Oleh : Lukman Hakiem *
Belakangan ini “toleransi” menjadi kosa kata yang sangat populer. Terutama sejak muncul sebuah kelompok yang mendaku paling toleran sembari menganggap siapapun yang tidak sependapat dengan kelompok itu: intoleran.
Mereka terlihat bersemangat mengajak semua orang untuk bertoleransi. Semangat itu terlihat saat mereka berkegiatan di Palembang. Bersamaan dengan ritual membakar lilin, terdengar alunan adzan Isya dari Masjid Agung. Jangankan hening sejenak untuk mendengarkan panggilan shalat Isya itu, para pengklaim toleransi itu malah ramai-ramai berteriak: “Huuu…!”
Rupanya toleransi sudah mengalami perubahan makna yang sangat ekstrim dan radikal!
Bala tentara keselamatan
Setelah selesai Muktamar I Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada pekan pertama November 1968 di Malang, Ketua Umum Parmusi Mr Mohamad Roem (1908-1983) diminta menyampaikan kuliah Subuh di sebuah masjid.
Dalam dialog, seorang peserta bertanya: “Bolehkah saya memasang di depan rumah saya sendiri papan atau plang bertuliskan ‘Ini Rumah Keluarga Islam’.”
Roem heran mendapat pertanyaan seperti itu. Bukankah identitas kemusliman itu sebaiknya dipahatkan di dalam kalbu, dan diejawantahkan dengan perbuatan? Mengapa harus berpayah-payah menuliskannya di tembok atau di papan?
Rupanya di Malang pada saat itu sedang marak aksi para propagandis dan missionaris Nasrani bernama “Bala Tentara Keselamatan” mendatangi rumah-rumah keluarga Muslim.
Mereka datang pagi hari saat ayah –kadang-kadang juga ibu– sedang bekerja di luar rumah, dan anak-anak sedang bersekolah.
Saat rumah sedang ditunggui oleh pembantu dan anak yang masih kecil itulah, missionaris Nasrani datang, sehingga si pembantu rumah tangga tidak mampu menolak hadiah kitab Injil dan buku-buku Nasrani lainnya.
Aksi missionaris itu ternyata tidak hanya terjadi di Malang. Mereka juga beraksi di Jakarta, dan mendatangi rumah Roem.
Seperti tabiat orang Indonesia pada umumnya, Roem segan menolak tamu, walaupun tetamu itu tidak dikenal dan tidak diundang.
Pejuang-perunding itu mempersilakan sang missionaris masuk, mempersilakan duduk, menyuguhi teh, dan menemaninya ngobrol. Sesudah menerima Injil dan beberapa buku Nasrani, Roem berpura-pura ada kegiatan lain sehingga sang missionarispun pamit. Dengan sikap seperti itu, Roem merasa sudah melaksanakan toleransi.
Toleransi yang tidak perlu
Lama kelamaan Roem berpikir, benarkah yang dilakukannya itu bentuk dari toleransi? Ketika berkunjung ke Belanda, bekas Menteri Dalam Negeri itu menceritakan pengalamannya itu kepada temannya, seorang penganut Katolik. Mantan Menteri Luar Negeri itu bertanya kepada sahabatnya apakah di Belanda ada kegiatan missionaris yang berkunjung dari rumah ke rumah?
Sahabat Roem itu menjawab lugas, tidak ada kegiatan seperti itu di Belanda. Jikapun ada, pasti tidak akan diterima, apalagi diajak minum teh.
Sepulang dari Belanda, mantan Wakil Perdana Menteri itu tidak lagi melaksanakan toleransi yang tidak perlu. Missionaris dan propagandis Nasrani cukup diterimanya di pintu pagar. Dengan cara itu, Roem merasa hanya kehilangan waktu beberapa menit saja. Tidak kehilangan waktu setengah jam lebih seperti sebelumnya.
Kelompok Cibulan
Di awal Orde Baru, ada sekelompok aktivis dan cendekiawan yang secara rutin menyelenggarakan diskusi. Pemerakarsa dan pengundang diskusi ini ialah Anwar Harjono, Deliar Noer, TB Simatupang, Rosihan Anwar, Tandiono Manu, Listio, dan Bachar Mu’id.
Tokoh-tokoh yang diundang diskusi oleh ketujuh pemerakarsa, baik sebagai narasumber maupun sebagai partisipan, memperlihatkan spektrum yang sangat luas. Hal itu terlihat dari nama-nama berikut: Mohamad Roem, Harsja W. Bachtiar, Alfian, Ny Sri Widojati Wiratmo Sukito, Sajidiman Surjohadiprodjo PD Latuihamallo, Melly G Tan, VB Da Costa, Adnan Buyung Nasution, SAE Nababan, Nurcholish Madjid, Ridwan Saidi, Nono Anwar Makarim, Ida Bagus Mantra, Zamroni, Sutan Takdir Alisyahbana, Dick Hartoko, Harun Nasution, Aristides Katopo, dan Mochtar Lubis.
Meskipun pemerakarsa, narasumber, dan partisipan diskusi ini sangat luas spektrumnya baik dilihat dari sudut politik, agama, profesi, gender, dan lain-lain, kelompok ini tidak pernah menyebut dirinya sebagai “kelompok lintas agama”, “kelompok pluralis”, atau “kelompok Bhinneka Tunggal Ika”.
Karena kelompok ini rutin menyelenggarakan diskusi di Cibulan, Bogor, maka kelompok diskusi yang bergengsi inipun cukup menamakan dirinya sebagaj “Kelompok Diskusi Cibulan”.
Waktu Roem ikut Diskusi Cibulan, tokoh Partai Masyumi itu menceritakan peristiwa yang dialaminya didahului dengan kalimat: “Saya sekarang sudah menjadi kurang toleran.”
*Penulis adalah Wakil Ketua Majelis Pakar Bidang Hukum dan Perundang-undangan DPP PPP
Sumber: Republika