PERPPU dan Perlindungan Kebebasan

Oleh : Yudi Latif*

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menuai kontroversi di ruang publik. Meski sebagian besar setuju atas langkah tegas pemerintah dalam menyikapi perkembangan ekslusivisme (radikalisme) yang mengancam budaya kewargaan dan tatanan kenegaraan, ada pihak-pihak yang menguatirkan kebijakan ini bisa mengancam hak kebebasan berserikat.

Di sini perlu ditegaskan bahwa demokrasi memang bermaksud menghilangkan pemerintahan otoriter, tetapi tak bisa ditegakkan tanpa wibawa otoritas. Tanpa wibawa otoritas, demokrasi bisa mengarah pada anarki.  Dalam kaitan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM), otoritas negara memiliki peran sentral dalam penegakan HAM. Menurut hukum hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights (UDHR), pertanggungjawaban untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam hukum internasional berada di tangan negara. Pengertian kebebasan negatif yang dianut oleh liberalisme ekstrem–otonomi maksimum individu dari komunitas dan negara—adalah asing bagi UDHR.

Dalam melindungi hak asasi, fungsi negara bersifat ganda. Di satu sisi,  negara harus melindungi hak asasi manusia (sebagai individu dan warga negara) dari berbagai ancaman yang berpotensi merenggutnya dengan memikul 4 perangkat kewajiban: untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memfasilitasi (to facilitate) hak asasi. Di sini lain, negara harus menjaga agar penggunaan hak asasi tersebut tidak menimbulkan marabahaya bagi individu (kelompok) lain dan juga bagi tatanan kehidupan publik bersama.

Baca Juga:  Meneropong Metamorfosa Kader HMI

Dengan merebaknya ekspresi kekerasan, kebencian, kesemena-menaan dan perskusi di ruang publik, negara dituntut untuk memenuhi basis legitimasi ontologisnya sebagai palayan keselamatan dan kebahagiaan kolektif, yakni: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Nyaris tak ada perbantahan antara teoretisi negara lintas zaman dan lintas ideologis, mulai dari Niccolo Machiavelli, John Stuart Mill, hingga pengusung indikator Gross National Happiness, dalam menempatkan tugas perlindungan negara atas keselamatan seluruh warga dan tatanan kolektif pada jantung dari segala kontrak negara dengan rakyatnya.

Pentingnya proteksi warga dan tatanan hidup bersama dari ancaman marabahaya juga menjadi latar yang membentuk liberalisme modern. Dalam tulisan John Stuart Mill ditekankan, satu-satunya justifikasi bagi tindakan melawan yang lain adalah perlindungan diri (self-protection) dan satu-satunya rintangan atas kebebasan yang bisa dijustifikasi adalah untuk mencegah bahaya bagi orang lain.  Maka dari itu, kebebasan seseorang (kelompok) bukanlah suatu kebebasan tak tak terbatas. Kebebasan seseorang (kelompok), bisa dibatasi oleh perlindungan atas keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health), moral publik (public morals), perlindungan hak dan kemerdekaan (rights and freedom).

Baca Juga:  Politik 'Syantik' Prabowo Vs Jokowi

Perlindungan atas keselamatan warga dan negara penting karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial, bukan saja agar hidup berjalan, melainkan juga agar rakyat hidup secara baik. Data komparatif lintas negara membenarkan stabilitas dan ketertiban politik, pemerintahan, hukum, dan keadilan menentukan pencapaian kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan bangsa yang paling rendah tercatat atas nama Republik Dominika awal 1960-an setelah pembunuhan Presiden Trujillo yang memicu kekacauan kronis. Tingkat kebahagiaan bangsa tertinggi umumnya ditemukan di negara demokrasi yang stabil, seperti Selandia Baru, Norwegia, Swiss, dan Denmark, yang mengindikasikan pentingnya pemerintahan yang kuat, stabil, protektif, dan legitimate bagi kebajikan dan kebahagiaan hidup warga (Geoff Mulgan, 2006).

Setiap demokrasi konstitusional harus diberi sabuk keselamatan. Bahwa dalam kondisi-kondisi rawan yang bisa membahayakan keselamatan warga dan tatanan.

*Penulis adalah Ketua Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila).

( Tulisan ini sudah terbit di Kompas, Selasa, 25 Juli 2017)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *