Kartini Masa Kini: Perempuan Melek Politik

Oleh: Mutya Gustina*

Sebagai manusia yang dilahirkan menjadi perempuan, menjadi penggerak dan pelaku perubahan adalah hal yang terus diusahakan dalam setiap langkah dalam semua lini kehidupan. Ketidaktahuan, ketidakberdayaan dan pemiskinan perempuan selama ini telah menempatkannya sebagai second person dalam banyak aspek pembangunan bangsa.

Jumat (20/4), saya bersama perwakilan pimpinan organisasi masyarakat dan organisasi kepemudaan se-Indonesia hadir dalam acara “Deklarasi Anti Politik Uang dan Politisasi SARA” yang diadakan oleh Bawaslu RI. Momentum ini dimaknai sebagai komitmen negara untuk melibatkan masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan pemilu, terutama pada pilkada 2018 dan pemilu 2019 mendatang. Dalam identifikasi masalah pemilu, muncul beberapa kelompok rentan yang menjadi objek politik uang dan politisasi SARA yaitu: perempuan, masyarakat adat, disabilitas, pemuka agama, dan kelompok muda atau pemilih pemula. Berkaca pada momentum pemilu legislatif tahun 2014, DPT perempuan yang mencapai 93.147.643 orang hanya mampu terwakili oleh 97 orang atau setara dengan 17,32 % dari total jumlah anggota DPR RI. Angka ini berkurang dari periode sebelumnya, sekali lagi kuota affirmative action belum terpenuhi.

Baca Juga:  13 Tahun Munir : Munir Terus Hidup Tak Pernah Tiada

Momentum pemilu merupakan momentum politik yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Perempuan maupun laki-laki memberikan hak pilihnya untuk menentukan arah pembangunan bangsa. Akan tetapi masalahnya, dalam setiap momentum politik perempuan sering menjadi salah satu objek yang rentan mendapatkan tekanan atau intervensi serta tidak bebas dalam menentukan pilihan politiknya. Hal tersebut disebabkan salah satunya oleh peran budaya patriarki yang telah menempatkan perempuan pada keterbatasan informasi atau secara lebih umumnya pendidikan. Politik kerap kali dianggap sebagai dunia laki-laki dan suara perempuan hanya diperlukan saat politik elektoral semata yang itupun masih sarat dengan politik uang.

Bersamaan dengan persoalan yang saya paparkan diatas, bahwa tanggal 21 April dirayakan sebagai hari Kartini. Kartini merupakan salah satu sosok perempuan yang menjadi pemantik semangat bagi gerakan perempuan untuk melawan segala bentuk ketertindasan. Keteguhannya memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pendidikan, salah satunya untuk bisa membaca dan menulis telah mampu menginpirasi banyak perempuan, termasuk saya pribadi.

Perjuangan Kartini, telah melahirkan banyak perempuan hebat dalam segala bidang, beberapa dari mereka telah mampu hadir dalam ruang-ruang politik baik legislatif, eksekutif, yudikatif maupun pimpinan partai politik yang telah berperan aktif dalam pembangunan bangsa.

Baca Juga:  Nusron Wahid antithesis NU

Akan tetapi bahwa masih ada persoalan pelik hari ini juga tidak bisa dinafikkan. Salah satunya adalah bahwa tingkat pendidikan perempuan di Indonesia masih sangat rendah, sehingga perempuan sering menjadi korban atau objek yang dimanfaatkan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu dan hal ini juga terjadi dalam momentum pemilu. Perempuan mengalami ketidakbebasan dalam menentukan pilihan politiknya. Alasannya adalah, pertama, keterbatasan pengetahuan perempuan tentang politik. Pengetahuan politik perempuan mempengaruhi konsepsi pemikiran atas dasar apa perempuan menentukan pilihan politiknya. Kedua, adanya konstruksi sosial yang terbangun dalam institusi keluarga tentang ketidakserataan relasi yang bisa memunculkan pemaksaan dalam memberikan hak pilih, misalnya istri mengikuti pilihan suami, anak perempuan mengikuti pilihan keluarga atau lainnya. Jika terjadi pembiaran, hal ini akan mengikis peran perempuan dalam menciptakan demokrasi yang berkualitas.

Sebab itu, semangat perjuangan Kartini untuk permasalahan hari ini masih sangat relevan. Semangat Kartini adalah semangat perlawanan dan perjuangan memperoleh akses pendidikan yang sama dan berkeadilan. Pun jika hari ini kita maknai hari Kartini sebagai semangat untuk mencerdaskan pilihan politik perempuan. Perempuan harus memiliki kemerdekaan dalam menentukan pilihannya, karenanya perempuan harus memiliki pengetahuan tentang politik, khususnya tentang bagaimana menentukan pilihan politik yang cerdas dan bebas tanpa intervensi atau tekanan. Mari membangun proses pemilu yang berkualitas dengan gerakan perempuan melek politik dan pemilih perempuan cerdas.

Baca Juga:  Mengawal Sepuluh Komitmen Kader HMI

Jakarta, 21 April 2018

*Penulis adalah  Sekretaris Umum KOHATI PB HMI Periode 2018-2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *