, menjadikan PDIP berhasil memenangkan Pemilu 1999 dan mengantarkan Ibu Mega menjadi Wakil Presiden untuk kemudian menjadi Presiden menggantikan Gus Dur. Sekali lagi, semoga Ibu Megawati dan elit PDI-P yang mengelilingi Ibu Megawati saat ini juga selalu ingat Tragedi Kudatuli.
Tragedi Mei 1998, termasuk tragedi kemanusiaan lainnya yang terjadi Pasca 1998, seperti Tragedi Ambon (Muslim dan Kristen dibenturkan), Tragedi Sampit, Tragedi Poso, dan peristiwa berdarah lainnya, saya meyakini semua dilakukan oleh elit yang kalah. Sebab banyak kejadian yang janggal. Sekadar contoh, bagaimana mungkin Muslim dan Kristen di Ambon bisa konflik, sementara ratusan tahun mereka hidup rukun berdampingan. Dalam satu keluarga ada anggota keluarga yang Muslim dan Kristen biasa dan sangat biasa. Mereka diikat oleh budaya “pela gandong”.
Pela gandong ini kerap menjadi kebanggaan masyarakat Maluku sejak dulu hingga sekarang. Pela diartikan sebagai suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama yang berbeda, sedangkan gandong sendiri bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah berlangsung, campuran soppi (tuak) dan darah yang diambil dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pihak yang bersangkutan setelah senjata dan alat-alat tajam lain dicelupkan ke dalamnya.
Tapi ketika elit Jakarta yang kalah dalam pertarungan politik kemudian masuk ke Ambon, ratusan bahkan ada yang menyebut ribuan nyawa melayang. Dan dampaknya hingga sekarang ini masih dirasakan oleh masyarakat Ambon.
Sekali lagi semua peristiwa yang saya sebutkan terjadi dikarenakan kekalahan elit. Bukan karena Muslim yang galak, ekstrim atau anarkhi seperti yang digambarkan oleh video kampanye murahan yang dibuat oleh Tim Kampanye Ahok.
Berangkat dari semua peristiwa berdarah tersebut, maka penting untuk mewaspadai pasca 19 April 2017. Kalau berangkat dati hasil-hasil survei jelang Putaran II, rasanya –seperti saya utarakan pada tulisan sebelumnya– hanya kecurangan yang akan mampu memenangkan Ahok. Itu artinya, kekalahan Ahok sebenarnya sudah di depan mata. Karenanya, harus diwaspadai pada dua hal.
Pertama, waspadai kalau Ahok kalah. Pilkada Jakarta kali ini berbeda dengan Pilkada-pilkada sebelumnya. Pilkada berlangsung di tengah masyarakat yang terbelah secara ekstrim. Bagi partai-partai besar pendukung Ahok, Pilkada Jakarta juga akan menjadi pertaruhan politik secara nasional.
Kalau berangkat dari berbagai peristiwa yang terjadi pasca 1998, maka potensi elit politik yang kalah akan membikin Jakarta chaos perlu diwaspadai. “Teori layang-layang putus” pun bisa jadi akan dipakainya. Tentu kita semua pernah tahu bagaimana sekumpulan anak-anak kecil berebut mengejar layang-layang yang putus. Biasanya anak yang tak mungkin bisa merebut layang-layang tersebut, apalagi anak yang bersangkutan merasa paling besar dan kuat, maka dia bisa saja akan merebut layang-layang yang sudah didapat oleh anak lainnya dan merusaknya, menyobek-nyobeknya. Prinsipnya, tidak boleh ada satu anak pun yang dapat layang-layang tersebut. Berlaku rumus “tiji tibeh”: mati siji, mati kabeh, mati satu, mati semua.
Kedua, waspadai juga kalau Ahok menang dengan segala bentuk kecurangan, sementara aparat berwenang melakukan pembiaran, maka waspadai pula terjadinya chaos, chaos yang merupakan pantulan dari “akibat” dilakukannya pembiaran atas segala bentuk kecurangan Pilkada. Peringatan ini perlu disampaikan agar menjadi perhatian pihak-pihak yang terlibat dalam proses Pilkada.
Akhirnya, semoga Pilkada 19 April berjalan lancar. Semoga yang berniat curang, urungkan niatnya. Semoga yang berniat bikin kacau, batalkan niatnya, semoga aparat kepolisian dan militer yang di-BKO-kan juga bisa bersikap adil, dan KPU dan Panwaslu sebagai penyelenggara Pilkada juga mampu menjaga netralitasnya
(Hotel Crowne Jakarta, 17/4/2017).
Penulis adalah: Wakil Dekan FISIP UMJ