Kisah Rantau dan Abad Sebuah Tulisan

Oleh : Amir Wata*

Sebagai pengantar, term ini terbagi menjadi dua bagian; pertama, tentang bagaimana menulis itu amatlah penting, dan yang kedua adalah bagaimana falsafah “rantau” juga menjadi bagian penting dalam peradaban manusia. Untuk mendeskripsikan apa itu menulis, dengan sangat bagus, Ben Okri, penulis Afrika mengatakan “Jika Anda ingin mengetahui apa yang berlangsung di sebuah zaman, cari tahulah tentang apa yang terjadi dengan penulisnya.” para penulis, the town-criers, adalah barometer zaman.

Kekuasaan bisa saja membungkam mulut yang berteriak, tapi masyarakat tentu saja masih mampu melakoni kebenaran. Namun, nalar penulis tak mampu ditindas oleh penguasa, ia memberontak terhadap penantian dan berkisah dalam buku-buku mereka;  menjelaskan tentang bumi yang rusak, tentang ketidakadilan yang mengalir, tentang cinta yang bersemi dan bahkan tentang kehidupan. Maka, benar apa yang ditulis oleh Ben Okri, bahwa Manusia adalah homo fibula; makhluk pengisah. Manusia dengan tarikan sejarah yang panjang, mampu mengisahkan; kehidupan sekaligus mampu menjelaskan “kematian”. 

Jika disaksikan bersama, buku hanyalah sebuah benda mati, tetapi isi di dalamnya mengandung kehidupan. Di balik sebuah buku, terdapat sebuah “dunia” yang belum banyak dikenal-tentang pengarang, pengaruh teknologi dan budaya, lika-liku industry dan persaingan, para pecandu, dan pernak-pernik lain yang masih luput dari perhatian. Dan, beruntungnya di Indonesia buku atau dikenal dengan aksara juga menjadi salah satu kekuatan besar dalam kisah-kisah gelombang sejarah di nusantara ini. Sehingga pengetahuan tentang kisah, majapahit, siliwangi, sriwijaya dll, tertulis dengan epik oleh para penulis. Lahirlah kehidupan kematian yang berkisah tentang tradisi, sejarah, ilmu pengetahuan, dan agama.  Sehingga, dalam seni menulis puisi tradisi sastra Jawa Kuno, ada yang disebut kalangon, yang mampu membawa pembacanya tenggelam di dalam pengalaman keindahan. Tradisi ini melahirkan Ramayana (abad ke-9) atau Arjunawiwaha (abad ke-11) yang terkenal.

Tetapi, di Bugis-Makassar juga patut ditinjau. Puisi atau kisah epik Bugis I La Galigo atau Sureq Galigo ditulis dengan menarik tentang sejarah Bugis pada awal abad ke-14 yang kemudian menjadi salah satu naskah klasik terpanjang di dunia. La Galigo terdiri dari 300.000 larik sajak. Menurut R.A. Kern yang menuliskan katalog Galigo pada 1939, jika saja cerita lengkapnya dapat dikumpulkan maka seluruhnya akan berjumlah 6.000 halaman folio. Sebuah mahakarya. Dari situlah, bugis-makassar mengenal tradisi historiografi yang khas, yakni menuliskan catatan terperinci dari rumah raja atau pembesar. Tradisi ini meluas ke Bima, dan melahirkan antara lain Bo’ Sangaji Kai, “Buku catatan raja-raja Bima” yang meliputi kurun waktu dua abad, mulai abad ke-17.

Baca Juga:  Cerita Untuk Raisa Andriana

Dengan begitu, dapat kita cerna. Bahwa tradisi menulis memang sudah banyak digeluti oleh pendahulu kita. Namun, meski disadari pasca kemerdekaan bahwa tradisi menulis itu hanya digeluti oleh lapisan masyarakat tertentu saja. Rakyat umumnya menyebarkan pengetahuan lewat tembang atau kidung yang disampaikan lisan dari generasi ke generasi. Hal ini lebih menunjukkan bahwa tradisi yang cukup tua tidak menjamin tumbuhnya budaya tulis baca yang cukup kental dan meluas. Apalagi dalam era yang serba digital seperti yang dihadapkan hari ini, anak-anak Indonesia kemudian dibenturkan dengan tradisi yang lebih bersifat audio, visual daripada gerakan literasi (aksara).

Rantau dan Menulis

Dalam tradisi Bugis–Makassar, merantau adalah salah satu cara untuk pengenalan kepada semesta. Maka, tak ayal, terutama masyarakat Bugis-Makassar perjalanan “merantau” adalah satu-satunya cara untuk menemukan jati diri. Namun, sangat disayangkan, ada semacam keterbalikan paradigma masyarakat kita hari ini, bahwasanya perantau adalah orang-orang yang kalah bersaing di kampung halamannya.

Padahal, tak sedikit perantau Bugis Makassar kelak menjadi orang sukses di kampung orang. Ada yang menjadi pejabat, pebisnis sukses, di tanah Jawa misalnya mereka mampu hadir di tengah-tengah kauman menjadi tokoh umat dan masyarakat. Terlepas dari isu seporadis kebernasan pemuda Makassar hari ini, tapi pada fakta lain perantau Bugis Makassar mampu beradabtasi di setiap lingkungan yang meraka tinggal.  Dalam falsafah budaya Bugis ada ungkapan yang mengatakan “Akkulu peppeko mulao, abbulu rompengku mulesu,” artinya “Seorang perantau, harus berangkat dengan bekal sedikit dan kelak jika pulang harus membawa hasil sebanyak-banyaknya.”

Baca Juga:  Kolong Rel

Dengan prinsip seperti itulah, maka jiwa budaya Bugis dikenal dengan etos kerja yang tinggi. Niat yang teguh, semangat yang membara tak membuat mereka surut dari terpaan apapun. Seperti ungkapan “Pura babbara sompeku, pura tangkisi gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia; sudah ku kembangkan layarku, sudah kupasangkan kemudiku, lebih baik saya tenggelam dan tercungkup perahuku daripada harus surut.” Seperti itulah falsafah budaya Bugis yang menjadi tekad masyarakat bugis-makassar dalam berjuang di tanah rantau.

Namun, kisah tak berarti apa-apa jika tak tertuang dalam dokumentasi. Baik itu foto, maupun tulisan. Kalau saja, La Galigo tak pernah tertulis maka tentu kita tak akan pernah mengenal bagaimana tradisi 7 kerajaan yang ada di tanah Sulawesi. Merantau memiliki filosofi keteguhan hati yang kuat, namun tanpa menulisnya, kisah rantau akan menjadi usang oleh zaman, dan hanya secarik kertas yang mampu membahasakan keteguhan hati tersebut. Itulah, mengapa kekayaan tulis-menulis dan merantau menjadi benang merah yang saling berkaitan. Di era kontemporer seperti sekarang, menulis kisah hidup seseorang lebih populer daripada menulis ilmu pengetahuan. Dari kisah seseorang, setidaknya kita mampu “membaca” pengalaman yang tertuang di dalam buku tersebut.

Kalau saja, logika tak mampu berekspresi dengan kata-kata, paling tidak lisan akan tergantikan dengan tinta. Sehingga kita dapat mendeskripsikan bahwa buku meskipun dia adalah benda mati, tapi “dunia teks” dan sekaligus “teks tentang dunia yang lain” hidup di dalamnya. Ia menyelipkan kekayaan imajinasi, luapan emosi, atau gelora kreativitas yang menjelma sebagai bentangan narasi dari hal-hal bersahaja hingga peristiwa agung dalam kehidupan. Bahkan tak sedikitpun, para pengarangnya diburu, atau penulisnya disanjung setinggi langit, namun bisa saja sekaligus kekuasaan menjadi panik karena penulis buku mampu mengurai masalah tentang ketatanegaraan.

Baca Juga:  Kisah Sarung Bugis dan Dubes Bugis Di Qatar

Mengambil dari kisah kehidupan sehari-sehari yang kemudian divisualisasikan dalam narasi film, telah banyak dilakoni oleh novelis-novelis ternama di Indonesia. Sang Buya Hamka misalnya, menampilkan teks puisi dalam judul bukunya “Tenggelamnya Kapal Vanderwijk” yang kemudian buming di tahun 2014, atau Andrea Hirata yang kemudian mengisahkan kehidupan masa kecilnya dalam buku “Laskar Pelangi”, dan “Sang Pemimpi”. Dan salah satu penulis dengan gaya Islami, Habiburahman El Shirazy yang sempat menjadi buming di tahun 2004 seperti “Ayat-Ayat Cinta”, atau “Ketika Cinta Bertasbih“. Beralih ke dunia lain, seorang penulis “gender” seperti Asma Nadia yang tengah Buming dengan bukunya yang telah difilmkan seperti “Assalamualaikum Beijing” membuat ledakan baru dalam industri film yang bergaya khas mengisahkan perjalanan seorang wanita yang Islami. Adalagi, buku yang kemudian telah dua kali difilmkan berjudul “Surga yang Tak Dirindukan” mewarnai ruang ekspresi dunia teks menjadi dunia visual yang banyak di minati.

Asma Nadia juga tak sendiri, ia dan beberapa penulis perempuan yang lain, misalnya Merry Riana, mengisahkan kisah hidupnya dalam buku “Mimpi Sejuta Dolar” kemudian difilmkan, lagi-lagi menarik peminat segmentasi penonton yang menyukai film dalam versi “kisah hidup”. Oleh karena itu, dunia teks seperti yang dilakoni oleh banyak penulis yang kemudian banyak difilmkan, telah mengalami ledakan segmen bisnis industri sastra dan film. Dan menjadi sangat menggiurkan, jika sepenggalan kisah menjadi tabiat dan ambisius untuk menjadi bisnis. Asma Nadia, paling tidak telah merubah mindset kebanyakan wanita Islam “kuno”, Merry Riana paling tidak juga telah menekadkan kita bahwa wanita itu juga harus berjuang. Namun yang perlu dipahami, “Di balik Keteguhan Hati Wanita” ada laki-laki yang mensupportnya.

*Penulis adalah lulusan ilmu politik Fisip UMJ, saat ini aktif sebagai pemred di suaradewan.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed