Perempuan Muda dan Panggung Politik Indonesia

Oleh : Deni Gunawan*

Indonesia pernah memiliki seorang presiden perempuan bernama Megawati Soekarno Putri, anak kandung dari mendiang  Presiden pertama, Soekarno. Meski jabatan kepresidennya itu sendiri didapat dari proses politik yang pelik di mana ia diangkat sebagai presiden menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan oleh MPR atas tuduhan korupsi.

Terlepas dari soal politik tersebut, yang jelas Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, dan tentu ini adalah salah satu sinyal penting dalam perjalanan bangsa Indonesia terkait kesetaraan dalam ranah politik. Hal ini mafhum, sebab dalam sejarah perpolitikan Indonesia, perempuan hampir tidak pernah mendapatkan tempat khusus. Sekalipun diberikan, kebanyakan hanya sebagai bumbu pelengkap perpolitikan Indonesia saja, yang notabene didominasi kaum lelaki.

Proses seorang Megawati (perempuan) menjadi pemimpin di negeri ini sebelumnya tidaklah mudah, saat pemilu pertengahan tahun 1999 pasca reformasi, isu mengenai perempuan tidak boleh menjadi pemimpin menjadi sangat kuat. Akibatnya, Megawati yang dalam hal ini adalah calon dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai terbesar pemenang pemilu kala itu, menjadi sasaran tembak lawan politiknya dan didukung oleh agamawan konservatif, khususnya di kalangan Islam, bahwa perempuan haram menjadi pemimpin.

Faktanya, ia kalah dan tidak terpilih menjadi presiden pada pemilu tersebut, yang pada akhirnya dimenangkan oleh sahabat seperjuangannya, Abdurrahman Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Patut diingat bahwa, sejak lengsernya Soeharto sebagai presiden Indonesia, rakyat disibukkan dengan agenda proyek nasional berskala besar; penciptaan “Indonesia Baru”. Di sini, kaum perempuan sejatinya turut memainkan peranan penting dalam mendesak Soeharto untuk turun. Mulai dari berbagai demonstrasi yang berkali-kali dilancarkan kaum ibu, professional perempuan, mahasiswa, dan aktivis; tuntutan sejumlah akademisi perempuan agar Soeharto turun dari jabatannya; hingga Megawati sebagai simbol berbagai akibat buruk kekuasaan eksekutif tanpa batas. Untuk pertama kalinya, setelah lebih dari tiga dekade, kaum perempuan turun ke jalan. Seperti halnya anggota masyarakat lainnya, mereka pun akhirnya sadar; kekuasaan politik, apalagi yang diselewengkan, berakibat langsung pada kehidupan mereka (Julia: 2012).

Baca Juga:  Pemilih Muda Butuh Pendidikan Politik Pancasila

Kenyataannya, meski perempuan terlibat dalam proses politik kala itu, perempuan dan isu perempuan seakan dipaksa menyingkir dan hanya menjadi latar belakang dalam tata “Indonesia Baru”. Menurut Julia, meski perempuan berperan penting dalam gerakan menurunkan Soeharto, perempuan dan isu perempuan terkesampingkan dalam proses transisi politik selanjutnya. Bagi Julia, hal ini disebabkan bawaan masa lalu, namun juga diakibatkan berbagai isu signifikan politik kontemporer.

Pertama isu yang sifatnya simbolis pasca turunnya Soeharto membuat perempuan dan isu perempuan terkesampingkan, kedua penolakan perempuan menjadi pemimpin negara “Islam”, meski kenyataanya, penolakan ini adalah permainan politik belaka. Toh pada akhirnya Megawati sebagai simbol perempuan Indonesia pernah menjadi presiden Indonesia tanpa ketegangan politik yang berarti. Ini artinya bahwa perempuan pada dasarnya diterima sebagai pemimpin asal menguntungkan secara politik.

Julia misalnya, menjelaskan bahwa pemahaman keperempuanan di Indonesia banyak ragamnya, tergantung suku, kelas sosial dan agama. Meskipun demikian secara umum, perempuan selalu pertama-tama dan terutama diharapkan menjadi ibu dan isteri. Kemampuan mereka selalu dinilai dalam tataran keberhasilan mereka mengelola rumah tangga. Pemahaman tentang kodrat seringkali dimunculkan sebagai pembenaran kesesuaian laki-laki dan perempuan dalam tugas-tugas yang berbeda.

Ini kemudian dikonstruksikan oleh berbagai argumen biologis dan reduksionis dengan tujuan agar pemahaman ini tetap mapan, bahwa perempuan harus di rumah. Sialnya, hal ini juga diamini oleh mayoritas pemeluk Islam (agama mayoritas) dalam tafsiran sebagian besar pemeluknya tentang perempuan dan juga paham-paham tradisionalis kebanyakan suku di Indonesia, terkecuali Minangkabau —misalnya di Jawa, perempuan disebut sebagai “konco wingking” (teman di belakang).

Hal tersebut tidak hanya mendiskriminasi perempuan dalam wilayah domestik saja, akan tetapi hal tersebut juga berlanjut pada ruang publik. Secara tradisional, wilayah pengambilan keputusan bagi perempuan adalah di rumah tangga, dan partisipasi dalam kehidupan publik membawa mereka ke ranah yang berbeda (Julia: 2012). Praktis pasca Megawati sebagai presiden, tidak ada lagi perempuan yang tampil dalam ruang-ruang politik untuk menampilkan dirinya sebagai calon presiden atau pimpinan partai. Nyatanya bahwa Megawati satu-satunya perempuan yang mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilu 2004 dan 2009 meski pada akhirnya kalah. Hal yang memprihatinkan adalah setelahnya, praktis pada pemilu 2014 tak ada satupun calon presiden dari perempuan.

Baca Juga:  13 Tahun Munir : Munir Terus Hidup Tak Pernah Tiada

Namun, angin segar masih dapat dihirup bahwa perempuan Indonesia masih mau dan sadar akan peran politiknya dalam berbangsa dan bernegara ini, dan Negara masih memberikan tempat pada perempuan, ini terlihat dari susunan kabinet Jokowi-Jusuf Kalla yang banyak mengakomodir menteri dari kalangan perempuan. Meski hal ini tidak bisa menghilangkan begitu saja diskriminasi sana sini terhadap perempuan di ruang publik.

Masih segar juga ingatan kita, bahwa ada yang menggembirakan dari politik Jakarta kemarin lalu dalam pemilihan Gubernur dan Wakilnya, terdapat seorang perempuan yang dicalonkan sebagai wakil Gubernur bernama Sylviana Murni berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono, meski pada akhirnya tetap kalah. Tentu hal ini menjadi preseden yang baik bagi perjalanan politik perempuan Indonesia di ruang-ruang publik guna menutupi kekurangan dan borok sana sini dari tradisi diskriminasi yang terjadi.

Di sisi lain, jika pembaca belakangan ini aktif di dunia maya, terutama twitter, beberapa belakang ini dunia maya disuguhkan dengan perdebatan gadis muda Tsamara Amani dengan politikus senior Fahri Hamzah terkait persoalan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tsamara dalam twit-twittnya terhadap Fahri Hamzah, yang ia sendiri sebut sebagai twittwar, telah membawa dirinya pada satu popularitas khusus di jagat maya, bahkan dalam beberapa kesempatan ia tampil di telivisi sebagai pembicara terkait sikapnya soal penolakan hak angket DPR terhadap KPK.

Baca Juga:  Gus Dur; Ketidaksepakatan dan LGBT

Gadis muda yang masih aktif sebagai mahasiswi di Universitas Paramadina Jakarta dan salah satu pimpinan partai baru (Partai Solidaritas Indonesia) secara berani mengemukakan ketidak sepakatannya terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dianggapnya keliru.

Ini terbukti dari kritik-kritiknya terhadap politikus senior yang sekaligus pimpinan DPR RI, Fahri Hamzah tersebut di twitter, terkait pernyataan-pernyataan Fahri soal angket KPK dan pemberantaran korupsi. Meskipun pada akhirnya Fahri Hamzah secara sinis menanggapi kritikan-kritikan Tsamara, bahkan Fahri menganggap Tsamara tidak selevel dengannya untuk ditanggapi, terlebih Tsamara dianggapnya hanya anak muda dari partai baru. Maksudnya tentu ingin mengatakan bahwa kritikan dari seorang perempuan, muda (anak bau kencur), dari partai baru seperti Tsamara itu tidak penting.

Pernyataan-pernyataan Fahri Hamzah ini tentu tidak memiliki relasinya sama sekali dengan kebenaran dan keabsahan suatu hal, atau dalam bahasa logika disebut fallacy (sesat pikir), sebab kebenaran sesuatu atau penting tidaknya sesuatu tidak bisa diukur dari kemudaan, gender, seks ataupun kebaruan sesuatu itu sendiri, dan Tsamara telah menjawab segala fallacy Fahri Hamzah itu dalam dua buah esai yang dibuatnya kemudian, “Anak Bau Kencur, Fahri Hamzah, dan KPK” serta “Sesat Pikir Fahri Hamzah”.

Jika Tsamara konsisten terhadap pandangan politiknya yang sekarang ini —sebagaimana Fahri Hamzah juga mengingatkan dalam mention twitter nya ke Tsamara, bahwa jagad politik adalah wilayah “nista” karena itu mesti wasapada karena tak mudah, atau dalam bahasa Soe Hok  Gie “Lumpur-lumpur kotor”— tentu akan ada jalan terang bagi percaturan politik perempuan Indonesia di republik ini, termasuk cita-citanya menjadi Gubernur DKI 10 tahun lagi. Tsamara hanyalah contoh, dan tentu masih banyak lagi perempuan muda yang diharapkan mau ikut terlibat dalam soal-soal politik seperti ini, termasuk perjuangan terhadap perempuan dan isunya yang didiskriminasi.

 * Penulis adalah Koordinator Kaderisasi dan Intelektual PC PMII Jaksel, serta penggemar buku filsafat,  mistik dan ilmu-ilmu sosial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *