Kolong Rel

Oleh : Amiruddin W (Penggagas Komunitas 1000 Biografi)

Malam itu, si El sang Sastrawan, lulusan salah satu kampus ternama di Jakarta mengajakku keluar. Di jam yang sudah menunjukkan arah jarum 12 malam itu, bagi sekolompok anak muda seperti el adalah hal yang biasa, bagi mereka malam adalah siang, dan siang adalah malam.

“Bro kita kemana?”tanyaku kepada el sambil memegang gagang setir motor Mio ku.

“Ah, ayo jalan aja kanda,” jawab el, seperti biasanya el memang sering memanggilku dengan sebutan kanda. Terang saja, dari senioritas angkatan memang aku lebih senior, dari organisasi juga gak salah lagi. Tapi, apapun itu, pertemanan tidak memupuk hirarki kesenioritasan, label pemanggilan hanyalah istilah formal dalam kesantunan.

Dari arah Salemba menuju Matraman itu jalanan Jakarta mulai sepi, gedung-gedung pencakar langit itu berdiri kokoh seolah menghardik kekuasaan. Kami berjalan dalam embun malam, hingga sampai ke arah Kampung Melayu.

“Stop, stop kanda,”motorku tiba-tiba berhenti karena ulah el yang menginstruksikan berhenti secara mendadak.Tepat dibawah Rel Kereta Api, si el menyuruhku memarkir si jago merahku. Kami pelan-pelan memasuki sebuah lorong gelap, dengan gerombolan manusia yang hilir-mudik.

“Oh my god,”ucapku dalam hati. Si el membawaku ke tempat para wanita dijajakkan, dan para pria melampiaskan nafsu. Di pinggir Kolong Rel Kereta Api itu, manusia-manusia kaum Spartacus bergelimangan membujuk, merayu, dan menawarkan tarif.

Di Rel Kereta Api itulah, transaksi seks terjadi. Tarifnya begitu murah, dari 50k hingga 200k, untuk sewa tempat melakukan jajakan seks itu juga berkisar 50k. Iyalah, wajar saja, tempat ini diperkhususkan hanya untuk mereka yang berkantong tipis, bermodal pelampiasan, dan berkelas rendah.

Para PSK di area ini juga bermacam-macam, hanya bermodal seksi, dan sedikit parfum dan lipstik mereka sudah bisa melancarkan jual beli. Usia mereka ada yang masih terbilang ABG, tapi ada juga yang sudah berumuran. Tarif berdasarkan, presentasi umur dan kecantikan rupa. Tapi tentu saja, PSK ini tak “Seindah” PSK di tempat yang lebih berkelas.

Baca Juga:  Cerita Untuk Raisa Andriana

*********

Sambil tertatih berjalan, gadis bertubuh langsing, dengan celana diatas paha menyambariku. Di pinggiran rel kereta Api area Kampung Melayu itu, berhamburan lelaki berhidung belang sedang menjajaki seksualitas dan pemuasan birahi.

Setiap malam, sekira pukul 11.00 Pm hingga menjelang subuh, area ini telah penuh dengan wanita penghibur malam dan lelaki hidung belang. Area ini bisa dikatakan masih tergolong lokalisasi Kelas Teri, hampir disepanjang Rel KRL di Jakarta dihuni oleh bisnis esek-esek seperti ini.

Tapi, jika jauh kita ke dalam. Bisnis pemuas nafsu laki-laki hidung belang ini, dengan kelas menengah, bisa kita telesuri di Area Jakarta Kota. Klub-klub malam yang isinya wanita-wanita bertubuh lunglai tanpa busana.Disinilah, terjadi peng kotakan dalam kota.

Di area ini, sekelompok organisasi lokal menjadi palang pintu keamanan. Seperti memiliki batasan, area ini hanya dimasuki oleh mereka yang ingin menjajaki wanita penghibur itu. Dari sudut pintu ke pintu lain, masing-masing bodyguard menjaga ketat. Tidak boleh ada pengambilan gambar sepeserpun. Sebab, didalam lokalisasi itu juga dilakukan patroli oleh bodyguard.

Jakarta, dalam sudut pandang yang berbeda, adalah Jakarta yang kelam. Dari tengah malam hingga menjelang subuh, miliaran rupiah bertukar dalam bisnis esek-esek ini. Bukan hanya disitu, bahkan transaksi gelap bisa saja terjadi (baca: Jakarta Undercover).

Di kolong rel, standar kamarnya juga terjangkau oleh lelaki ekonomi di bawah. Namun, bagi mereka lelaki dari pengusaha dan pejabat daerah, pasti kelasnya di area Jakarta Kota itu atau pesan antar lewat Mucikari.

Inilah Jakarta-ku, kota urban, bak penyakit yang telah tersebar virus di ujung kota hingga menjalar ke pusat. Konon bisnis ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi APBD DKI Jakarta. Jadi wajar, “dipelihara” oleh pemda. Bahkan bisa jadi bisnis lokaliasi ini juga sebagian dimiliki oleh oknum pejabat.

Baca Juga:  Kisah Rantau dan Abad Sebuah Tulisan

**********

Malam itu berlalu dengan cepat, paling tidak si el telah memberikan aku sebuah referensi baru tentang kehidupan seksualitas di Jakarta. Kami, hanya menghabiskan malam itu, dengan melihat, dan menelusuri informasi. Tak jarang el sering mewawancara perempuan-perempuan itu.

Seperti biasanya, bangun pagi adalah kelemahan hidup. Itulah mengapa “sebagian” mahasiswa mengalami dekradasi kemapanan hidup, karena tak biasa bangun pagi. Kalaupun bangun pagi, adalah akibat dari efek kopi yang sejak malam diminum, atau karena belum tidur sama sekali.

Tapi, apapun itu, rasanya malam itu membawaku berpikir ke dalam sebuah cakrawala Jakarta yang lebih luas. Bahwa Jakarta adalah tempat bergumulnya semua bisnis, mulai dari bisnis jual beli barang, jual beli wanita, jual beli proyek hingga jual beli jabatan. Jika hidup se-senormal orang di daerah untuk menghadapi watak Jakarta yang begitu keras, rasa-rasanya, kita akan mati diinjak petaka.

Di kolong rel, area lokalisasi dijamin oleh pemerintahnya. Iktikad untuk melancarkan pemuasan nafsu bagi kaum adam ini dipicu karena maraknya pemerkosaan yang terjadi di mana-mana. Waktu itu, Gubernur era 90-an Ali Sadikin memikirkan bagaimana Jakarta bisa jauh dari maraknya pemerkosaan.

Maka dibentuklah lokalisasi di berbagai titik di Jakarta. Yang terkenal adalah Kalijodo. Sang bos asal Sulawesi Selatan adalah penguasa lokalisasi ini. Konon dari zaman ke zaman, area ini juga memiliki backingan yang kuat dari aparat polisi atau militer.

Sebab bisnis esek-esek bukan hanya soal seksualitas, tapi disitu juga terjadi bisnis miras, narkoba dengan tingkat varian kelas yang bermacam-macam.Perputaran ekonomi di area ini begitu kencang dan derasnya. Mereka yang datang dari daerah biasanya menghabiskan puluhan juta untuk memuaskan nafsu di tempat-tempat seperti ini.

Baca Juga:  Alkisah Garuda Dibelit Tiga Ekor Naga Di Candi Kidal

*********

Kehidupan malam Jakarta yang merajelela dan seksualitas yang membabi buta (baca: Jakarta Undercover), benar adanya yang disampaikan oleh Moammar Emka. Bahwa kehidupan malam Jakarta bagaikan dua sisi yang berbeda dalam deretan waktu yang sama, ada yang berpesta pora, dilain sisi ada yang sedang bertabih melantunkan ayat suci.

Pembelahan sisi sosial dan kemanusiaan terjadi di kota yang disebut Metropolitan ini. Gap yang menjulang tinggi antara miskin dan kaya, hanya dibatasi oleh tembok yang bertebal 8 cm. Kemiskinan di Jakarta dianggap hal sepele dan seksualitas merupakan rutinitas yang tak ada matinya.

Sadar tidak sadar, antara pendosa dan pengkhutbah pintu surga berada dalam alunan ruang dan waktu yang sama. Suara musik DJ berbunyi dalam komposisi alunan shalawatan di Masjid-Masjid Jakarta. “Siapa yang mampu menghentikan?”desahku.

Itulah Jakarta dibalik kolong rel yang penuh dengan nafsu yang memanas. Pelampiasan hidup di lorong gelapnya gank-gank kecil serta transaksi bisnis haram dengan mulusnya berlangsung tanpa interupsi.

Setidaknya, ada beberapa titik di Jakarta yang pernah aku lakukan investasi tentang kehidupan kolong rel. Jika ingin sedikit bergeser ke Selatan Jakarta, Arah Manggarai, setidaknya bisnis esek-esek memanjangi 3 Km. Jajakannya juga sama, bahkan tarifnya juga sama.

Bergeser ke Jakarta Timur, kita akan menjumpai Kolong Rel Kereta Jatinegara. Tak hanya perempuan berlabel original, yang perempuan non original juga memadati area ini. Jika di Manggarai dan Kampung Melayu masih susah didapatkan, berbeda halnya di Jatinegara ini.

Di sepanjang pingiran jalan yang berbatasan dengan Rel KRL ini perempuan-perempuan bertubuh linting dan berpayu dara seksi menjajakkan lelaki yang sedang berkendaraan. Secara vulgar transaksi seks terjadi ditepi jalan itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *