Trump, Islamofobia, dan Benturan Peradaban

Oleh : Mulawarman Hannase*

Sosoknya begitu kontroversial. Dalam menyampaikan gagasannya, boleh dikatakan ia tampak over convidencez. Walaupun di-bully dengan kebijakannya yang kontroversial, seakan dia tidak peduli. Kelihatannya otoriter, tapi ia sungguh beruntung. Meskipun dalam survei kalah jauh, nyatanya dialah yang memenangkan pertarungan.

Begitulah kira-kira gambaran dari karakter sosok Donald Trump, presiden baru Amerika Serikat (AS) yang terpilih secara demokratis. Trump datang membawa kebijakan yang menuai protes keras publik Amerika maupun kalangan internasional.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengetengahkan beberapa kebijakan Trump yang cenderung diskriminatif terhadap komunitas Muslim baik di Amerika Serikat maupun di Timur Tengah serta konsekuensi dari kebijakan tersebut.

Dalam artikelnya yang berjudul “An Apology to Muslims for President Trump”, dimuat dalam New York Times 2 Februari 2017, seorang jurnalis terkenal Amerika bernama Nicolas Kristof meminta Presiden Trump meminta maaf kepada seluruh umat Islam khususnya di Amerika Serikat.

Permintaan maaf tersebut hendaknya dilakukan Trump atas kebijakannya yang diskriminatif melarang warga tujuh negara mayoritas Islam masuk ke Amerika Serikat. Ia menganggap bahwa Trump sesungguhnya tidak memahami persoalan dan konstelasi yang terjadi saat ini.

Baca Juga:  Armani, Inter, dan Mimpi di Kota Milan

Gesekan yang terjadi dan menyebabkan konflik dan aksi-aksi teror di mana-mana bukanlah perseteruan antara orang Islam dan non-Islam, tetapi antara kelompok moderat dan radikal di setiap kelompok beragama. Islam bukanlah cancer sebagaimana dituduhkan oleh salah seorang penasihat keamanan Trump, Mike Flynn.

Oleh karena itu, secara keseluruhan kita melihat perbedaan yang cukup signifikan mengenai respons masyarakat internasional atas terpilihnya Trump sebagai presiden baru AS dibanding dengan pendahulunya, Barack Obama.

Ketika Obama terpilih menjadi presiden AS, sebagian besar pengamat dan politisi di Timur Tengah menyambut baik dan merasakan sebuah optimisme khususnya dalam konteks hubungan dunia Barat dan Timur. Mereka mendambakan kebijakan politik baru Amerika terhadap dunia Islam yang lebih persuasif dan anti-diskriminatif.

Kita tahu bahwa rezim sebelum Obama, George W Bush ‘berjasa’ menciptakan dua perang yang menyengsarakan masyarakat Islam di Timur Tengah yaitu perang Irak dan Afghanistan. Sosok Obama dinilai bukanlah sosok yang akan membuat kebijakan diskriminatif karena ia sendiri berasal dari kelompok minoritas yang dalam sejarah Amerika kerap menjadi objek diskriminasi oleh kelompok mayoritas.

Baca Juga:  Pesan Kebangsaan untuk Rapimnas IKAMI SUL-SEL

Sosok Obama pun dinilai bisa membangun berbagai kebijakan luar negeri yang tidak anti-Islam dan lebih bersahabat dengan dunia Islam. Tidak lama setelah menjabat sebagai presiden Amerika, Obama pun mengunjungi Turki dan Mesir, dua negara yang sangat berpengaruh di Dunia Islam dan Timur Tengah.

Meskipun pada kenyataannya, retorika Obama yang ingin membangun tatanan baru di Timur Tengah yang kondusif dan bersahabat, sampai akhir masa jabatannya masih jauh panggang dari api. Berbeda dengan Obama, Donald Trump seakan telah menjadi momok bagi dunia Islam. Hal tersebut sudah terlihat sejak ia mulai melakukan kampanyenya.

Salah satu visi misi kampanye Trump yang kontroversial adalah rencana ingin menghentikan laju imigran, terutama pengungsi konflik Timur Tengah masuk ke Amerika. Sebagai wujud komitmen terhadap janjinya, berselang beberapa hari setelah dilantik (20 Januari 2017) Trump menandatangani dokumen pelarangan imigran masuk ke negeri Paman Sam termasuk dari 7 negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *