Kebijakan ini pun menuai protes dari internal Amerika sendiri dan juga komunitas internasioal. Selanjutnya, dalam merespons konflik bersenjata yang terjadi di Timur Tengah, khususnya di Suriah, Trump merencanakan sebuah grand strategi meluluh-lantakkan kelompok-kelompok bersenjata di Timur Tengah, seperti ISIS.
Strategi ini tentunya sangat berisiko. Hadirnya tentara Amerika secara besar-besaran di wilayah konflik Timur Tengah akan memperluas perlawanan kelompok militan sehingga konflik tidak kunjung selesai seperti pengalaman Afghanistan.
Lagi-lagi, Trump menjadi momok bagi komunitas Muslim internasional dengan memperlihatkan keberpihakannya secara penuh terhadap Israel. Dengan lantang, Trump menyampaikan niatnya memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Kalau rencana ini direalisasikan, akan terjadi pertumpahan darah yang lebih dahsyat di wilayah konflik Israel Palestina. Diperkirakan, konflik akan kembali melibatkan seluruh negara Arab karena Yerusalem (al-Quds) bukanlah sekadar kota, melainkan ia merupakan simbol sakralitas agama-agama samawi termasuk Islam.
Rencana mendamaikan Palestina dan Israel dengan konsep dua negara pun juga dipastikan akan gagal total. Tak hanya itu. Manuver Trump sejauh ini tidak hanya terbatas pada pelarangan beberapa negara Mayoritas Islam, menggempur ISIS dan niat memindahkan ibu kota Israel.
Perkembangan terakhir, Trump juga sangat keras menyorot masalah Iran. Dalam pernyataannya di Pentagon, Trump mengecam keras dan tidak akan membiarkan Iran mengembangkan dan melakukan uji coba senjata roketnya.
Dan pada saat yang bersamaan Iran menganggap bahwa ancaman Trump tersebut merupakan provokasi yang bisa memperparah konflik di Timur Tengah. Iran pun tidak terpengaruh dan tidak takut dengan ancaman yang dilontarkan oleh Trump.
Itulah beberapa kebijakan Trump yang cenderung mendiskreditkan dunia Islam. Apakah itu dilakukan karena fobia terhadap Islam? Bisa jadi.
Tapi, alasan Trump mengambil kebijakan tersebut di atas sebagaimana diungkapkan dalam beberapa kesempatan adalah karena ingin menjaga negaranya dari aksi-aksi terorisme. Namun, ketika dianalisis lebih jauh, logika yang digunakan Trump justru terbalik.
Retorika anti-Islam justru berdampak terhadap kristalisasi paham dan gerakan radikalisme oleh kelompok-kelompok militan. Akhirnya, aksi-aksi teror malah akan semakin tumbuh subur di berbagai tempat yang merepotkan pihak keamanan internasional.
Kebijakan Trump bisa merugikan dirinya sendiri. Buktinya, kecaman dan protes atas kebijakannya masih terus mengalir sampai saat ini. Inilah model islamofobia ala Trump, sekaligus merupakan ujian bagi negeri Paman Sam yang selalu getol mengampanyekan demokrasi, pluralisme, dan kebebasan.
* Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta dan Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah