Cerita Untuk Raisa Andriana

Mulai hari ini aku akan melupakanmu dan mengingatmu sekali-kali saja. Secukupnya. Itu jauh lebih baik dari apapun aku kira. Tapi kalau bisa malah sebelum aku selesai menuliskan ini, bagaimana? Kamu sepakat? Tidak? Baiklah, tapi ada yang mesti kamu tahu: semua ini bukanlah perkara mudah.

Barangkali aku akan seperti dalam puisi Saut Situmorang: seseorang yang akan mencintaimu dengan cinta yang pernah kecewa. Lalu entah apa bisa menjalani cinta selanjutnya? Ini semua pilihan kita. Kecewa adalah akibatnya.

Ketika menulis ini aku senyum-senyum sendiri asal kamu tahu. Mengkhayal memang sebegini menyakitkan. Menerima kenyataan bisa begitu menyedihkan. Melupakanmu adalah caraku pura-pura merayakan kebahagiaan. Tenang, aku tidak akan mengingkari semua ini. Percayalah seperti ketika aku dan kamu, dulu, kalau hujan pasti berhenti sebelum kita sampai dan kita tetap menerabasnya. Hujan membasahi kita. Kita sama-sama paham bagaimana menghangatkan. Namun yang selalu basah, sampai sekarang, itu kenangan.

ilustrasi (@kulturtava)

Jika pada satu hari kita (kembali) dipertemukan masih sama-sama menggenggam kecewa, kira-kira apa yang kamu lakukan? Aku sekadar menanyakan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa. Toh, jika pertanyaan itu kamu kembali tanyakan, aku juga tidak tahu mesti menjawab apa.

Baca Juga:  Alkisah Garuda Dibelit Tiga Ekor Naga Di Candi Kidal

Apa diam adalah jawaban? Setidaknya jawaban terbaik sebelum keliru yang diikuti banyak alasan.

Atau, barangkali jawaban adalah pertanyaan itu sendiri?

Aku ingin jadi penyair. Penyair yang baik, yang bisa mengindahkan perpisahan; menenggelamkan kesedihan. Penyair yang bisa merayakan perpisahan dengan membuat luka baru. Penyair tidak takut gelap. Yang jauh ditakuti penyair justru kebahagiaan. Walau berpisah denganmu tidak pernah sekalipun terpikirkan.

Tidak perlu kamu heran. Konon memang begitu jalan penyair. Aku sudah siap setelah ini. Kamu juga. Kelak, kita akan bersama dalam puisi-puisi panjang yang aku tuliskan. Itu maksudku!

Tak ada yang abadi, tentu, tapi ingatan setidaknya bisa hidup kekal dalam kenangan. Lewat hujan, senja atau kekecewaan yang kita berusaha relakan.

Semestinya aku sudahi cerita ini. Sebab semakin aku berusaha terus menulisnya, semakin aku susah melupakanmu. Tenggelam dalam kata-kata, tersedak oleh kenyataannya. Tapi, toh aku sedang berusaha mencoba kehilangan dan ditinggalkan. Karena tidak mungkin aku meninggalkan. Aku akan berjuang dan berjuang seadanya. Sekuat-kuatnya tersiksa.

Baca Juga:  Kolong Rel

Melupakanmu adalah kebodohan. Seperti menghindar dari bayangan! Apa bisa? Bahkan tempat paling gelap sekalipun.

Sesudah ini akan tiba satu masa: malam-malam yang sudah tua usianya datang menemuiku dan membolak-balik kenangan. Meski terlihat aneh, pada saat itu datang, aku ingin bersembunyi saja di kamar. Mengurung diri. Menemani sepi. Sambil meretapi kesesalan ini, mengumpat dalam hati. Setelah semua itu usai, aku akan keluar lewat jendela saja. Bukan lewat pintu. Aku takut ada yang tertinggal di sana dan (kembali) mengingatmu. Dari jendela, aku bisa langsung keluar rumah lewat pekarangan belakang dan melompat dinding pagar. Aku akan terus berlari sejauh mungkin mencari taman yang tidak dihiasi bintang-bintang. Tidak juga bulan. Aku ingin tertidur di bawah pohon besar yang rindang dan menjauhkanmu dari mimpi-mimpi malamku.

Mulai hari ini aku akan melupakanmu dan mengingatmu sekali-kali saja. Secukupnya. Kalau bisa.

Perpustakaan Teras Baca, 3 September 2017
Puisi Saut Situmorang yang dimaksud: “Hujan dan Memori”

[btn url=”https://www.suaradewan.com/cerita-untuk-raisa-andriana/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed