Denny JA, Hasrat dan (Potret) Tindak Pelecehan

Oleh: Shiny.ane el’poesya

Kamis (25/01), sore lalu, tersebar di media sosial video seorang pasien perempuan berumur 30 tahun tengah menangisi harga dirinya yang telah dilecehkan oleh seorang perawat lelaki. Perempuan tersebut mengungkapkan bahwa dirinya telah dilecehkan dengan diremas-remas payudaranya. Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan oleh si perawat tidak sekali, bahkan juga dengan memain-mainkan (memelintirkan) putingnya ketika ia dalam kondisi setengah sadar sesaat setelah ia dipindahkan dari ruang operasi.

Ironis. Peristiwa tersebut terjadi di tengah makin berkembangnya pemikiran-pemikiran mengenai pembelaan terhadap hak asasi manusia, yang justru sudah tak lagi hanya berkutat pada isu pembelaan hak konstitusional perempuan tetapi lebih jauh pada isu LGBT. Tentu hal tersebut selain menyayat perasaan kita semua, juga seolah telah menarik mundur kembali roda perkembangan hidup kita jatuh ke arah belakang.

Masalah itu mungkin sekarang–ketika tulisan ini dibuat, tengah bergulir sebagai kasus hukum. Dan yang pantas, biarlah pihak yang berwenang kelak memutuskan apa ganjarannya.

Namun, sebagai generasi muda-millenial yang tengah mencoba bergelut di dunia sastra, membaca berita tersbut juga sedikit menjadi “was-was”. Mengapa was-was? Sebab tiba-tiba ada satu hal yang menurut saya penting untuk disampaikan mengenai peristiwa tersebut dalam konteks kesusastraan kita saat ini. Yaitu, bahwa hasrat dan imajinasi jika tidak dibarengi pertimbangan akal sehat, maka akan sangat berbahaya.

Baca Juga:  Gus Dur; Ketidaksepakatan dan LGBT

Dalam peristiwa yang terjadi di ruang rawat itu, saya melihat adanya peran hasrat yang begitu kuat, kita juga tak mungkin menafikan peran “imajinasi” yang yang mendorong pelakuknya dalam mengesampingkan akal sehatnya. Saat itu jelas si perawat tengah ber”imajinasi” bahwa pasien tersebut masih dalam keadaan tak sadar akibat efek obat bius yang disuntikkan ke tubuhnya sebelum masuk ruang operasi. Sialnya, ternyata si pasien meskipun belum sepenuhnya siuman, tetapi merasakan tindak pelecehan tersebut dan membeberkannya di depan seluruh staff di rumah sakit bersangkutan.

Pertanyaannya, apakah hal tersebut tidak terjadi di era kesusastraan kita akhir-akhir ini? Di sini penulis memberi jawaban: Iya. Dan bahkan lebih mengerikan.

Di waktu yang sama ketika berita pelecehan itu beredar, beredar pula berita yang mengabarkan mengenai hadirnya “Generasi Angkatan Sastra Puisi Esai” yang dilansir oleh beberapa media online: Republika, AntaraNews, BeritaSatu dan TribunNews. Sebuah berita yang lagi-lagi sebenarnya telah melecehkan kesusastraan kita baik dari kacamata sejarah, dari segi pertukaran wacana–berbagai kritik langsung (ex. “Denny JA, Semuanya, Jangan Sebut Proyek Puisi Esai sebagai GERAKAN!”, “Denny JA Menyangkal Sejarah Komunitas Sastra: Komunitas Sastra di setiap Daerah Marahlah!” dsb.) yang telah dibuat atas tulisan-tulisan Denny JA sendiri, maupun dari cara Denny JA mengimajinasikan kita semua sebagai sesuatu yang tidak perlu dihiraukan keberadaannya; seolah seorang pasien yang tengah terlelap dan tak berdaya di atas ranjang, meskipun memang masih banyak penulis senior yang memilih diam tenang-senang saja di atas ranjang itu.

Baca Juga:  Mengapa Kata “Pribumi” Menjadi Begitu Sensitif?

Tulisan yang beredar melalui media tersebut, hampir seluruh bangunan teksnya serupa, dan hanya berbeda pada bagian pembuka berita yang kemudian di-headline-kan sebagai judul. Tulisan yang (selain dari konten mudah sekali dipatahkan) sebenarnya tidak menunjukkan keahlian apapun dari segi jusrnalistik kecuali ajang gagah-gagahan bahwa ia memiliki jaringan media populer yang bisa dikendalikannya. [sic!]

  Jakarta, 27 Januari 2018


Noted: Denny JA seharusnya mengetahui lebih dulu–sebelum mencatut 5 syarat peristiwa kebaharuan dari David Ikancinta (Fihselov) dalam tulisannya itu, bahwa pertama, setiap pembaharu dalam sastra tidak mungkin dikatakan sebagai pembaharu kalau dia hanya menulis 5 buah puisi saja–silahkan diriset. Jadi kalau masih ingin mengatakan sebagai pembaharu dengan hanya menulis 5 puisi saja, berarti ia tak tahu malu. Kedua, sebuah klaim terlahirnya angkatan itu berarti adalah seuah penanda adanya satu kemunculan generasi yang di dalamnya terdapat berbagai macam corak puisi yang digerakkan oleh licentia poetica masing-masing pengusungnya, jadi bukan kerja klaim dari satu orang dan membayar orang lain untuk mengerjakan hal yang sama; Kalau kategorinya ini, bukankah ratusan panitia lomba setingkat nasional jauh lebih banyak melakukan hal yang sifatnya massal, tematik, dan dengan ketentuan penulisan tertentu yang serupa demikian? Terakhir, bahkan ketika Denny JA mengatakan kehadiran 170 penyair yang rame-rame bekerja untuk memproduksi massal puisi esai dalam projectnya adalah sebuah fakta, tetapi ia juga tak bisa menutup fakta bahwa bahkan dari 170 penulisnya itu beberapa telah berangsur mengundurkan diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *