Oleh: Hendri Satrio
Analis Komunikasi Politik (Direktur KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia)
MASIH segar di ingatan saya saat Juli 2014 Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla menjadi pemenang pada perhelatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019.
Pasangan ini unggul 6,3 persen dari lawannya, Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Saat itu Jokowi-Jk mampu meraih 53,15 persen suara, sementara Prabowo-Hatta hanya 46,85 persen.
Jokowi-JK dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden 20 Oktober 2014. Seiring berjalannya waktu, saat ini Jokowi bersiap untuk mengulang sejarah Presiden ke 6 Indonesia, SBY untuk memperpanjang kepemimpinannya menjadi 2 periode bila dirinya lolos dari evaluasi rakyat dan menang pada Pilpres yang pencoblosannya dilaksanakan 17 April 2019 kelak.
Jokowi Vs Prabowo Lagi
Tadinya saya sempat memperkirakan pertarungan ulang yang membosankan di Pilpres 2019. Tapi ternyata sejak ditetapkan Agustus 2018 lalu sebagai Capres pertarungan kedua tokoh ini sangat menghibur meski juga sangat receh.
Iya receh, mirip perdebatan pasangan anak muda yang baru putus pacaran. Saling sindir terus terusan sambil berharap yang diseberang mendengar dan membalas sindiran itu. Nah, bila sudah dibalas sindirannya maka disiapkan peluru baru untuk dilontarkan. Begitu terus dan nampaknya dua pasangan capres cawapres itu sangat menikmati hal ini.
Apakah rakyat menikmati hal receh ini? Ya, bila mengacu pada hasil survei banyak lembaga termasuk KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) nampaknya rakyat “enjoy” aja, menikmati kampanye model begini. Buktinya, jawaban tentang keinginan berpartisipasi dalam Pilpres 2019 selalu di atas 80 persen. Nah mendidik atau tidak soal lain ini.
Jangankan rakyat pemilik suara, media konvensional dan netizen pemilik akun media sosial pun nampaknya ikut menikmati arus receh ini. Begitu ada diksi atau lontaran baru maka kemudian ramai diperbincangkan.
Contohnya? Wah banyak. Paling dekat dengan saat tulisan ini misalnya “Indonesia bisa punah” atau tantangan jadi imam Sholat untuk membuktikan tingkat ke-Islaman calon Presiden yang dilontarkan tokoh di kubu petahana.
Bagaimana responnya? Wah ramai. Tentang ‘imam salat’ misalnya, kubu Jokowi terlepas sengaja atau tidak sengaja langsung merilis klip dan foto saat Jokowi menjadi imam salat, lengkap dengan bunyi klik camera dan kilatan “flashlight”. Sementara Prabowo membalasnya dengan pengakuan yang jujur bahkan hampir seperti menelanjangi diri sendiri. Prabowo sadar bahwa ilmu agamanya belum tinggi dan mempersilakan orang lain yang berilmu lebih tinggi memimpin salat.
Rakyat bagaimana? Saya yang juga rakyat sih bingung. Baru kali ini ada kompetisi capres salah satu gimmick pentingnya “lomba” jadi imam salat. Waktu saya di sekolah dasar lomba yang terkait agama ada banyak, misalnya adzan, baca terjemahan Alquran, nasyid tapi belum ada lomba imam salat.
Bila begini terus yang paling rugi menurut saya, Jokowi, petahana. Nah, hasil kerja kan banyak yang sudah selesai, segala pencitraan juga sudah dilakukan.
Kan bisa itu dikomunikasikan lagi, tapi kalau terjebak dengan diksi yang jauh dari hasil pembangunan seperti tabok, genderuwo, sontoloyo maka rakyat lama-lama juga akan lebih sering membicarakan genderuwo dan lupa dengan tol laut. Apalagi ngomongin genderuwo lebih enak dan renyah buat bahan gaul daripada ngomongin tol laut. Walaupun banyak program yang belum selesai mestinya petahana lebih percaya diri membicarakannya daripada ikut-ikutan perang diksi dengan kubu Prabowo.
Nah, bagaimana kubu Prabowo? Kubu penantang sih lebih bebas bergerak. Bahkan mereka boleh membuat panggung sendiri tanpa harus memaksakan berada satu panggung dengan petahana. Itulah mengapa kubu Prabowo Sandi lebih bebas berkomentar misalnya saat kunjungan ke pasar.
Sandi Uno misalnya, diksi dan gayanya cukup menjadi magnet perbincangan bahkan terkadang justru petahana yang ingin tampil satu panggung dengan lawannya itu. Contoh, Sandi ke tempe, Jokowi juga ke tempe, Sandi ke pete, Jokowi juga ke pete.
Bagaimana Dengan 2019?
Banyak yang memprediksikan kedua calon ini akan sprint, berlari cepat mulai Januari 2019. Menurut saya, bukan hanya Capres Cawapres, para caleg pun demikian. Tapi, kembali ke Capres, apakah diksi receh itu tetap ada?
Saya langsung jawab, ada! Walaupun nanti 17 Januari 2019 adalah gelaran debat pertama dan suguhan program pertama kali untuk rakyat tapi sudah berkali-kali usai debat yang diperbincangkan selalu hal receh yang mudah diingat.
Kendati demikian kita harus optimis bahwa saat gelaran debat nanti Capres Cawapres bisa memberikan diksi berkualitas tapi tetap mudah diingat dan diperbincangkan. Saat 2014, kartu-kartu Jokowi berhasil unggul dan diingat bila dibandingkan dengan diksi “bocor-bocor” nya Prabowo. Pun, oke oce Sandi Uno mampu lebih diingat dan bicarakan ketimbang program lain dari AHY dan Ahok saat Pilkada Jakarta 2017 lalu.
Sesungguhnya Pilpres 2019 adalah evaluasi rakyat untuk Presiden Joko Widodo. Evaluasi ini langsung diberikan rakyat dalam bentuk suara. Bila rakyat menilai Jokowi tidak berhasil memenuhi janji kampanyenya, tidak berhasil membuat ekonomi membaik atau bahkan dinilai tidak berhasil menegakkan hukum maka rakyat tidak akan memberikan rekomendasi kepada Jokowi untuk meneruskan ke periode selanjutnya. Tapi bila berhasil maka Jokowi akan meneruskan sejarah SBY langgeng melaju ke periode ke 2.
Bila kita buka hasil survei banyak lembaga tentang kepuasan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi, maka Jokowi masih bisa mengelus dada. Rakyat yang mengaku puas masih lebih banyak dibanding yang tidak puas.
Bagi seorang Jokowi perhelatan pemilihan pemimpin selalu ajang yang ramah untuk dirinya. Jokowi belum pernah kalah sejak di Solo, Jakarta dan akhirnya menjadi Presiden. Hal ini pasti membuat pendukungnya percaya diri menghadapi pemilihan di 2019 mendatang.
Tapi sekali lagi, evaluasi dari rakyat bisa mengenyampingkan rentetan kemenangan. Sebab rakyat sering menilai keberhasilan seorang Presiden hanya dengan satu indikator yaitu perut kenyang.
Jokowi punya keunggulan sebagai petahana, maka, sudah pasti akan memanfaatkan keuntungan itu dengan membuat kebijakan-kebijakan populis seperti bantuan sosial atau peresmian-peresmian infrastruktur untuk menutup ruang gerak penantang.
Politik adalah bisnis harapan. Maka siapa yang paling dianggap mampu memberikan harapan lebih baik akan dipilih sebagai pemimpin. Jokowi kemungkinan akan tetap dengan janji nawacita sementara Prabowo memainkan isu ekonomi dan lapangan kerja dengan bumbu diksi nasionalisme bahkan memprediksi Indonesia Punah bila dirinya tidak terpilih. Nah, kita tunggu ya, siapa yang paling receh Di 2019, siapapun yang anda percaya silahkan dipilih, bukan hanya boleh tapi harus!
Siapa yang akan anda pilih itu urusan anda, hanya saja, perbedaan kubu capres sebaiknya kita selesaikan nanti saja saat dibilik suara, pilih yang anda percaya. Sebelum masuk bilik suara, kita damai-damai saja, bersahabat, tidak perlu mempersoalkan kubu sebab teman dan sahabat kita adalah yang akan langsung membantu kita bila ada kesulitan, bukan Capres-Cawapres terpilih, mereka jauh di Istana sana.
Lebih sayangi keluarga, saudara dan teman anda daripada Capres dan Cawapres anda! Selamat Tahun Baru 2019.
[btn url=”https://www.suaradewan.com/siapa-lebih-receh-di-2019/” text_color=”#ffffff” bg_color=”#000000″ icon=”” icon_position=”start” size=”18″ id=”” target=”on”]ARTIKEL ASLI[/btn]