Raja Salman Berfikir “Out of the Box”

Oleh: Mulawarman Hannase*

Sejak kedatangan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud pada hari rabu 1 Maret yang lalu, hampir semua pemberitaan di tanah air, baik media cetak, elektronik dan media sosial memusatkan perhatiannya pada peristiwa yang bersejarah ini. Kunjungan ini begitu monumental dan bersejarah bagi kedua negara karena merupakan kunjungan kedua orang nomor satu di negeri asal kelahiran Islam yang sebelumnya terjadi 47 tahun silam.

Yang menarik dari kunjungan Raja Saudi adalah kedatangannya membawa rombongan dengan jumlah yang cukup besar, sekitar 1.500 orang dan mengahabiskan waktu selama 9 hari. Tentunya, ini adalah sebuah kehormatan bagi bangsa Indonesia yang begitu mendapatkan perhatian besar dari negeri penghasil minyak terbesar di dunia tersebut. Tidak tanggung-tanggung, orang-orang yang dibawa sang raja merupakan orang-orang penting yaitu para menteri, para pangeran dan pejabat-pejabat tinggi di lingkungan kerajaan.

Di sini perlu diberikan catatan bahwa jumlah besar rombongan Raja Salman yang diboyong ke Indonesia merupakan sebuah potret perbedaan gaya kepemimpinan antara negara yang menganut sistem pemerintahan monarki dan negara yang menggunakan sistem demokrasi terbuka. Kegiatan sang Raja yang melakukan kunjungan sekaligus berlibur dengan rombongan yang sangat besar dan dalam waktu yang cukup panjang disertai fasilitas yang super mewah tidak akan diprotes oleh masyarakatnya. Bagi masyarakat Saudi, itu sah-sah saja dilakukan sang Raja beserta orang-orang kerajaan dan bukanlah sebuah penghianatan terhadap amanat rakyat. Tetapi, dapat kita bayangkan ketika kunjungan semacam ini dilakukan oleh seorang Presiden di negara demokrasi seperti Indonesia. Pastinya, sang presiden akan menuai protes besar-besaran dari seluruh lapisan masyarakatnya. Bahkan, bisa-bisa itu menjadi catatan kelam bagi penguasa dan menjadi alasan kuat untuk tidak dipilih lagi pada periode berikutnya.

Mencari Mitra Baru

Tidak berbeda dengan otoritas seorang kepala negara di negara demokrasi, seorang Raja Salman yang merupakan pemegang pucuk kepemimpinan di Kerajaan Arab Saudi (Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Saudiyyah) juga memegang semua otoritas pemerintahan termasuk otoritas politik, ekonomi dan keamanan negara. Nah, kalau kita cermati, kedatangan sang raja ke Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia tidak lepas dari tiga unsur kepentingan tersebut.

Dari perspektif geopolitik, khususnya di Timur Tengah, Arab Saudi saat ini menghadapi masalah politik regional yang cukup serius. Meskipun Arab Saudi tidak terdampak langsung dengan revolusi Arab Spring seperti Mesir, Libya, Suriah, Yaman dan lainnya, namun ancaman terhadap kondisi politik dalam negerinya sangat besar. Kita tahu bahwa gejolak politik yang terjadi di Yaman dan konfik Suriah sampai saat ini, merupakan persoalan yang sangat merepotkan Arab Saudi. Demi menjaga stabilitas politik dalam negerinya dari ancaman pengaruh konflik di negara tetangga, Arab Saudi terpaksa membangun Aliansi Arab untuk melawan kelompok-kelompok oposisi di negara-negara tetangganya tersebut, terutama Yaman dan Suriah. Konstalasi inilah yang sangat memusingkan Arab Saudi karena distabilitas keamanan regional begitu mengancam keamanan nasionalnya.

Baca Juga:  Berselancar Sripanggung Kontroversi

Yang paling dikhawatirkan Arab Saudi dari memuncaknya konstalasi konflik regional adalah keterlibatan Iran dalam konflik tersebut yang mempunyai ambisi untuk mendominasi secara politis dan ideologis di Timur Tengah. Kalau Iran berhasil menancapkan dominasi politiknya di Timur Tengah dan dunia Islam, maka secara otomatis akan mendorong meluasnya perkembangan ideologi Syi’ah di wilayah mayoritas Sunni tersebut. Bagi Arab Saudi, Iran adalah ancaman terbesar yang dihadapi. Arab Saudi pun yakin bahwa menghadapi Iran tidak bisa dilakukannya sendiri.

Meskipun tidak disampaikan secara gamblang tujuan politik Arab Saudi ke Indonesia, namun dapat dibaca bahwa Arab Saudi menyadari perlunya membangun hubungan politik kuat dengan semua negara-negara Islam, apalagi negara Islam terbesar dunia seperti Indonesia. Dengan relasi politik yang kuat tersebut, Arab Saudi seakan ingin memperlihatkan kepada dunia, terutama seterunya di Timur Tengah, bahwa negaranya tidak lagi eksklusif, tetapi sudah terbuka dan merangkul semua komunitas Islam seluruh dunia.

Sedangkan dalam konteks ekonomi, penulis hanya memberikan sedikit catatan penting bahwa negara Arab Saudi di bawah kepemimpinan Raja Salman saat ini melakukan perubahan paradigma dalam membangun strategi ekonominya. Saat ini, Arab Saudi mengupayakan kemandirian ekonomi dengan berbagai kebijakan baru seperti mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk konsumsi dalam negerinya. Saudi juga sekarang ini tidak hanya menjual minyak mentah tetapi berupaya untuk mengelolanya dengan membangun kilang untuk diproduksi dan kemudian dijual. Kebijakan inilah yang mencoba direalisasikan sehingga Saudi melakukan penjajakan investasi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa nota kesepahaman yang telah ditandatangani kedua belah pihak di Istana Bogor awal Maret ini. Kita bisa membaca bahwa Arab Saudi dibawa komando Raja Salman lebih inklusif dari sebelumnya khususnya terhadap negara-negara penting di Asia.

Tidak salah kalau Raja Salman mencoba mengalihkan sedikit arah aliansi politik ekonominya ke negara besar Asia seperti Indonesia. Apalagi, Arab Saudi termasuk negara yang merasa tidak nyaman dengan retorika dan kebijakan Donald Trump yang kontraversial dan terkesan anti Islam. Arab saudi pun mencoba mencari mitra baru selain Amerika, meskipun hubungan ekonominya telah terjalin dengan negeri Paman Sam tersebut sejak lama.

Dalam konteks ini, diliriknya Indonesia merupakan sebuah pembuktian bahwa Indonesia saat ini adalah negara yang sangat penting. Negara-negara besar, terutama di Asia seperti Tiongkok, Arab Saudi dan lainnya semuanya telah membuka matanya betapa besar potensi politik dan ekonomi yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu, segenap nota kesepakatan ekonomi dalam momentum kehadiran Raja Salman di Indonesia harus bisa ditindak-lanjuti dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah harus memanfaatkan momentum ini dan bermitra untuk semata-mata memperjuangkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya.

Baca Juga:  Narasi Tak Bertuan; Ekspose Kemiskinan Jakarta

Pluralisme

Indonesia sendiri merupakan negara yang sangat terbuka negara-negara Timur Tengah. Kita saksikan saat ini bahwa Indonesia terus menjalin hubungan baik dengan semua negara-negara besar Timur Tengah termasuk Iran, Mesir, Turki apalagi Arab Saudi. Kalau dicermati, negara yang paling gencar melakukan sosialisasi ideologi dan kampanye budaya ke Indonesia adalah Iran dan Turki. Kedua negara ini seakan berkompetisi dalam mengkampanyekan ideologinya masing-masing dengan berbagai media dan cara. Saat ini, dapat kita temukan di negeri ini banyaknya lembaga-lembaga yang berbau Iran dan Turki. Begitu pula kegiatan-kegiatan keilmuan seperti seminar dan simposium dilaksakan di kampus-kampus dan lembaga penelitian disponsori kedua negara ini.

Di tengah gencarnya gempuran budaya Iran dan Turki di Indonesia, dimana posisi Arab Saudi dan Arab secara umum? Apakah kedatangan Arab Saudi ada niatan untuk mengeliminasi penetrasi budaya Iran dan Turki yang sangat gencar tesebut? Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ideologi keagamaan “salafisme” di Indonesia juga berlansung pesat setidaknya satu abad terakhir. Lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan yang bernuansa “salafi” di Indonesia cukup banyak. Namun, dalam dua dekade terakhir, kampanye ideologi yang dilakukan oleh Iran dan Turki lebih massif dan sitematis dibanding Arab Saudi. Selain itu, ada perpedaan antara pola yang dilakukan Iran, Turki dan Arab Saudi. Aktor-aktor Turki dan juga Iran banyak terjun langsung melakukan berbagai kegiatannya di Indonesia. Sedangkan Kegiatan dakwah kelompok “salafi” lebih banyak dilakukan oleh orang Indonesia sendiri yang berafiliasi dengan faham tersebut.

Selanjutnya, apakah Raja Salman dan orang-orang kerajaan menganut ideologi dan praktek keagamaan yang keras dan fanatik seperti yang dilkukan oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia saat ini?

Banyak pengamat di Timur Tengah menilai bahwa seorang Raja Salman, secara praktek keagamaan cenderung moderat. Mari kita coba konfirmasi penilaian ini dengan apa yang ditampilkan oleh Raja Salman dan rombongannya. Kalau kita melihat simbol-simbol yang ditampakkan oleh rombongan kerajaan yang begitu besar dalam lawatannya ke Indonesia, kita tidak melihat adanya artikulasi keagamaan yang kaku dan tekstual. Lihat saja misalnya cara berpakaian sang Raja dan gestur tubuhnya. Jenggotnya tidak panjang dan pakaiannya pun nampak tidak di atas mata kaki. Bahkan beberapa anggota keluarga kerajaan pun tidak pakai hijab. Apakah ini melanggar sunnah Nabi? Inilah yang menarik dari praktek keagamaan keluarga kerajaan Arab Saudi. Raja Salman sendiri dalam pidatonya di depan Palermen Indonesia menegaskan bahaya dari fanatisme pemahaman agama.

Baca Juga:  PILKADA BRUTAL! (Surat Terbuka Chusnul Mar'iyah)

Apakah ada kekhususan bagi keluarga Raja yang menjustifikasi perbedaan praktek keagamaannya dengan para ulama, sehingga ulama-ulama Saudi pun tidak ada yang berani mengritik dan membid’ahkan praktek keagamaan keluarga raja tersebut. Seharusnya kalau itu salah, tetap harus diluruskan, karena dalam Islam tidak dikenal kelas masyarakat khusus dan kemulian manusia antara satu dengan yang lainnya tidak dibedakan kecuali berdasarkan ketakwaannya.

Yang paling spektakuler dari kunjungan Raja Salman berkaitan dengan artikulasi nilai-nilai ajaran agama adalah ketika ia menyeru untuk menyatukan barisan (tauhid as-Shaff) dalam memerangi pemahaman ekstrimis, radikalisme dan aksi-aksi terorisme. Dengan tegas Ia mengajak Indonesia untuk berkolaborasi dalam membangun peradaban Islam damai, sebagaimana disampaikan dalam pidatonya di gedung Parlemen Republik Indonesia. Dia bahkan mengakui bahwa pemikiran kelompok garis yang cenderung mengarah pada aksi-aksi kekerasan merupakan musuh bersama ummat Islam saat ini.

Patut diapresiasi dan menjadi pelajaran berharga bagi ummat Islam di negeri ini bahwa Raja Salman berserdia bertemu dan berdialog dengan 28 tokoh pemuka agama yang berbeda. Bahkan, sang Raja pun mengungkapkan kekagumannya dengan model kehidupan toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia. Ini adalah sebuah pesan berharga yang disampaikan oleh sang Raja sekaligus menegaskan bahwa dirinya adalah seorang moderat.

Dari pemaparan di atas, setidaknya bisa disimpulkan bahwa ada dua pandangan Raja Salman sehingga bisa dikatakan ia berfikir dan bertindak “out of the box”. Pertama, kebijakannya yang memulai mencari mitra politik ekonomi baru selain Amerika Serikat, sebuah terobosan yang tidak didapatkan dari Raja-Raja sebelumnya. Kedua, ketegasannya dalam memperjuangkan pluralisme, toleransi dan anti fanatisme agama, sebuah cara pandang yang jarang dikampanyekan oleh penguasa-penguasa Saudi sebelumnya. Bahkan, cara pandang ini cenderung berbeda dengan mainstream pemikiran tokoh-tokoh, ulama dan masyarakat Saudi saat ini.

Sekali lagi, perlu untuk dipertegas kembali bahwa Islam indonesia merupakan model Islam yang dibutuhkan peradaban dunia saat ini. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak selalu merawat NKRI dan Pancasila sebagai asas perjuangan bangsa, sekaligus mempertahankan pluralisme, multikulturalisme dan toleransi kehidupan umat beragama yang menjadi kebanggaan kita selama ini.

*Penulis adalah Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah (PSATT) Indonesia, Dosen Pascasarjana Institute PTIQ Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *