Oleh : Hersan D Nejad*
Menjelang Pemilukada diberbagai daerah di Indonesia, genderang kompetisi pasangan calon dimulai. Berbagai agenda politik dilaksanakan mulai dari silaturahmi bersama warga, sampai kampanye akbar yang dilakukan oleh setiap pasangan calon. Simpatisan dari tiap calon pun tak tinggal diam, berbagai aktifitas mereka lakukan demi memenagkan kandidat yang mereka yakini mampu mampu membawa perubahan untuk daerah yang lebih maju dan lebih sejahtera.
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, memilih seorang pemimpin harapan mereka adalah bagaimana kehidupan mereka yang sebelumnya bisa berubah menjadi lebih baik. Tentunya disinilah peran dari Paslon, Tim Pemenangan dan Simpatisan bagaimana mereka berusaha untuk menjawab masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Janji atau kontrak politik digelontarkan demi mendapat dukungan dan simpati masyarakat.
Cerminan dari suatu negara menganut Demokrasi adalah adanya politik aktif, sebagaimana guru besar demokrasi dari Indonesia Almadudi, mengemukakan bahwa demokrasi memiliki 11 prinsip, salah satu prinsip yang disebutkan itu adalah adanya pemilihan yang bebas, jujur dan adil. Berpolitik dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi merupakan hal yang lumrah bahkan menjadi konsumsi publik, namun bukan berarti bahwa hanya di negara yang menganut sistem demokrasilah politik itu diberlakukan, eksis dan aktif. Tetapi, kita akan mencoba membahas bagaimana praktek politik dinegara yang “katanya” menganut Demokrasi.
Demokrasi kita ketahui bersama pertamakali dekemukakan oleh warga AthenaCleisthenesh, karenanya dijuluki sebagai bapak demokrasi Athena. Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani (Demokratia) yang artinya kekuasaan rakyat. Sebagaimana arti dari kata demokrasi itu bahwa Kekuasaan rakyat, berarti dalam suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi yang menjadi penguasa utama, pemegang kebijakan tertinggi adalah Rakyat.
Dalam kaitannya dengan Politik, eksistensi demokrasi ditunjukkan saat menjelang Pemilihan Umum (baik Pemilihan Kepala Daerah Gubernur/Bupati/Walikota, Legislatif, dan Kepala Negara/Presiden). Pemilihan umum adalah tentang bagaimana kita bisa memilih seorang pemimpin yang bisa membawa perubahan lebih baik untuk Rakyat, Pemilihan Umum adalah langkah untuk menentukan masa depan suatu Negara atau daerah 5 tahun yang akan datang. apakah benar seperti demikian?
Amanat Undang-Undang Dasar, yang lebih spesifik diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang Hak tiap warga negara, diantaranya menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”, kemudian lebih lanjut diatur bahwasanya “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Akan tetapi tak jarang kita menemukan dalam momentum pemilihan kepala daerah atau pemilihan lain seperti yang disebutkan ditas, banyak hal-hal yang dilakukan oleh pasangan calon dan simpatisan mereka yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sehingga hal tersebut membuat kebanyakan masyarakat melihat momentum tersebut hanya suatu rutinitas 5 tahunan yang tidak berkualitas. Kekecewaan masyarakat ditunjukkan dengan sikap Apatis dengan Pemilihan Umum yang notabene untuk menentukan 5 (lima) tahun kedepan dari suatu daerah. Ini merupakan hal wajar saja sebab dalam momen Politik tersebut hal yang paling sering kita jumpai seperti adanya Backing kekuasaan sehingga munculnya gerakan-gerakan yang sifatnya intimidatif, contoh paling umum saat momentum Pilkada adanya mutasi besar-besaran dilingkup pejabat akibat bersebrangan pandangan politik.
Begitupun dengan Money Politics, bahwa sudah menjadi rahasia umum hal tersebut mewarnai momen politik yang katanya menjadi pesta demokrasi. Merupakan tanggungjawab bagi kita untuk memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat bukan memanfaatkan demi tujuan ambisi jabatan semata. Sebuah study mengungkapkan bahwa Money Politik sangat rentan dengan praktik Korupsi, hal itu disebabkan karena adanya aksi “Balik Modal” jika kelak menjabat. Tak hanya itu, Politik uang juga akan melatih masyarakat untuk berbuat curang. Masyarakat memilih bukan lagi karena hati nurani sebab telah “dibeli” demi kepentingan.
kita mengenal prinsip bebas dan jujur dalam Pemilu namun telah tercoreng oleh mereka yang berburu kekuasaan. Dimanakah nilai dari Demokrasi itu, bukti bahwa kekuasaan ada ditangan rakyat hanyalah merupakan konsep yang tertuang dalam teks mimpi yang tak pernah terlihat bagaimana wujudnya.
“Politik Balas Budi” hal ini juga sudah menjadi warna dalam setiap momentum pesta demokrasi 5 tahunan, mereka yang tergabung dalam barisan pemenangan paslon akan menduduki posisi tertentu baik dalam pemerintahan maupun non-pemerintahan. seberapa besar hal ini memberikan pengaruh dan dampak bagi tatanan pemerintahan yang kita harapkan? banyaknya pejabat-pejabat yang tidak kompetibel yang menduduki jabatan-jabatan tertentu, seperti menempatkan Pejabat pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang seharusnya sesuai dengan Kompetensi masing-masing guna untuk mendapatkan hasil yang bisa kita harapkan demi perkembangan dan pembangunan Daerah. akan tetapi hari ini justru hal itu bukan lagi menjadi pertimbangan kita bisa melihat banyak pejabat terutama dilingkup Pemerintahan yang menduduki suatu jabatan tetapi tidak sesuai dengan kompetensi.
Sepak terjang dari para politkus dan penguasa dalam berpolitik pada umumnnya, yang tampak dipermukaan adalah sebuah “permainan” ambisi, kelicikan, tipu muslihat, demi mewujudkan satu kepentingan yakni kekuasaan. setelah seseorang atau sekelompok orang memegang kekuasaan, segeralah mereka berubah menjadi opresif, keras kepala, hegemonik, otoriter demi melanggengkan kekuasaan. Begitu umum praktik seperti ini dipertontonkan diberbagai Masyarakat, Daerah, dan Bangsa, sehingga publipun tak melihat sesuatu yang lain dari politik itu. Politik hanyalah ambisi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dan setelah kekuasaan ditangan, lantas si penguasa menjadi “Fir’aun” (Politik Khomaeni/Wajah Etika Islam)
Inilah gambaran praktek politik dari negara yang katanya menganut Demokrasi, berbagai praktek kecurangan masih dilakukan demi langgengnya kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah dari rakyat melainkan wadah untuk mengais pundi-pundi demi langgengnya kekuasaan untuk mewujudkan kesejahteraan pribadi dan golongan. “Suaramu bukan lagi suara kami, teriakanmu bukan berasal dari rintihan hati kami”.
Wasiat Poltik dari Ali Bin Abi Thalib :
“Cintailah segala sesuatu yang paling dekat dengan Rakyat, paling menyeluruh dalam keadilan, dan sangat menyempurnakan kepuasaan rakyat banyak. karena kemurkaan Rakyat bisa mengalahkan keinginan kaum elite dan keinginan kaum elite dapat diabadikan oleh kehendak rakyat banyak
Nyalakan hatimu dengan kasih sayang terhadap rakyatmu, dan begitu juga perasaan cinta dan kepedulianmu terhadap mereka. Janganlah engkau bertindak seperti binatang buas yang akan melahap habis segala yang ada di depannya”
*Penulis adalah Peneliti di Leaders Center