Suatu Ketika Ada yang Bertanya Kepadaku

Oleh : M. Fazwan Wasahua*

“Bung, menurut bung kenapa sebagian besar orang begitu mudah menyesatkan dan mengafirkan orang lain, padahal mereka mengaku beragama dan memahami ajaran-ajaran Suci Allah Swt. Di samping itu ada juga yang dengan mudah menuding bahwa Pancasila itu Thogut, sesat, kafir dll karena buatan manusia, bukan berasal dari Allah.

Mendengar pertanyaan itu, aku terdiam sejenak, lalu aku menjawab;

“Bung, manusia itu sangat beragam, kualitasnya pun bertigkat-tingkat. Ada yang paling bodoh, setengah bodoh dan ada yang berilmu, bahkan hingga sampai pada derajat Waliyullah alias Kekasih Allah. Nah, oleh karena itu, maka kita harus melacak, siapakah mereka-mereka yang mudah menyesatkan bahkan mengafirkan orang lain itu. Apakah mereka itu berilmu, waliyullah dan semacamnya. Ataukah mereka itu sesungguhnya adalah orang bodoh yang hanya sedikit pengetahuannya. Ingat, buru-buru harus saya berikan batasan, bahwa sejatinya, orang yang berilmu itu harus arif lagi bijaksana. Sebab, puncak dari ilmu itu ialah yang mampu membuat kita arif dan bijaksana. Jika ngaku berilmu, tapi masih suka berlaku seperti itu, maka dijamin mereka sejatinya tidak berilmu. Seandainyapun ada ilmu pada mereka, maka itu adalah ilmu ‘iblissiyyah’. Sebab Iblis itu juga menyembah Allah swt, tapi kerjaannya menyesatkan dan berusaha membuat manusia jadi kafir dan masuk neraka. Iblis berkata kepada Tuhan seakan-akan dia lebih tahu. Padahal Tuhan yang Maha Mengetahui.

Baca Juga:  Jalan Para Pecinta, Setapak Rumi

Untuk lebih jelasnya saya kasih analogi begini, ada sebuah tembok, lalu ada satu pertanyaan, tembok itu tersusun dari apa? Kemudian kita bertanya kepada tukang bangunan, tentu tukang bangunan akan menjawab, tembok itu tersusun dari semen, pasir, air dan batu. Lalu kita bertanya lagi kepada seorang saintik, dan dia menjawab, tembok itu tersusun dari atom-atom. Nah, dari pertanyaan itu telah muncul dua jawaban yang berbeda. Apakah keduanya salah, atau salah satunya benar, ataukah dua-duanya benar? Tentu, dua jawaban itu benar. Sebab mereka menjawab sesuai dengan keahlian mereka. Benar bahwa tembok itu tersusun dari semen, bata, pasir dan air sebagaimna yang dikemukakan oleh si tukang bangunan. Tapi benar juga bahwa tembok itu terususun dari unsur-unsur yang paling kecil yakni atom sebagaiman jawaban si Saintik.

Pertanyaan kemudian adalah apakah si Saintik tidak mengetahui bahwa tembok itu tersusun dari pasir, semen, air dan batu? Tentu ia pasti tahu. Sedang apakah sesungguhnya unsur-unsur terkecil dari tembok itu adalah atom, belum tentu diketahui oleh si tukang bangunan. Lalu kemudian si tukang bagunan tertawa dan mengejek si saintik, bahwa si saintik itu salah. Sebab tembok itu hanya dari semen, batas, pasir dan air. Sebab tembok itu yang membuatnya adalah si tukang bangunan itu sendiri. Kemudian si saintik memilih diam, dan mengiyakan sanggahan si tukang bangunan dengan mengatakan, “ya, anda benar”. Si saintik tidak ingin berdebat. Sedang si tukang bangunan terus mendebati si saintik, dengan mengatakan bahwa “mana mungkin dari atom, sedangkan aku sendiri yang membuat tembok itu”.

Baca Juga:  Perempuan Muda dan Panggung Politik Indonesia

Disini terlihat bahwa diamnya si saintik bukan karena ia salah, akan tetapi diamnya karena ia mengetahui dengan kedalaman ilmunya. Sedang si tukang hanya berdasarkan fenomena pengalamannya semata. Dengan sedikit pengetahuan, ia dengan angkuh mendebati si saintik yang lebih berilmu ketimbang dirinya. Bahkan dengan dengan gencar memberitahu kepada semua orang, bahwa si saintik ini telah salah dengan mengatakan bahwa tembok tersusun dari atom. Lalu semua orang yang cara berfikir sama dengan situkang itu tentu akan ikut-ikutan menyalahkan si saintik. Semua itu di lakukan semata-mata karena kedangkalan ilmu si tukang dan semua konco-konconya itu.

Nah, persoalan saat ini juga demikian, bung. Seringkali sebagian orang yang dangkal ilmunya mau sok-sok mendebati mereka-mereka yang lebih berilmu. Bahkan anehnya, mereka tidak sadar dan tdak tahu akan kedangkalan ilmu mereka itu. Dan parahnya, mereka mengajak banyak orang untuk membela posisi mereka.

Bung, ketahuilah, orang berilmu itu sesugguhnya ketika berpendapat, mereka berpendapat dengan landasan berfikir yang komprehensif, kuat, logis dan rasional secara ilmiah maupun filososfis. Dan yang lebih penting lagi, mereka tidak sibuk mencari pembela dan pengikut. Sebab, mereka akan arif dan bijaksana, jika pendapatnya tidak di ikuti, itu tidak menjadi soal.

Baca Juga:  Trik Ampuh Menipu Caleg Yang Katanya Akan Mewakili Rakyat di Parlemen

Sedangkan si dangkal alias bodoh ketika berpendapat, mereka tidak perlu komprehensif, kuat, logis dan rasional, yang penting apa yang ada di dalam kepala mereka saat itu, itulah kebenaran. Mereka tidak mau mencari tahu lebih dalam mengenai suatu perkara. Dan yang paling penting, adalah mereka akan sibuk mencari pengikut dan pembela seraya mencaci pendapat yang lain.

Kira-kira begitu bung. Begitu pula yang terjadi dengan Pancasila. Mereka yang menuding Pancasila seperti itu sebenarnya juga tidak paham apa itu Pancasila. Yang mereka tahu hanyalah rumusan Pancasila dari sila 1-5. Mengenai nilai-nilainya, landasan Ideologisnya, Pandangan Dunianya hingga Epistemologinya, mereka tidak tahu apa-apa!

Sampai disitu, lalu ia bertanya lagi.

“Emang Nilai-Nilai, Landasan Ideologi, Pandangan Dunia dan Epistemologi Pancasila itu kaya gimana bung?

“Untuk lebih jelasnya, kamu bisa ikuti kajian di Human Illumination (HI), yakni Pendidikan Dasar Pancasila. (PDP)”, singkat jawabku.

“Ohh gitu, oke siap bung”. Demikian jawabnya.

Aku kemudian menyeruput kembali kopiku yang nikamatnya maksimal ini. Sekian.

Salam Peradaban…

*Penulis adalah Ketua DPC Human Illumintion (HI) Tangerang Raya dan Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed