Armani, Inter, dan Mimpi di Kota Milan

Oleh Abdullah Sammy

Perancang kenamaan Italia, Giorgio Armani awalnya tidak suka ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Milan. Armani kecil menilai, Milan terlalu besar dan kacau bila dibandingkan dengan kota tempat dia tinggal, Piacenza.

Hanya ada dua hal yang membuat Armani kecil suka dengan kota Milan, bioskop dan risotto alla Milanese. Sekitar 75 tahun berselang, Armani tak lagi membenci kota ini. Sebaliknya, rasa cinta Armani pada Milan tak sekadar lagi karena bioskop dan risotto.

Cinta Armani pada Milan jadi begitu besar karena dia membuktikan sendiri bahwa kota ini membuka mimpi bagi siapapun yang hendak berusaha. “Milan adalah kota metropolis yang sesungguhnya. Kota yang kuat dan tak mengenal takut, tapi terbuka bagi siapapun dia. Sedikit demi sedikit, saya menyadari bahwa saya bisa menjadi besar di Kota ini,” kata Armani seperti dilansir dari laman V Magazine.

Giorgio Armani

Armani membuktikan bahwa Kota Milan selalu membuka peluang. Dari seorang anak desa di Piacenza, Armani menjelma menjadi salah satu manusia terkaya di jagad bisnis fashion dunia.

Segala produk berlabel Armani menguasai pasar industri fashion. Walhasil dari Milan, Armani kini mencengkram dunia. Untuk mengabadikan perjalanan Armani yang menguasai dunia dari kota di utara Italia itu, Kota Milan membuka museum yang diberi nama Armani Silos pada 2015 lalu.

Tak hanya Armani Silos yang menjadi situs pembuktikan kebesaran Kota Milan. Lebih dari itu, ada Stadion Giuseppe Meazza sebagai pembuktikan tuah Kota Milan.

Di Giuseppe Meazza, klub sepak bola bernama Internazionale Milan (Inter Milan) mewakili filosofi Kota Milan yang terbuka bagi masyarakat dunia. Sejak pertama kali berdiri pada 9 Maret 1909, Inter Milan punya filosofi bahwa sepak bola harus membuka kesempatan yang sama pada manusia.

Dari negara manapun dia, Inter Milan selalu membuka kesempatan bagi manusia untuk mewujudkan mimpinya. Ini sama halnya dengan filosofi Kota Milan yang begitu ramah pada orang asing. Data yang dilansir dari laman Wanted Milan mencatat, dari total 3,1 juta penduduk Kota Milan, sekitar 474 ribu di antaranya adalah imigran asal luar Uni Eropa.

Giuseppe Meazza Stadium Milan

Walhasil, Milan jadi kota dengan angka imigran tertinggi. Meski masih meninggalkan masalah sosial, taraf hidup imigran di Milan tergolong cukup baik. Ini terbukti dengan catatan 68 persen dari imigran di Kota Milan mampu meraih pekerjaan.

Tak pelak, Milan pun jadi kota internasional di mana harmoni ragam suku, bangsa, agama, dan budaya membaur di satu wilayah. Segala keragaman itu tak membatasi seseorang di Kota Milan untuk mendapat kesempatan yang sama untuk meraih mimpinya.

Di lapangan sepak bola, Inter benar-benar mewakili filosofi dari Kota Milan ini. Sejarah mencatat seorang asal negara tergolong kecil macam Makedonia (Goran Pandev) atau Albania (Rey Manaj) mampu mewujudkan mimpi di dunia sepak bola dengan baju kebesaran biru hitam milik Inter Milan.

Bahkan sejak 2013, klub Inter Milan dipimpin oleh orang asal luar Italia, tepatnya dari Indonesia, Erick Thohir. Awalnya banyak yang memandang sebelah mata tentang sepak terjang orang Indonesia yang memimpin salah satu klub terbesar Italia itu. Tapi kini, pertanyaan itu mulai terjawab dengan keberhasilan Inter kembali ke Liga Champions mulai musim depan.

Sejak pertama kali memegang kendali Inter Milan, Erick sudah memasang target bahwa dirinya butuh lima musim untuk mengembalikan hegemoni Inter. “Inter Milan harus kembali tampil konsisten di kompetisi papan atas Eropa dan mempunyai sistem manajemen yang tak kalah dengan klub papan atas dunia,” begitu pernyataan Erick di awal kiprahnya memegang kendali Inter Milan.

Baca Juga:  Trump, Islamofobia, dan Benturan Peradaban

Saat pertama kali diambil alih itu, kondisi Inter sedang dalam kondisi kurang baik di dalam dan luar lapangan. Inter hanya finish di posisi sembilan klasemen Seri A musim 2012/2013.

Tak hanya di lapangan, di luar lapangan pun Inter pada 2012/2013 mencatat penurunan performa yang signifikan. Jika merujuk statistik tahunan yang dikeluarkan oleh Brand Finance, nilai produk Inter pada 2012/2013 melorot tajam dari 215 juta dolar AS menjadi 151 juta dolar AS. Inter mengalami penurunan nilai produk hingga 30 persen.

Erick Thohir, Presiden Inter Milan

Dengan segala keterpurukan itu, pemilik Inter kala itu Massimo Moratti memutuskan untuk melego klub yang telah dia kuasai selama 20 tahun ini. Moratti sadar bahwa Inter memerlukan nahkoda baru yang mampu membawa suntikan segar bagi manajemen tim. Sebab Inter mesti segera berbenah total guna mengimbangi kemajuan pesat industri olahraga.

Akhirnya nahkoda itupun diambil alih Erick Thohir pada akhir 2013. Sejak 2013, usaha panjang mulai dilakukan untuk membangkitkan Inter. Manajemen baru Inter sadar, usaha membangkitkan Nerazzurri tak akan bebuah instan.  Butuh perbaikan jangka panjang untuk mengembalikan Inter ke khittahnya sebagai salah satu klub terbesar di dunia.

Salah satu perubahan awal yang dilakukan manajemen baru Inter adalah dengan mengubah jajaran di balik layar. Inter merekrut sejumlah profesional papan atas, seperti Alessandro Antonello yang malang melintang di industri keuangan.

Antonello adalah eks petinggi di Puma Italia dan perusahaan ekuitas Amerika Serikat, Sun Capital Partners. Selain Antonello, Erick juga memboyong Tim Williams yang merupakan salah satu orang di balik kesuksesan bisnis Manchester United sebagai tim terkaya di dunia.

Dengan tim baru yang profesional, Inter mulai memperbaiki sisi bisnis. Ekspansi mulai dijalankan Inter ke sejumlah negara, terutama Cina. Puncaknya ketika Erick menggandeng raksasa bisnis Cina, Suning Group, sebagai mitra kepemilikan klub per 2016. “Kami memutuskan untuk menggandeng Suning untuk membuat klub semakin kuat,” kata Erick.

Erick saat itu yakin, dengan segala perubahan yang dia lakukan, target kembali ke Liga Champions. “Target Inter adalah konsisten bermain di Liga Champions Eropa,” ujar Erick.

Usaha perbaikan yang dilakukan manajemen Inter perlahan tapi pasti terlihat di neraca bisnis klub. Data Brand Finance pada 2018 ini pun berbanding terbalik dengan data pada 2013. Jika nilai ekonomis Inter Milan per 2012/2013 menurun 30 persen menjadi hanya 151 juta dolar AS, kini nilainya di musim 2017/2018 meroket hingga 475 juta dolar AS.

Jika dibandingkan tahun sebelumnya, nilai ekonomis Inter meroket sebesar 115 persen. Inter yang tahun 2017 hanya menghuni peringkat 28, kini duduk di peringkat 13 besar dunia dalam urusan nilai ekonomis klub. Angka kenaikan nilai ekonomis Inter merupakan yang tertinggi bersama klub Jerman, RB Leipzig.

Data lembaga keuangan Deloite per Januari 2018 juga mencatat kenaikan signifikan Inter dari sisi ekonomis. Inter tercatat sebagai tim dengan pendapatan komersial tertinggi di Italia. Inter mencatat pendapatan komersial sebesar 130,1 juta euro. Jumlah ini lebih tinggi dari juara Seri A Juventus yang pendapatan dari sisi komersialnya hanya 114 juta euro.

Proposi pendapatan dari sisi komersial Inter mencapai 50 persen dari total pemasukan. Ini berbanding terbalik dengan klub Italia lain yang porsi pendapatan terbesarnya dari hak siar. Padahal, jika ditilik lebih jauh, klub-klub terkaya di dunia pemasukan utamanya dari sisi komersial, bukan hak siar.

Selain hitungan uang, tingkat popularitas Inter juga ikut terkerek. Jika pada 2013 lalu, Inter hanya punya followers kurang dari 0,7 juta di Twitter dan empat juta di Facebook, kini per 2018 pengikut Inter di Twitter sudah melonjak jadi 1,5 juta, 7,5 juta pengikut di Facebook, dan 1,7 juta di Instagram.

Baca Juga:  Pesan Kebangsaan untuk Rapimnas IKAMI SUL-SEL

Namun sisi yang paling penting dari semua itu adalah kebangkitan di atas lapangan. Keputusan manajemen Inter menunjuk Luciano Spalletti sebagai pelatih Inter di awal musim nyatanya membuahkan hasil manis.

Spalletti yang sudah mengenal karakter sepak bola Italia, mampu mengembalikan gaya lama Inter yang bermain dengan 4-3-3. Pada awal musim 2017/2018, Inter di bawah Spalletti tak jor-joran dalam membeli pemain. Ini berbeda dengan saudara sekota mereka, yakni AC Milan yang menghabiskan dana transfer hingga lebih dari 200 juta euro.

Inter dengan cermat membeli sejumlah pemain muda potensial macam Matias Vecino, Milan Skriniar, dan Dalbert. Inter juga meminjam dua pemain, yakni Joao Cancelo dari Valencia dan Rafinha. Total, dana transfer yang dihabiskan Inter pada awal musim 2017/2018 kurang dari 70 juta euro.

Luciano Spaletti, Pelatih Inter Milan

Dengan dana yang jauh lebih minim dari AC Milan, manajemen Inter awalnya dikritik. Banyak yang menilai, Inter tak akan mampu bersaing di papan atas. Tapi segala kritik itu coba ditepis manajemen Inter.

Presiden lama Inter, Massimo Moratti pun angkat komentar. Moratti menilai, langkah yang dilakukan manajemen Inter sudah tepat. Inter, kata Moratti, berbeda dengan manajemen AC Milan.

Menurut Moratti, dari segala sisi manajemen Inter jauh lebih baik dibanding saudara sekota mereka. Dari segala rekam jejak, Moratti menilai pengambilalihan saham Inter Milan jauh lebih baik daripada AC Milan.

 “Benar-benar tidak ada kesamaan antara penjualan saham saya kepada Erick Thohir dan penjualan saham AC Milan, keduanya memiliki karakter yang berbeda,” ujar Moratti.

Apa yang disampaikan Moratti nyatanya terbukti di atas lapangan. Pada awal hingga pertengahan musim, Inter dengan kebijakan transfer yang lebih minim, nyatanya mampu bersaing di papan atas klasemen. Pada awal Desember 2017, Inter bahkan mampu merebut puncak klasemen Seri A.

Namun pada awal paruh kedua, prestasi Inter sempat menurun. Inter yang awalnya berada di posisi teratas klasemen, perlahan tapi pasti mulai turun posisinya. Pada pertengahan Desember 2017 hingga Januari 2018, Inter mencatat delapan laga tanpa kemenangan.

Hasil minor ini membuat Inter tak hanya terlempar dari peringkat teratas tapi juga posisinya di empat besar terancam. Penurunan prestasi Inter ini ditenggarai akibat minimnya stok pelapis.

Inter MIlan

Di lini depan, Inter tak punya banyak opsi selain Mauro Icardi. Walhasil, saat Icardi tampil jelek hasil buruk juga dipetik Inter.

Walhasil, pada Januari manajemen Inter bergerak cepat di bursa transfer guna membangkitkan tim dari keterpurukan. Rafinha didatangkan dari Barcelona sebagai opsi tambahan.

Bersama Rafinha, Spalletti mencoba untuk menerapkan taktik baru. Skema 4-2-3-1 diterapkan. Perubahan ini menjadi kunci Inter untuk bangkit di paruh terakhir kompetisi.

Hadirnya Rafinha ini yang kembali mampu memperbaiki performa Inter. Rafinha yang malang melintang bersama Barcelona mampu mencetak assist dan gol bagi Inter di saat paling krusial kompetisi. Pada tiga laga terakhir Seri A, Rafinha mampu mencetak dua gol.

Namun pemain yang punya peran terbesar bagi Inter adalah sang capitano, Mauro Icardi. Spanjang musim ini, Icardi mampu mencetak 29 gol yang membuatnya menjadi top skorer Seri A musim 2017/2018.

Sosok sentral Icardi pun tampak pada laga penentuan Inter musim ini menghadapi Lazio di Olimpico, Senin (21/5) dini hari WIB. Inter yang sempat tertinggal 0-1 dan 1-2, mampu bangkit di penghujung laga. Adalah penalti Icardi pada menit ke-78 yang jadi kunci kebangkitan Inter. Ini disusul gol Vecino pada menit ke-81 yang memastikan Inter menang dramatis 3-2.

Baca Juga:  Opini Imam Shamsi Ali: Membaca Gelombang Takdir!

Hasil ini sekaligus memastikan apa yang dijanjikan manajemen baru Inter pada 2013 lalu terwujud, yakni tiket Liga Champions.

Selain Icardi, pujian besar juga patut diberikan pada sang pelatih, Spalletti. Spalletti dengan jeli mampu meramu skema 4-3-3  dan 4-2-3-1 Inter dengan sangat seimbang. Duet Skriniar dan Miranda di lini belakang mampu menjaga soliditas pertahanan. Sedangkan trio Ivan Perisic, Icardi, dan Candreva mampu jadi motor untuk menggedor pertahanan lawan.

Ini juga ditambah kolaborasi apik Marcelo Brozovic, Roberto Gagliardini, dan Vecino di lini tengah. Pada Januari, kolaborasi ini diperkuat oleh Rafinha yang kemudian jadi kunci permainan tim pada paruh kedua kompetisi.

Tak hanya soal teknis, hal terpenting yang dihadirkan Spalletti adalah mental bertanding. Ini terbukti dengan performa apik yang ditunjukkan Inter setiap melakoni laga besar.

Musim ini, Intar tercatat mampu membawa pulang poin dari markas Juventus dan menang dari AC Milan. Puncaknya kala Spalletti mampu memenangkan laga final perebutan tiket Liga Champions melawan Lazio, akhir pekan lalu.

“Spalletti memang memperlihatkan karakter Inter yang luar biasa. Selama beberapa tahun ini (Inter Milan) masih turun naik, tapi saat ini ia (Spalleti) sudah memperlihatkan karakternya sekarang,” ujar Erick Thohir.

Dengan segala perubahan yang dilakukan, Inter telah berhasil mewujudkan mimpi yang sudah dirajut sejak lima tahun silam. Mimpi untuk mengembalikan Nerazzurri ke jajaran elite Eropa di ajang Liga Champions.

Mulai musim depan, Inter akan kembali meretas mimpinya untuk tampil di babak utama Liga Champions melawan tim besar dunia macam Real Madrid, Barcelona, dan Manchester United.

Kubu Inter menyadari bahwa keberhasilan lolos ke Liga Champions bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya ini adalah awal dari mimpi besar untuk mengembalikan Inter layaknya musim 2010 saat mereka mampu menjadi tim Italia pertama yang meraih trbele winners.

Awal mimpi baru pun kini coba dirajut Inter. Selain bekal ekonomi yang semakin membaik, Inter punya amunisi lain yang sangat vital bagi masa depan tim kedepan. Bekal itu adalah pembinaan pemain muda Inter yang sangat baik.

Inter Milan Treble/ 2010

Bukan rahasia lagi jikalau Inter memiliki primavera (tim U-19) yang terbaik di Italia saat ini. Salah satu pembuktiannya adalah di turnamen Viareggio Cup tiga musim terakhir. Pada kompetisi papan atas bagi tim usia muda di dunia itu, Inter dua kali tampil sebagai juara pada tiga musim terakhir.

Kini di daftar skuat muda Inter, ada sejumlah nama potensial yang bisa menjadi pondasi klub untuk merajut kembali mimpinya sebagai raja Eropa. Pemain seperti Andrea Pinamonti, Federico Valietti, dan Nicolo Zainolo bisa mulai merajut mimpinya untuk menembus tim utama di masa mendatang.

Ini karena manajemen Inter punya kebijakan untuk menjadikan pemain muda asli binaan Inter sebagai pondasi tim di masa depan.

Dengan gabungan materi mumpuni, dukungan manajemen yang profesional, hingga bekal pemain muda potensial, mimpi baru kini dicanangkan Inter. Mereka bertekad untuk menjadi raja Italia di musim depan.

Sebuah mimpi yang bukan barang mustahil terjadi di Kota Milan. Sebab Milan sudah terbukti menjadi pelabuhan mimpi bagi siapapun yang mau berusaha.

Layaknya kisah seorang Giorgio Armani. Pria desa asal Piacenza yang pada 1957 hanya menjadi seorang penjaga toko di La Rinascente, kini, menjadi perancang busana tersukses dengan kekayaan total mencapai 8,1 miliar dolar AS.

(dimuat pertama kali di republika dengan judul yang sama: Armani, Inter, dan Mimpi di Kota Milan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *