Demokrasi Yang Berdebu

Oleh : Wahyu Hamdani

Ada uang, abang disayang. Gak ada uang, abang dibuang. Tak dipilih untuk jadi pemimpin. Uang menjadi perangkat utama untuk memilih pemimpin. Akhirnya, hanya yang berpikiran jernih ke depan yang akan teguh bersikap. Tidak menggadaikan masa depan dengan kesenangan sesaat nan sesat.

Konsekuensi kerusakan dari politik uang, tak hanya soal moralitas. Melainkan juga bibit kehancuran tatanan sosial. Awal dari lahirnya pemimpin korup. Maka daripada itu, tak boleh  didiamkan dan dibiarkan. Gerakan politik bersih harus jadi ujung tombak pembaharuan.

Dalam konteks ini, masyarakat tidak salah sama sekali. Tapi pemimpin yang mengajarkan. Mengajarkan memilih karena segepok uang 100-200 ribuan. Masa depan kota akhirnya diserahkan ke “pemimpin pegadaian”. Betapa murahnya masa depan yang gilang gemilang.

Politik uang, meski susah untuk dibuktikan sudah menjadi rahasia umum. Tak kelihatan apinya, tetapi asapnya membumbung di angkasa.  Tidak jelas memang definisi dari politik uang. Namun, dari banyak pengalaman, kasus-kasus politik uang menguap dipersidangan ketika tidak ditemukan bukti dan saksi yang menguatkan.

Halalkan Segala Cara

Dalam suksesi kepemimpinan, aneka bentuk keculasan, kecurangan, intrik-intrik politik, black campaign, money politicmerupakan hiasan dalam etalase perpolitikan. Strategi yang disebut Machiavelli “menghalalkan segala cara” sudah merupakan strategi turunan sejak zaman baheula.

Baca Juga:  Fenomena Caleg Artis dan Transfer Politisi

Berbagai bentuk pelanggaran pemilukada bukan merupakan sesuatu yang asing terdengar. Dari perkara memberikan bantuan beras, DPT/DPS, money politic, curi start kampanye hingga penggunaan fasilitas negara terutama bagi incumbent. Dari pelanggaran yang bersifat administratif sampai pelanggaran pidana. Tentu yang paling susah disorot adalah soal politik uang.

Namun, yang menjadi persoalan hingga sekian ratus perhelatan pemilukada adalah tidak adanya ketegasan pihak-pihak terkait untuk memberikan sanksi yang membuat pelaku kapok dan tidak  akan mengulangi perbuatan yang sama. Sehingga, tidak ditiru di daerah lain yang hendak menyelenggarakan pemilukada.

Penegakan aturan yang ketat terhadap berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi adalah keniscayaan yang tidak bisa terelakkan. Sebuah keharusan yang bertujuan untuk memperkuat sendi-sendi demokrasi. Sebagai upaya awal untuk menciptakan pemerintah yang bersih, amanah, dan bertanggung jawab terhadap rakyat.

Sungguh ironis, bila kepala daerah yang nantinya terpilih. Bukan sepenuhnya terpilih karena suara hati nurani rakyat. Melainkan dipilih karena banyaknya gizi yang diberikan pada rakyat baik melalui bantuan-bantuan, seperti membangun masjid maupun fasilitas jalan menjelang pemilihan, pemberian voucher beras, atau “serangan fajar”.

Di lapangan pelanggaran-pelanggaran yang tersebut diatas, adalah sesuatu yang masih dipermukaan bukan bentuk pelanggaran yang fatal dan besar. Dikatakan demikian, sebab selama ini temuan maupun laporan mengenai pelanggaran jarang sekali diproses dan diberikan sanksi yang tegas bagi para pelakunya. Yang terjadi berbagai bentuk pelanggaran dibiarkan seiring proses pelantikan kepala daerah baru. Padahal, politik uang sesungguhnya menjadi biang rusaknya pembangunan.

Baca Juga:  Perempuan Muda dan Panggung Politik Indonesia

Menggejalanya politik uang ditunjang pula dengan paradigma masyarakat yang akan memilih, bila ada yang memberikan uang pengganti ke TPS. Ini sumber penyakit baru. Faktor pengangguran dan kemiskinan memberikan kontribusi besar terhadap menjamur politik uang. Di samping pula, faktor pendidikan yang rendah. Dampaknya kesadaran memilih ala kadarnya, bukan dimaknai sebagai titik tolak perubahan hidupnya.

Bila perilaku seperti ini terus berlangsung. Mana mungkin clean and good governance yang kita impikan akan tercapai. Kepala daerah terpilih, secara rasional akan berpikir keras bagaimana mengembalikan modalnya setelah memenangkan pemilukada. Bahkan menggadaikan kebijakan pada pemilik modal. Dan inilah yang dimaksud dengan demokrasi yang kotor karena berdebu oleh praktik-praktik KKN.

Jernihkan Kesadaran Politik

Makin maraknya politik uang, dalam jangka panjang masyarakat yang akan dirugikan. Apalagi jika pemimpin yang terpilih berprinsip ketika jadi harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Kebijakan yang akan diambilnya tentu akan berpihak pada dirinya sendiri. Rakyat akan terlantar. Kesejahteraan dan kemakmuran makin menjauh.

Jadi masalah pokoknya, sebenarnya kesadaran rakyat yang perlu dibenahi. Wawasan yang perlu ditingkatkan. Pengetahuan yang perlu diperbaiki. Bukan sistem yang digugat. Sistem pemilihan langsung sebenarnya cukup memberikan ruang untuk perbaikan. Terutama mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Baca Juga:  Restorasi Birokrasi Menuju Indonesia Tanpa Korupsi

Akan tetapi, masalahnya, sistem ini terbuka untuk ditunggangi oleh para penumpang gelap demokrasi yang tak bertanggung jawab. Pelaku  demokrasi yang berperilaku menguntungkan dirinya sendiri. Pelaku yang membeli suara rakyat dengan uang ganti transport. Ihwal dari transaksionalisasi politik.

Konsekuensinya, kesadaran memilihnya bukan karena hak dan kewajiban melainkan tergantung imbalan. Kesadaran memilihnya karena hutang budi, setelah kandidat/timsesnya memberikan uang. Persoalan ini tidak lepas dari pengetahuan dan SDM masyarakat yang rendah. Sehingga masyarakat tidak berpikir panjang akan pengaruh hak pilihnya terhadap kebijakan pembangunan.

Kesadaran dan pengetahuan bahwa pilihanya akan menentukan arah dan kebijakan pembangunan belum banyak diketahui. Permasalahan ini yang semestinya terus didengungkan, diajarkan, disosialisasikan kepada masyarakat. Maka, logika kesadaran bahwa hak pilih mereka menentukan masa depan yang masih belum banyak terekam dalam masyarakat harus diinstal dalam kesadaran pikiran.

Masyarakat kelas bawah, rentan sekali dengan politik uang. Sebab cara berpikir pendek mereka, yang penting bisa makan. Tidak perduli akan lahir kebijakan kedepan yang menindas dan menzholiminya. Sebuah pekerjaan rumah yang harus cepat diselesaikan.

Terbit :  di Harian Pelita Medio Oktober 2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *